CATATAN IPTEK
Penguasaan teknologi sebagai kompetensi teknis (hardskill) saja tak cukup. Pembangunan kompetensi lunak (softskill) yang membentuk karakter dan memengaruhi produktivitas manusia justru menjadi tantangan berat.
Teknologi membuat manusia makin produktif dan efisien. Pemanfaatan teknologi digital, otomasi dan kecerdasan buatan akan memangkas banyak pekerjaan. Bahkan, McKinsey Global Institute memprediksi akan ada 75 juta-375 juta pekerjaan yang bakal tergantikan oleh mesin atau robot pada 2030.
Teknologi juga telah mengubah cara manusia hidup dan menikmati hidup. Teknologi digital membuat manusia yang jauh bisa berkumpul dan bercengkerama di dunia maya. Aneka jenis hiburan pun bisa disaksikan dari satu gawai, termasuk merasakan sensasinya dengan perangkat virtual reality.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat kerja sama di berbagai bidang.
Perkembangan teknologi yang cepat itu juga telah melahirkan banyak inovasi yang jadi penggerak ekonomi sekaligus penentu daya saing bangsa. Banyak jenis pekerjaan baru juga tercipta dan jadi peluang bagi siapapun yang mampu mengantisipasinya. Wajar jika banyak bangsa berlomba menguasai segala keunggulan dan kemajuan teknologi itu agar tak tertinggal dari bangsa lain.
Nyatanya, penguasaan teknologi sebagai kompetensi teknis (hardskill) saja tak cukup. Pembangunan kompetensi lunak (softskill) yang membentuk karakter dan memengaruhi produktivitas manusia justru jadi tantangan berat. Kompetensi lunak itu bisa jadi kemampuan adaptasi yang baik atas perkembangan teknologi yang makin sulit diprediksi.
Penguasaan teknologi sebagai kompetensi teknis (hardskill) saja tak cukup. Pembangunan kompetensi lunak (softskill) yang membentuk karakter dan memengaruhi produktivitas manusia justru jadi tantangan berat.
Pendiri perusahaan e-dagang raksasa Ali Baba, Jack Ma di satu acara di Forum Ekonomi Dunia (WEF), Januari 2018 mengingatkan anak-anak perlu diajarkan tentang nilai, kepercayaan, berpikir mandiri, kerja sama, dan kepedulian.
Kompetensi lunak itu akan jadi pembeda antara manusia dengan mesin atau robot. Berbagai kompetensi lunak itu salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan jasmani dan seni.
Sementara itu, Howard Gardner dalam buku Five Minds for the Future (2007) menyebutkan kemampuan berpikir yang dibutuhkan di masa depan dalam dunia yang mengglobal adalah kemampuan berpikir untuk menghargai orang lain, menjunjung tinggi etika, fokus dalam satu bidang, menyintesis informasi, dan berpikir kreatif.
Namun, soal itu banyak luput dalam sistem pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sistem pendidikan yang ada belum mampu mengantisipasi perkembangan teknologi yang cepat, membangun budaya berpikir ilmiah, membangun kompetensi lunak yang memanusiakan manusia dan menghadapi dunia yang makin tanpa batas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim dalam Kompas100 CEO Forum di Jakarta, Kamis (28/11/2019), pun mengatakan masalah terkait produktivitas sumber daya manusia Indonesia berkaitan dengan perilaku, budaya dan pola pikir. Banyak anak muda saat masuk dunia kerja tak bisa berkomunikasi dan berkolaborasi, tak disiplin waktu, dan tak bisa memutuskan penyelesaian suatu masalah.
Kondisi itu sangat memengaruhi penilaian atas kualitas tenaga kerja Indonesia. Laporan Daya Saing Global WEF yang terbit tiap tahun hampir selalu memasukkan persoalan itu dalam masalah yang menghambat bisnis di Indonesia, terutama soal rendahnya kemampuan inovasi dan etika kerja.
Situasi menuntut perbaikan pengajaran kompetensi lunak dalam sistem pendidikan Indonesia. Peningkatan kreativitas, komunikasi, kerja sama dan berpikir kritis harus jadi bagian dari kompetensi siswa, bukan sekedar mengejar kemampuan teknis, apalagi kemampuan menghapal.
Bagaimanapun teknologi hanyalah alat. Bagaimana siswa menggunakan dan memanfaatkan teknologi itu agar berfaedah bagi hidup mereka dan sekitarnya perlu terus didorong. Kompetensi lunak itu akan membuat anak-anak Indonesia mampu bertahan dari ketidakpastian masa depan.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 4 Desember 2019