Badan Pengawas Obat dan Makanan meluncurkan kampanye anti obat palsu dengan tujuan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap obat dan produk palsu. Kampanye dilakukan di Jakarta, Senin (1/6) siang, dengan membagikan 100 bunga mawar kepada para pengguna jalan.
Pada bunga mawar dikaitkan tulisan “Pilih yang Asli Jangan yang Palsu”.
Bunga mawar asli itu merupakan representasi obat asli. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa ikut turun ke jalan bersama pegawai BPOM untuk membagikan bunga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh pihak yang tidak memiliki izin produksi. Adapun obat ilegal adalah obat yang beredar tanpa izin edar. Kedua jenis obat tersebut, menurut Roy, sangat berbahaya bagi kesehatan karena tanpa izin dari pemerintah dan tanpa uji laboratorium.
Selain suplemen kesehatan dan kosmetik, jenis produk palsu yang paling banyak ditemukan adalah obat disfungsi ereksi.
Ia mengatakan, peredaran obat palsu dan obat ilegal ibarat fenomena gunung es. Ia meyakini pelaku pembuatan obat palsu dan peredaran obat ilegal cukup banyak. Pada 2015, BPOM mengusut ratusan kasus dengan nilai total Rp 2,9 miliar.
Pada 2011, pihaknya menemukan 57 produk ilegal. Tahun 2012, jumlahnya naik menjadi 66 produk dan pada 2013 melonjak drastis menjadi 837 produk.
Lewat situs daring
Dari banyak kasus yang diusut BPOM, lanjut Roy, lebih dari 50 persen obat palsu tersebut beredar lewat situs daring (online). “Tahun ini ada sekitar 300 situs penjualan obat palsu yang kami tutup,” katanya.
Ia mengatakan, BPOM belum mampu memberantas sindikat pengedar obat ilegal dan produsen obat palsu. Ia berharap regulasi diperkuat dengan memperberat hukuman bagi pelaku agar ada efek jera.
Ia juga meminta masyarakat melapor kepada BPOM apabila menemukan obat palsu beredar di pasaran. Masyarakat diharapkan cerdas dalam memilih obat, seperti memperhatikan masa pemakaian dan label.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Dorodjatun Sanusi menambahkan, peredaran obat palsu dan ilegal membuat citra industri farmasi tercoreng. Gabungan Pengusaha Farmasi siap membantu pemerintah untuk memberantas obat palsu dan ilegal. “Industri farmasi bisa terpuruk akibat adanya obat palsu,” ujarnya.
Peredaran obat palsu dan ilegal tidak terlepas dari tingginya permintaan konsumen di pasaran. Masyarakat tidak mau bersusah payah ke toko obat resmi karena khawatir harga obat mahal sehingga memilih jalan pintas dengan membeli obat ilegal.
“Padahal, sekarang harga obat resmi tidak mahal, sudah terjangkau semua lapisan masyarakat,” kata Dorodjatun.(B04/B03)
Sumber: Kompas Siang | 1 Juni 2015
————–
Semua Jenis Obat Palsu Dijual Lewat Internet
Penutupan Laman Tak Menimbulkan Efek Jera
Peredaran obat palsu dan ilegal di Indonesia kian marak. Sebagian besar obat itu dijual melalui daring yang meliputi obat tradisional, generik, paten, dan obat bebas. Hal itu dinilai membahayakan kesehatan konsumen karena keamanan dan kualitas obat tak terjamin. Untuk itu, peredaran obat palsu harus segera diberantas.
“Dampak kesehatannya membahayakan masyarakat,” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa seusai aksi simpatik Anti Obat Palsu, Senin (1/6), di Jakarta. Konsumsi obat palsu bisa menyebabkan sakit berkepanjangan karena kuman kebal pada antibiotik, bahkan kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, peredaran obat palsu dunia 10 persen. Bahkan, di negara berkembang, seperti Indonesia, 25 persen dari jumlah total obat yang beredar ialah obat palsu dan ilegal.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2009 tentang Registrasi Obat, obat palsu ialah obat yang diproduksi oleh yang tak berhak se-suai undang-undang atau produksi obat dengan penandaan meniru identitas obat lain berizin edar.
Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapeutik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid menyatakan, peredaran obat palsu marak karena menguntungkan. Cara pembuatannya, antara lain, mencampur bahan baku dengan mesin pengaduk semen serta meracik zat kimia sebagai bahan obat secara sembarangan, tanpa cara pembuatan obat yang baik.
Daring
Sebagian obat palsu dan ilegal dipasarkan di apotek dan lewat daring. Obat palsu diproduksi pihak yang tak punya izin produksi, sedangkan obat ilegal ialah obat yang diedarkan tanpa izin. “Lebih dari 50 persen obat palsu dan ilegal beredar di online,” kata Roy.
Jumlah situs penjualan obat palsu dan ilegal yang ditutup BPOM terus meningkat. Pada 2011, BPOM menemukan 33 laman dan naik menjadi 83 laman pada 2012. Pada 2013 ada 129 laman, naik menjadi 302 laman pada 2014. Ada 132 situs obat tradisional yang tak jelas diblokir dengan nilai transaksi Rp 6,9 miliar.
Ratusan laman itu menawarkan beragam obat palsu dan ilegal, antara lain obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat disfungsi ereksi. Berbagai laman itu ditutup, sebagian ditelusuri demi membongkar pelaku utama penjualan obat itu.
Namun, penutupan laman tak memberi efek jera, apalagi pelaku mudah membuat laman baru. Karena itu, produsen dan pengedar obat palsu harus ditindak tegas. “Harus diusut hingga ke hulu dengan penegakan hukum secara konsisten dan berkesinambungan,” kata Roy.
Edukasi juga perlu ditingkatkan agar masyarakat cerdas memilih obat dan paham bahaya obat palsu bagi kesehatan. Hal itu untuk menghentikan permintaan obat palsu. “Jangan hanya mempertimbangkan harga saat beli obat karena biaya berobat akibat konsumsi obat palsu bisa lebih besar,” ujarnya.
Pihaknya juga mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait dan penegak hukum. “Bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, kami menertibkan penjualan obat secara online. Perusahaan jasa pengiriman dilibatkan untuk menelusuri produsen obat dan jamu yang tak jelas,” kata Roy.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Dorodjatun Sanusi menyatakan, kalangan pelaku industri siap membantu pemerintah memberantas peredaran obat palsu. (B03/B04/UTI)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juni 2015, di halaman 14 dengan judul “Semua Jenis Obat Palsu Dijual Lewat Internet”.
Pemberantasan obat palsu di Indonesia tidak menunjukkan kemajuan berarti. Penyebabnya, penegakan hukum belum mengarah pada pelaku utama. Pemberantasan masih difokuskan pada edukasi konsumen.
“Jika masyarakat sudah pintar, mereka tidak mau menggunakan obat palsu,” kata Arustiyono, Direktur Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan Napza Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rabu (3/6), di Jakarta.
Menurut Arustiyono, tanpa ada permintaan dari konsumen, bisnis obat palsu tidak akan tumbuh subur. Karena itu, peran masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas obat palsu.
Kepala Unit I Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri Ajun Komisaris Besar Tatok Sudjiarto mengatakan, Indonesia belum punya undang-undang (UU) khusus tentang obat palsu. Selama ini, penegakan hukum menggunakan UU tentang Merek, UU Kesehatan, atau UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Penegakan hukum bukan hanya pada berapa pelaku yang berhasil ditangkap dan diproses. Ketika banyak pelaku yang ditangkap, bukan berarti sudah berhasil,” kata Tatok.
Ia menambahkan, Indonesia menjadi sasaran dari sindikat produsen obat palsu dari luar negeri, seperti India dan Tiongkok. Namun, sejauh ini belum ada yang ditangkap.
Upaya pemberantasan
Upaya yang dilakukan BPOM adalah membentuk satuan tugas pemberantasan obat palsu dan ilegal pada 2011. Namun, Arustiyono mengatakan, kinerja mereka belum maksimal. Menurut dia, perlu koordinasi lebih baik antarlembaga pemerintah, seperti BPOM, Polri, Kementerian Kesehatan, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ia menambahkan, BPOM tidak punya wewenang menindak pelaku kejahatan obat palsu. Pihaknya hanya bisa memberi rekomendasi kepada penegak hukum.
Satuan tugas juga fokus pada memberikan edukasi kepada konsumen. Konsumen harus cerdas saat membeli obat. Jangan hanya mencari harga murah tanpa mempertimbangkan kualitas.
“Untuk menghindari obat palsu, masyarakat sebaiknya menebus obat di apotek. Beri tahu dokter jika tidak ada pengaruh usai minum obat, beli obat di tempat berizin, serta perhatikan kemasan, kebersihan kemasan, dan label,” paparnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan Justisiari P Kusumah menyatakan, sebenarnya masyarakat tahu bahaya mengonsumsi obat palsu dan ilegal. Namun, konsumen tidak mengenali mana yang palsu dan asli.
Hasil survei tahun 2014 terhadap 500 responden di Jabodetabek menunjukkan, 90 persen responden mengatakan obat palsu berbahaya untuk kesehatan. Sementara itu, saat ditanya apakah pernah menggunakan obat palsu, 50 persen menjawab tidak dan 50 persen ragu-ragu.
“Pola pikir masyarakat harus diubah. Mereka perlu dicerdaskan agar lebih hati-hati saat membeli obat,” ujar Justisiari.
Daring
Sebagaimana diberitakan, peredaran obat palsu dan ilegal di Indonesia kian marak. Sebagian besar obat itu dijual melalui situs daring (online), baik obat tradisional, generik, paten, maupun obat bebas. Hal itu dinilai bisa membahayakan kesehatan konsumen karena keamanan dan kualitas obat tak terjamin. Untuk itu, peredaran obat palsu harus segera diberantas.
“Dampaknya membahayakan kesehatan masyarakat,” kata Kepala BPOM Roy Sparringa seusai aksi simpatik anti obat palsu (Kompas, 3/6).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, peredaran obat palsu dunia 10 persen. Bahkan, di negara berkembang, seperti Indonesia, 25 persen obat yang beredar merupakan obat palsu dan ilegal.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2009 tentang Registrasi Obat, obat palsu ialah obat yang diproduksi oleh pihak yang tak berhak sesuai UU atau obat yang produksi dengan penandaan meniru identitas obat lain berizin edar.
Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid menyatakan, peredaran obat palsu marak karena menguntungkan. Cara pembuatannya antara lain mencampur bahan baku dengan mesin pengaduk semen dan meracik zat kimia sebagai bahan obat secara sembarangan tanpa aturan cara pembuatan obat yang baik.
Sebagian obat palsu dan ilegal dipasarkan di apotek dan lewat daring. Obat palsu diproduksi pihak yang tak punya izin produksi, sedangkan obat ilegal ialah obat yang diedarkan tanpa izin. “Lebih dari 50 persen obat palsu dan ilegal beredar secara online,” kata Roy.
Jumlah situs penjualan obat palsu dan ilegal yang ditutup BPOM terus meningkat. Pada 2011, BPOM menemukan 33 laman dan jumlahnya naik menjadi 83 laman pada 2012. Pada 2013 ada 129 laman, kemudian naik menjadi 302 laman pada 2014. Sebanyak 132 situs obat tradisional yang tak jelas diblokir dengan nilai transaksi Rp 6,9 miliar.
Ratusan laman itu menawarkan beragam obat palsu dan ilegal, antara lain obat tradisional, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat disfungsi ereksi. Laman-laman itu ditutup dan sebagian ditelusuri demi membongkar pelaku utama penjualan obat tersebut.
Namun, penutupan laman tak memberi efek jera, apalagi pelaku mudah membuat laman baru. Karena itu, produsen dan pengedar obat palsu harus ditindak tegas. “Harus diusut hingga ke hulu dengan penegakan hukum secara konsisten dan berkesinambungan,” kata Roy.(B04)
Sumber: Kompas Siang | 3 Juni 2015