Peningkatan aktivitas Lempeng Pasifik perlu segera diantisipasi dengan pemantauan, pencegahan, dan pendidikan mitigasi bencana yang lebih aktif di Indonesia timur yang dilalui Lempeng Pasifik. Banyak daerah di Indonesia timur memiliki sejarah kegempaan dan tsunami yang tinggi serta dilalui sesar yang aktif.
Ketua Divisi Tektonik Ikatan Ahli Geologi Indonesia Benyamin Sapiie yang berada di Bandung saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (12/3), mengatakan, gempa yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru, 22 Februari, dan Miyagi, Jepang, 11 Maret, menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas Lempeng Pasifik. Namun belum bisa dipastikan apakah peningkatan aktivitas itu disebabkan oleh perubahan kecepatan dan arah gerak lempeng atau perubahan fisik lempeng.
Belum dapat dipastikan juga apakah pengeluaran energi yang menimbulkan gempa di dua bagian Lempeng Pasifik itu akan memengaruhi secara signifikan gerakan lempeng di bagian Lempeng Pasifik lain, misalnya Papua, atau gerak lempeng benua lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara alamiah, setiap bagian lempeng memiliki potensi gempa sendiri akibat gerak lempeng di bagian itu. Gerakan lempeng sebagai sumber gempa itulah yang membuat gempa di daerah terkait terjadi berulang dengan siklus 50-100 tahun.
”Jika kecepatan gerak lempeng bertambah, energi yang tersimpan di salah satu bagian lempeng akan bertambah besar hingga siklus gempa menjadi lebih pendek atau gempa lebih cepat terjadi,” katanya.
Belum bisa diramalkan
Para ahli belum bisa memastikan kapan dan di bagian lempeng mana yang akan mengeluarkan energi akibat pergerakan lempeng secara keseluruhan. Para ahli hanya bisa meramal potensi gempa yang ada di suatu daerah berdasarkan gempa-gempa sebelumnya sekaligus mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih waspada.
”Tidak bisa disimpulkan bahwa gempa yang melanda di sejumlah daerah di Lempeng Pasifik lain akan memicu gempa di Papua. Namun, Papua memang menyimpan potensi dan memiliki sejarah kegempaan yang tinggi,” kata Kepala Bidang Informasi Dini Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wandono.
Banyaknya gempa kecil berkekuatan 5 skala Richter yang terjadi di Papua selama ini merupakan hal yang positif. Rendahnya kemampuan lempeng menahan tekanan membuat gempa kecil sering terjadi. Kondisi ini membuat potensi terjadinya gempa dengan kekuatan besar dan lebih destruktif, 8-9 skala Richter, menjadi lebih panjang rentang waktunya.
Menurut Benyamin, sejak 1952 hingga kini, hanya tercatat 5 gempa berkekuatan 9 skala Richter. Adapun gempa berkekuatan lebih dari 8,5 skala Richter baru tercatat sebanyak 5 kali sejak tahun 1922. Gempa berkekuatan kecil, sekitar 5 skala Richter, dalam setahun bisa terjadi puluhan kali di seluruh dunia.
Benyamin, yang juga ahli geologi struktur dan tektonik dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, mengingatkan pemerintah dan para ahli untuk mulai memerhatikan wilayah Indonesia timur dalam pembangunan infrastruktur dan pencegahan gempa dan tsunami. Masyarakat perlu ditingkatkan kesadaran dan pemahamannya dalam proses penyelamatan bencana.
Selama ini, konsentrasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur dan proses mitigasi bencana banyak difokuskan pada wilayah pesisir barat Sumatera serta pesisir selatan Jawa dan Bali. Sebab, wilayah itu banyak penduduknya dan permukimannya padat, bila terjadi bencana jumlah korbannya akan sangat besar. Indonesia timur kurang diperhatikan karena jumlah penduduknya sedikit. (MZW)
Sumber: Kompas, 13 Maret 2011