CATATAN IPTEK
Seleksi alam selama ini menjadi mekanisme kunci keberlangsungan dan keberagaman makhluk hidup di muka Bumi. Mekanisme ini pula yang menempa manusia untuk beradaptasi hingga ke bentuknya seperti sekarang ini. Namun, manusia kemudian mengambil alih mekanisme alam ini dan memicu kehancuran ekologi.
Setelah muncul di Afrika sekitar 150.000 tahun lalu, sebagian leluhur kita, Homo sapiens, kemudian meninggalkan benua ini 70.000 tahun lalu. Migrasi Out of Africa ini kemungkinan dipicu oleh perubahan iklim, yang menyebabkan Afrika menjadi sangat kering (Jessica Tierney, 2017).
KOMPAS/AHMAD ARIF–Cagar Alam Pegunungan Arfak yang membentang 68.325 hektar merupakan benteng keragaman hayati di Papua. Selama ini riset dasar terkait keragaman hayati okeh peneliti dalam negeri masih terbatas (Kompas/Ahmad Arif)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengembaraan ke dunia baru, termasuk pembaurannya dengan hominin lain, yaitu Neandertal dan Denisovan, telah menghasilkan lompatan kognisi. Sapiensmenjadi unggul dalam menciptakan berbagai alat bantu. Dimulai dengan pengetahuan untuk mengendalikan api, menemukan minyak lampu, alat pelontar, busur dan panah, dan juga alat untuk menjahit baju, mereka mampu menjelajah ke dunia baru. Penciptaan rakit, memampukan mereka menyeberangi selat, hingga mencapai Papua sejak sekitar 50.000 tahun lalu.
Penciptaan beragam peralatan untuk menutupi kelemahan fisiknya, membuat leluhur kita lebih unggul dari spesies lain. Keberadaan manusia diduga mempercepat musnahnya binatang besar (megafauna) seperti stegodon dan mamut, bahkan juga homo arkaik Neandertal dan Denisovan.
Hingga sekitar 11.700 tahun lalu, suhu Bumi menghangat dan menjadi akhir dari Zaman Es. Bentang alam berubah drastis, yang menandai epos baru geologi, Holocene. Permukaan laut bertambah hingga 100 meter dari periode sebelumnya, sehingga menyebabkan terpisahnya bagian barat Kepulauan Nusantara dengan daratan Asia dan Papua terpisah dengan Australia.
Menghangatnya suhu menjadi babak baru bagi evolusi peradaban manusia. Iklim menjadi lebih ramah dan populasi yang tumbuh pesat, menuntut kebutuhan pangan lebih banyak, sementara megafauna telah punah. Pada periode ini manusia mulai mendomestifikasi binatang dan bercocok tanam. Jika sebelumnya mereka hanya mengambil apa yang dipilihkan alam dengan berburu dan meramu, manusia mulai membudidayakan biji-bijian dan membiakkan binatang tertentu, sekaligus menyingkirkan yang lainnya.
Revolusi Pertanian telah menempatkan manusia semakin dominan atas alam dan mengeksploitasinya untuk menopang hidup mereka. Puncak dominasi manusia atas alam terutama terjadi setelah Revolusi Industri pada abad ke-18, ketika mereka menemukan teknologi untuk mengekstraksi alam secara lebih masif. Apalagi, kemudian manusia mulai mengeksploitasi alam bukan hanya untuk menopang kebutuhan hidup, tetapi untuk mengakumulasi kapital, bahkan juga sekadar untuk menunjukkan dominasinya.
Nafsu untuk berkuasa ini semakin memuncak setelah manusia berhasil menyingkap kotak pandora penciptaan. Dengan mengetahui struktur gen yang menjadi kunci pewarisan sifat, mereka mulai merekayasa organisme baru dengan menentang seleksi alam. Sukses pertama terjadi 23 tahun lalu, setelah Roslin Institute di Skotlandia menciptakan domba Dolly dari kloning kelenjar susu.
Sejak saat itu, banyak laboratorium dunia berlomba merekayasa makhluk hidup baru hasil rekayasa genetika. Tahun 2000, seniman Brasil, Eduardo Kac, membiayai penciptaan kelinci berpendar hijau dari laboratorium di Perancis. Para ilmuwan menanamkan gen ubur-ubur berpendar hijau ke embrio kelinci putih biasa. Kelinci berpendar hijau tercipta dan diberi nama Alba, demikian seterusnya hingga kini mereka mulai merekayasa spesies sendiri.
Manusia telah mengukuhkan dominasi manusia, sekaligus mendesak spesies lain ke tubir kepunahan. Penelitian Rodolfo Dirzo dalam Jurnal Science (2014) menyebutkan, sebanyak 322 spesies hewan bertulang belakang (vertebrata) punah sejak tahun 1500, dan yang tersisa menurun populasinya hingga 25 persen. Hewan tak bertulang belakang (invertebrata) sama persoalannya: dari 67 persen jenis yang diketahui, 45 persen di antaranya anjlok populasinya.
Situasi ini, menurut Dirzo, pada ujungnya akan ”membawa pemusnahan massal keenam kalinya di Bumi dan faktor penting bagi perubahan ekologi global”. Para ilmuwan telah mengidentifikasi, Bumi setidaknya pernah mengalami lima kali pemusnahan massal. Terakhir, pemusnahan massal terjadi 66 juta tahun lalu akibat tumbukan meteor besar ke Bumi. Ini dikenal sebagai kepunahan Cretaceous yang menghilangkan era dinosaurus. Sedangkan pemusnahan massal ke depan, disebabkan oleh faktor manusia. Berdasarkan hal ini, para ahli mengusulkan bahwa era Holocene telah digantikan babak Antroposen.
Jika sebelumnya pergantian epos geologi di Bumi dipicu peristiwa alam, di era Antroposen, untuk pertama kalinya perubahan global dipicu ulah penghuninya. Misalnya, konsentrasi emisi karbon dioksida (CO2) akibat ulah manusia sejak Revolusi Industri telah mencapai titik tertinggi, yaitu 400 ppm (bagian per meter) dibandingkan 1 juta tahun lalu yang hanya 100 ppm.
Tak hanya mengancam kehidupan lain, ulah manusia sebenarnya mengarah pada bunuh diri. Berbagai kajian telah memaparkan, degradasi lingkungan dan perubahan iklim global telah mengancam keberlangsungan hidup manusia, baik dalam bentuk merebaknya berbagai penyakit, hingga meningkatnya intensitas bencana.
Kajian Lambaga Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dirilis Februai 2019 menemukan, merosotnya keberagaman spesies telah menghancurkan keseimbangan alam dan pada akhirnya akan mengancam ketersediaan pangan global. Keberagaman spesies merupakan kunci keberlangsungan hidup di muka Bumi, karena semua organisme terhubung dalam jejaring kehidupan. Misalnya, hilangnya serangga akibat penggunaan pestisida, telah mengancam penyerbukan tanaman.
Tema Hari Bumi 2019 pada 22 April yang didedikasn untuk melindungi jutaan spesies lain menuju kepunahan menjadi sangat relevan. Spesies Homo sapiens tidak mungkin bisa bertahan sendirian di muka Bumi ini….–AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 24 April 2019