Dari sektor pendidikan akademisi, gelanggang olahraga, dan bahkan politik kampus, sikap mental kita sudah mulai ada yang menabukan kompetisi. Perbedaan pendapat dianggap sebagai sebuah ancaman stabilitas kampus.
Bukti itu nyata mula dari tingkat mahasiswa hingga tingkat dosen. Misalnya, dalam pemilihan dekan, yang diangkat rektor bukan sosok pilihan suara terbanyak, melainkan yang memiliki kedekatan dengan kebijakan rektorat atau kedekatan personal.
Dari sisi mahasiswa, di kancah politik para mahasiswa masih optimistis bahwa proses pemilihan senat dan badan eksekutif mahasiswa masih bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi dan kompetisi yang sehat. Dari sisi normatif memang iya, namun jika kita tilik secara mendalam, terutama jika dilihat dari angka partisipasi politik mahasiswa yang rendah dalam sebuah pemilihan badan legislatif maupun eksekutif, sudah menunjukkan gejala apatisme politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gelanggang olahraga mahasiswa juga menjadi potret memprihatinkan. Tak adanya pendanaan rutin untuk penjaringan prestasi atau pelaksanaan kompetisi, atau minimal dana untuk pemeliharaan fasilitas olahraga, membuat semua sendi kehidupan di kampus mulai diabaikan.
Kampus berdiri seperti pabrik, interaksi yang ada layaknya hubungan industrial antara mahasiswa yang membayar dan institusi kampus yang menjalankan bisnis jasa. Pernik-pernik kehidupan kampus yang digambarkan dalam kehidupan kampus era modern 1980-1990 pun sudah mulai luntur. Tentu tak semua kampus seperti itu.
Dikepung budaya instan
Kita telah dikepung oleh budaya instan. Para mahasiswa yang menghuni kampus kini adalah generasi penjelajah mal yang menjadikan mereka cuma budak merek, bukan penjelajah gunung-rimba yang membuatnya tangguh. Petualangan akademik dan pencarian jati diri sebagai agent of change denyutnya mulai mengkhawatirkan karena semua penghuni sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan tak ada sesuatu yang harus didobrak, semua serba mapan.
Suriawati, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, mengatakan ilmu dianggap bukan lagi prioritas. Orang kuliah bukan karena ingin mendapatkan ilmu, namun sekadar mencari ijazah prasyarat mencari pekerjaan atau mengincar kedudukan atau jabatan politik.
Banyaknya orang berbondong-bondong ingin masuk perguruan tinggi belum menjadi jaminan sebagai bangsa melek pendidikan. ”Keinginan besar tersebut sebagian tidaklah disebabkan akan kehausan ilmu, tetapi sebagai batu loncatan memperoleh pekerjaan kelak,” kata Suriawati.
Bagi yang berpikiran pendek, mereka tidak segan-segan mengeluarkan rupiah untuk masuk perguruan tinggi atau untuk lulus kuliah. ”Hal inilah yang merebak dengan istilah letjen atau ’lewat jendela’,” kata Suriawati.
Cipto Wardoyo, mahasiswa Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, memaparkan, disadari atau tidak kita memang sering kali menyukai jalan terobosan yang tak terlalu berisiko ketimbang harus bekerja keras mencapai sesuatu.
Entah itu dalam kompetisi sepak bola, misalnya memilih jalan naturalisasi pemain asing ketimbang mendidik pemain lokal sejak dini. Juga dalam kenaikan jabatan, meraih popularitas dan banyak hal lainnya.
Hal ini menunjukkan bahwa mainstream bangsa kita saat ini telah terkontaminasi cara berpikir pragmatis. ”Jika terus dibiarkan, ini akan menjadikan kita sebagai bangsa yang pemalas, tak lagi menghargai kerja keras dan bisa mematikan kreativitas bangsa,” tutur Cipto.
Penyakit akut
Budaya tidak mau susah memang telah akut dalam masyarakat. ”Mari kita menghargai proses, bukan sekadar hasil. Itulah kata-kata yang selama ini dilupakan,” kata Arief Sofyan Ardiansyah, mahasiswa Jurusan Komunikasi Isipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Arief mengutip Soichiro Honda, pendiri perusahaan Honda, yang berkata, ”Orang hanya melihat 1 persen keberhasilan saya, namun melupakan 99 persen penderitaan yang saya alami untuk mencapai puncak.”
Semua maunya cepat dan mudah. ”Seperti Aladin dengan mantra ”Sim Salabim”-nya. Jadi artis lewat jalur instan seperti ajang cari bakat. Jadi pegawai negeri lewat jalur sogokan instan. Akibatnya, yang dihasilkan hanyalah artis dan pegawai negeri karbitan, terlihat matang padahal masih mentah,” kata Arief.
Untuk memberantasnya, Arief mengatakan, pembangunan karakter harus menjadi tujuan utama pendidikan, tidak seperti sekarang yang hanya menyandarkan segalanya pada nilai ujian akhir nasional dan indeks prestasi.
”Pendidikan diharap tidak hanya mengarahkan peserta didiknya hanya untuk menjadi buruh atau karyawan dalam sistem kapitalis, namun benar-benar mendidik siswa menjadi manusia berkarakter dan merdeka jiwa serta pikirannya,” papar Arief.
Alit Marta Adi, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, juga melihat gejala yang sama soal infeksi budaya instan di lingkungan kampus. Jika filosofi ”cara instan” diumpamakan suatu agama, kita dapat menemukan ”kitab-kitab sucinya” dengan mudah di toko-toko buku.
”Kitab suci tersebut umumnya diberi judul ’menguasai… dalam satu menit’, ’mahir… dalam satu jam’, atau ’melipatgandakan… dalam seminggu’,” papar Alit.
Alit berpendapat, bukan hanya ”kitab- kitab suci”, filosofi ”cara instan” juga mempunyai banyak ”nabi” yang bekerja luar biasa dalam menyebarkan ajarannya melalui media televisi, internet, dan bahkan ”seminar- seminar”.
Mantra-mantra seperti ”sukses dalam waktu singkat”, ”cara terobosan”, ”jalur cepat menuju prestasi”, dan lain-lain telah sukses menghimpun pengikut dari berbagai latar belakang profesi, budaya, dan status ekonomi.
”Alih-alih menyebutnya sebagai filosofi atau budaya, cara instan ini lebih tepat disebut sebagai penyakit mental,” kata Alit. Akar dari penyakit mental ini berasal dari asas kebebasan bertindak dalam mencapai tujuan.
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari kompetisi. Kompetisi popularitas berkedok wacana akademik pun jadi fenomena tersendiri di kampus.
Para mahasiswa berlomba-lomba mencitrakan dirinya sebagai ”cendekiawan muda”. Beberapa orang memang benar-benar membuktikan kualitas intelektualnya. Namun, sebagian lagi sekadar kedok.
Pada umumnya mereka tampil dengan gaya busana ala profesional muda dengan rambut klimis, kemeja yang disetrika licin, dasi, sepatu mengilat, dan mungkin juga jas atau blazer.
Dalam menyusun makalah, kelompok mahasiswa berpenampilan ala profesional muda tersebut umumnya malas mencari referensi buku-buku, jurnal, atau hasil penelitian di perpustakaan. ”Mereka lebih suka mencari karya-karya orang lain di internet dan kemudian menggunakan jurus copy + paste tanpa menyebut sumber kutipan,” kata Alit.
Intelektual sejati, menurut Alit, lahir dari proses belajar yang tidak singkat. Proses belajar dijalani dengan membaca literatur ilmiah, baik di perpustakaan maupun dari media. Intelektualitas juga terasah melalui kegiatan-kegiatan penelitian, diskusi, seminar, workshop, dan menulis.
Semakin panjang rentang waktu yang dihabiskan, akan semakin tajam intelektualitas seseorang. Bangsa ini tak akan maju jika mahasiswa sebagai agen perubahan sudah berstempel ”Cap Instan”.(Amir Sodikin)
Sumber: Kompas, Selasa, 28 Desember 2010 | 02:54 WIB