Tiga komunitas menerima Penghargaan Equator karena menjalankan pembangunan berkelanjutan dan berkontribusi menjaga lingkungan. Penghargaan internasional itu menunjukkan, aksi nyata berbasis kearifan lokal diapresiasi dunia, terutama upaya menekan pemanasan global.
Ketiga komunitas itu bagian dari 21 pemenang Penghargaan Equator yang diumumkan Desember 2015 di Paris, Perancis, pada Konferensi Perubahan Iklim (COP 21). Mereka adalah Komunitas Adat Muara Tae dan Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (Formadat) dari Kalimantan Timur serta Kelompok Peduli Lingkungan Belitung (KPLB) dari Kabupaten Belitung, Bangka Belitung.
Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Stig Traavik mengatakan, adalah penting menghubungkan yang terjadi di tingkat bawah dengan diskusi iklim tingkat internasional. “Satu isu kunci yaitu menghubungkan sains di tingkat internasional yang menunjukkan kita harus berubah dan kearifan lokal untuk tidak menghancurkan hutan,” ujarnya dalam penganugerahan Penghargaan Equator tingkat nasional di Kantor Program Pembangunan PBB (UNDP) Indonesia Jakarta, Kamis (28/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Acara itu, antara lain, dihadiri Kepala Perwakilan PBB di Indonesia Douglas Broderick, Duta Besar Amerika Serikat Robert Blake, dan pendiri Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia Erna Witoelar. Menerima penghargaan, Komunitas Adat Muara Tae diwakili Petrus Asuy, Formadat oleh Lewi Gala Paru, dan KPLB oleh Budi Setiawan.
Penghargaan Equator diberikan oleh Equator Initiative, sebuah kemitraan UNDP dengan melibatkan pemerintah sejumlah negara, organisasi masyarakat sipil, kalangan bisnis, dan organisasi akar rumput untuk meningkatkan solusi pembangunan berkelanjutan tingkat lokal. Norwegia salah satu mitranya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Lewi G Paru dari Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo, Budi Setiawan dari Kelompok Peduli Lingkungan Belitung, dan Petrus Asuy dari Komunitas Adat Muara Tae Kutai Barat (kiri ke kanan) membeberkan pengalaman menjaga lingkungan saat penganugerahan Penghargaan Equator tingkat nasional oleh Program Pembangunan PBB (UNDP), Kamis (28/4), di Jakarta.
Asuy menuturkan, masyarakat Muara Tae di Kutai Barat menjaga kelestarian hutan adat mereka agar kesejahteraan bertahan hingga generasi anak-cucu. Saat ini, mereka berkonflik dengan beberapa perusahaan, termasuk perkebunan kelapa sawit, karena perusahaan-perusahaan itu mendapat konsesi dari bupati yang tumpang tindih dengan wilayah hutan adat Muara Tae.
“Hidup atau mati, menang atau kalah, kami lawan,” ujar Asuy. Dari 11.000 hektar hutan adat Muara Tae, hanya 4.000 ha yang tersisa. Komunitas adat sudah menanami kembali 700 ha lahan hutan menggunakan tanaman lokal. Ia mengenal sekitar 1.500 jenis tanaman di hutan adat. Bahkan, kerap memanfaatkan untuk obat tradisional.
Penerima penghargaan lain, Formadat, merupakan gabungan masyarakat adat dari Kalimantan Timur dan Malaysia, yaitu dari Krayan dan Krayan Selatan di Kalimantan Timur; Bario, Ba’kelalan, dan Long Semadoh dari Sarawak; serta Long Pasia dari Sabah. Mereka bekerja sama untuk menjaga kelestarian hutan.
“Di Malaysia, kerusakan hutan sudah cukup parah. Di kami, hutan belum terjamah,” ujar Lewi. Ia dan warga memanfaatkan kelestarian lingkungan untuk pertanian organik padi.
Menurut Budi, KPLB menginisiasi pelestarian lingkungan Belitung dan mengembangkan ekowisata agar masyarakat mendapat manfaat dari konservasi. Salah satu atraksi wisata berbasis konservasi yang digarap adalah menyaksikan monyet terkecil di dunia, tarsius belitung (Tarsius bancanus ssp. saltator). (JOG)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2016, di halaman 14 dengan judul “Aksi Nyata Masyarakat Lokal Diakui Global”.