Pesawat Airbus A320, termasuk milik maskapai AirAsia yang hilang kontak, Minggu (28/12), adalah salah satu kuda beban utama di industri penerbangan sipil dunia saat ini. Bersama pesaing utamanya, Boeing B-737, A320 menguasai pasar pesawat komersial jarak pendek-menengah.
Menurut keterangan di laman resmi Airbus, 6.331 pesawat dari keluarga A320 telah diproduksi sejak dioperasikan perdana pada 1988 hingga November 2014. Angka ini membuat keluarga A320 menjadi pesawat terlaris kedua sepanjang sejarah setelah B-737.
A320 dirancang sebagai pesawat penumpang satu selasar (single-aisle) bermesin ganda dengan kapasitas angkut 150-180 penumpang. Pada perkembangannya, tipe pesawat ini bertambah dengan varian A318 (berkapasitas 107-132 penumpang), A319 (124-156 penumpang), dan A321 (185-220 penumpang).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pesawat AirAsia yang hilang itu adalah varian A320-200 dengan kapasitas 180 tempat duduk. Berdasarkan laman penerbangan Airfleets.net, pesawat dengan registrasi PK-AXC itu terbang perdana pada 25 September 2008.
Keunggulan teknologi
Sejak awal, Airbus berupaya merancang A320 unggul dari sisi teknologi. Salah satunya dengan menerapkan sistem kendali penerbangan elektronik atau fly-by-wire. A320 menjadi pesawat penumpang pertama yang menerapkan sistem kendali digital itu. Sebelumnya, sistem ini hanya dipakai di pesawat-pesawat tempur.
Penerapan teknologi canggih ini langsung terlihat begitu kita memasuki kokpit A320 yang menerapkan glass-cockpit. Semua instrumen dan indikator ditampilkan di layar monitor elektronik, bukan dalam bentuk indikator jarum analog lagi.
Tongkat pengendali (yoke) yang biasanya berada di depan pilot digantikan stik pendek yang terletak di sisi pilot. ”Rasanya seperti mengoperasikan mouse komputer,” tutur Kapten Guntur Prabowo, seorang pilot maskapai penerbangan nasional.
Menurut Guntur, sistem komputer A320 dirancang untuk melindungi pesawat itu dari berbagai kemungkinan masalah di udara. Sistem itu, misalnya, akan mencegah sudut hidung pesawat naik terlalu curam atau sudut kemiringan sayap terlalu tajam saat berbelok.
”Pesawat akan terkunci di sudut kemiringan yang aman untuk mencegah stall. Pesawat juga akan dengan sendirinya mencegah terbang terlalu cepat atau terlalu pelan,” ujar Guntur, yang berpengalaman menerbangkan A320 dan B-737.
Teknologi ini bukannya tanpa risiko. Sistem seperti ini membutuhkan input data akurat dari berbagai sensor pesawat, misalnya sensor kecepatan (airspeed).
Kecelakaan pesawat Airbus A330-200 milik maskapai Air France nomor penerbangan AF447 di lepas pantai Brasil, 1 Juni 2009, salah satunya dipicu data kecepatan yang salah. Hal itu disebabkan alat pengukur kecepatan yang tertutup es.
Terkait risiko cuaca buruk di jalur penerbangan, kata Guntur, A320 juga telah dilengkapi radar cuaca yang memadai. Radar tersebut bisa mendeteksi kondisi cuaca setidaknya pada jarak 40-60 mil laut (74,08-111,12 kilometer) di depan pesawat. ”Dengan demikian, ada cukup waktu bagi pilot untuk memilih rute yang lebih aman,” ujarnya.
Guntur tak mau berspekulasi tentang apa yang terjadi pada A320 AirAsia dengan nomor penerbangan QZ 8501 itu. Semua harus menunggu sampai pesawat itu ditemukan dan penyebab insiden ini diinvestigasi menyeluruh. (DHF)
——————
Operasi Besar-besaran Digelar Mencari Pesawat Airasia
22 Kapal dan 8 Pesawat Dikerahkan Mencari AirAsia yang Hilang Kontak
Pesawat AirAsia dengan kode penerbangan QZ 8501 dari Surabaya ke Singapura hilang kontak pada Minggu (28/12) pagi. Untuk memastikan keberadaannya, pemerintah melakukan operasi pencarian secara besar-besaran sejak kemarin pagi. Setidaknya 22 kapal dan 8 pesawat dikerahkan dalam operasi ini.
Pemerintah memutuskan operasi pencarian dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kemarin Jusuf Kalla langsung mengunjungi kantor Badan SAR Nasional (Basarnas) dan melakukan rapat dengan Kepala Basarnas FHB Soelistyo.
Pesawat AirAsia berjenis A 320-200 dengan pilot Irianto dan kopilot Remi Emmanuel Plesel tersebut melakukan kontak terakhir dengan pusat pemandu lalu lintas udara (ATC) pada pukul 06.12 dan kemudian hilang dari pantauan radar pada pukul 06.18. Kontak terakhir di koordinat 03º36’31” Lintang Selatan dan 109º41’49” Bujur Timur atau antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan.
Berbagai jenis kapal dilibatkan dalam pencarian. Salah satunya adalah Kapal Riset BPPT Baruna Jaya IV dengan alat sensor multi-beam echo sounder dan side-scan sonar. Kapal ini memiliki pengalaman menemukan pesawat Adam Air di Selat Makassar dan dua kapal yang tenggelam.
Doa untuk AirAsia
Kasus hilang kontak ini telah mendapat perhatian dunia media sosial dan menjadi topik utama. Salah satunya di Twitter dengan tagar #QZ8501 dan #PrayforAirAsia.
Presiden Joko Widodo di Sorong, Papua Barat, sesaat setelah mendengar informasi dari Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengenai kabar hilangnya pesawat AirAsia, langsung memerintahkan Kepala Basarnas, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian Negara RI untuk membantu pencarian pesawat tersebut.
Selain memerintahkan pencarian, Presiden Joko Widodo juga langsung memerintahkan Menteri Perhubungan segera menghubungi keluarga penumpang dan keluarga dari kru pesawat di Indonesia.
”Kita berdoa semuanya. Saya dan seluruh rakyat Indonesia, kita berdoa untuk keselamatan kru dan penumpang pesawat AirAsia QZ 8501,” ujarnya.
Ignasius Jonan memerintahkan semua kapal penjaga laut dan pantai, juga kapal negara yang berada di sekitar lokasi yang diduga merupakan posisi pesawat AirAsia, untuk ikut melakukan pencarian. Menteri Perhubungan juga memerintahkan agar radio pantai menginformasikan ke semua kapal yang lewat di area itu untuk membantu pencarian.
Belum ada sinyal
Hingga Minggu petang, belum ada tanda-tanda, baik sinyal maupun fisik, pesawat ditemukan setelah kontak terakhir dengan ATC Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Pesawat itu lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur, pada pukul 05.36. Pesawat melewati jalur penerbangan M-635 melewati Laut Jawa atau perairan di sekitar Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Bangka Belitung.
Dalam kondisi normal, pesawat seharusnya tiba di Bandara Changi, Singapura, pada pukul 07.57 waktu setempat. Pesawat hilang kontak setelah berkomunikasi dengan petugas ATC pada pukul 06.12. Pada saat itu, pilot pesawat meminta berbelok ke kiri untuk menghindari awan. Permintaan tersebut sudah disetujui petugas ATC. Selain meminta berbelok, pesawat juga meminta naik ketinggian dari 32.000 kaki ke 38.000 kaki. Sebelum permintaan itu disetujui, pesawat sudah hilang kontak.
”Permintaan naik ketinggian belum disetujui karena petugas masih mengecek kondisi lalu lintas dan berkoordinasi dengan petugas pemandu lalu lintas udara,” ujar pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Djoko Murjatmodjo. Menurut Djoko, pilot pesawat meminta naik ketinggian karena menghindari awan kumulonimbus.
Setelah kehilangan kontak, petugas ATC berusaha berkomunikasi dengan pesawat dengan melakukan prosedur pemanggilan berulang kali, tetapi tak ada jawaban. Pada pukul 06.18 pesawat hilang dari pantauan radar Bandara Soekarno-Hatta. Kemudian petugas ATC melaporkan hal itu ke penyelia (supervisor).
Pada pukul 07.08, ATC Bandara Soekarno-Hatta menyatakan status Incerfa (uncertainty phase) yang berarti kondisi penumpang pesawat dalam keadaan meragukan karena mengalami keterlambatan tiba di tempat tujuan. Selanjutnya, pada pukul 07.28 status naik menjadi Alerfa (alert phase) atau penumpang pesawat dalam keadaan mengkhawatirkan karena keselamatannya terancam. Pada pukul 07.55, status pesawat dinyatakan Detresfa (distress phase) atau memerlukan bantuan karena pesawat dalam keadaan mendarat darurat, jatuh, atau dalam keadaan tenggelam, tabrakan, terbakar, dan lain-lain.
Upaya pencarian
Basarnas memimpin tim gabungan pencarian di titik koordinat kontak terakhir pesawat berkomunikasi dengan ATC.
Kepala Basarnas FHB Soelistyo mengatakan, hari pertama kemarin dilakukan pengerahan pesawat dan kapal. Selanjutnya akan dibuat struktur komando pengendalian yang dipusatkan di Basarnas pusat dengan posko taktis di Pangkal Pinang. ”Tahap pertama adalah tujuh hari. Kemudian dievaluasi dan diperpanjang sesuai perkembangan situasi di lapangan,” ujar Soelistyo.
Kepala KNKT Tatang Kurniadi masih menunggu perkembangan pencarian dari Basarnas dan tim gabungan. Adapun sinyal dari emergency locator transmitter (ELT) atau alat suar penentu lokasi pesawat tidak terdeteksi. Menurut Tatang, sinyal ELT dapat terdeteksi apabila pesawat mendarat di daratan. ELT juga bisa mengeluarkan sinyal saat menyentuh air. Alat khusus dibutuhkan untuk mendeteksi sinyal ELT. Alat pendeteksi itu masih sulit mencari sinyal karena area pencarian terlalu luas.
(DEA/IAN/SON/NAD/RAZ/RYO/EDN/ONG/MAR/NIK/BAH/ACI/ETA/RAZ/ESA/ODY/ARN)
Sumber: Kompas, 29 Desember 2014