Di tahun kedelapan perayaan Hari Internasional Anak Perempuan pada 11 Oktober 2019, perempuan muda Indonesia masih menghadapi ketimpangan kualitas hidup antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain dipicu oleh keterbatasan akses pendidikan dan krisis identitas masing-masing individu.
PT Unilever Indonesia Tbk melalui merek Sunsilk bekerja sama dengan International Centre for Research on Women (ICRW) untuk mempelajari kesempatan perempuan mencapai kehidupan berkualitas.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI–Diskusi tentang isu perempuan, kaum yang masih terkendala untuk menggali potensi diri dan meraih hidup berkualitas, diadakan Sunsilk, bagian PT Unilever Indonesia Tbk, di Jakarta, Senin (7/10/2019). Dari kanan ke kiri: pengamat ilmu sosial, budaya, dan komunikasi Universitas Indonesia Devie Rahmawati, penyanyi Isyana Sarasvati, Director of Personal Care PT Unilever Indonesia Ira Noviarti, penyanyi Raisa Andriana, dan Division Head for Health and Wellbeing and Professional Institutions Unilever Indonesia Foundations Ratu Mirah Afifah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan studi yang dirilis pada 2019, ada 28 persen perempuan Indonesia yang berisiko tidak memiliki akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan. Risiko ini dua kali lebih besar dibandingkan lelaki.
Limitasi tersebut mencegah perempuan menggali potensi dirinya. Riset yang sama menyebutkan bahwa perempuan muda juga menghadapi sejumlah tantangan lain, yaitu pembatasan internal oleh diri sendiri (individual), lingkungan rumah tangga (household), lingkungan sekitar (community), dan masyarakat luas (society).
“Selain tantangan-tantangan itu, perempuan juga berisiko tiga kali lebih tinggi untuk mengalami stres dibandingkan laki-laki. Bagaimana perempuan dapat mengenali dan menggali potensi dirinya jika stres?” kata pengamat sosial, budaya, dan komunikasi Universitas Indonesia Devie Rahmawati di Jakarta, Senin (7/10/2019).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI–Dalam diskusi tentang isu perempuan yang diadakan Sunsilk, bagian PT Unilever Indonesia Tbk, di Jakarta, Senin (7/10/2019), ini terungkap sejumlah penyebab kerentanan perempuan terhadap stres.
Menurutnya ada tiga faktor penyebab kerentanan perempuan terhadap stres. Pertama adalah faktor biologis terkait dinamika hormon. Kedua, faktor psikologis soal masyarakat yang kini terobsesi pada pengakuan publik. Ketiga, faktor sosiologis ketika masyarakat lebih mementingkan penampilan fisik daripada kompetensi diri.
Hal-hal tersebut merintangi perempuan untuk mencapai hidup berkualitas. Menurut Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP) pada 14 September 2018, rata-rata kualitas hidup perempuan di 189 negara lebih rendah 5,9 persen dibandingkan laki-laki.
Aspek pendidikan dan pendapatan dinilai jadi faktor utama menghitungn skor Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) antara perempuan dengan lelaki. HDI digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia berdasarkan usia harapan hidup, lama mengenyam pendidikan, dan daya beli per tahun.
Kendala perempuan untuk mengenyam pendidikan antara lain perkawinan di usia dini dan tenaga perempuan yang dibutuhkan di ranah domestik. Hal itu membuat perempuan mengenyam pendidikan dalam waktu yang lebih pendek (Kompas.id, 18/11/2018).
Kesadaran rendah
Director of Personal Care PT Unilever Indonesia Ira Noviarti mengatakan, remaja perempuan berusia 13-18 tahun pada umumnya belum menyadari potensi dirinya. Padahal, kesadaran dibutuhkan agar potensi bisa dieksplorasi dan dikembangkan.
“Untuk itu kami mengadakan kampanye #TakTerhentikan yang pendekatannya dibagi dalam tiga fase. Ketiganya adalah Inspire (menginspirasi perempuan muda), Encourage (mendorong), dan Equip (memperlengkapi) melalui program misi sosial,” kata Ira.
Menurut Ira, target program tersebut mencakup 10.000 perempuan dari seluruh Indonesia hingga 2020. Para perempuan yang mengikuti program pun diharapkan bisa menularkan semangat menggali potensi diri kepada perempuan-perempuan lain.
Hingga kini, modul program tersebut masih disempurnakan. Aspek-aspek pada modul mencakup antara lain cara mempelajari kekuatan diri, memetakan potensi diri, dan membangun lingkungan yang suportif.
“Sadarilah kekuatan diri yang dimiliki. Kadang kita memfokuskan energi ke kelemahan kita. Padahal, jika energi itu diarahkan ke keuatan diri, hal itu bisa menambah nilai kita,” kata Ira.–SEKAR GANDHAWANGI
Editor PASCAL S BIN SAJU
Sumber: Kompas, 7 Oktober 2019