Studi terbaru menunjukkan bukti kehidupan di India saat terjadinya letusan dahsyat Gunung Toba, yang berada di Sumatera Utara 74.000 tahun lalu.
Letusan supervolcano Toba pada 74.000 tahun lalu telah diketahui sebagai erupsi gunung api terbesar di bumi dalam 2 juta tahun terakhir yang memicu kepunahan massal. Namun, bukti terbaru menunjukkan adanya manusia yang masih bertahan hidup di India.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
–Panorama Danau Toba di Sumatera Utara, dilihat dari kawasan Puncak Tele, Kabupaten Samosir, Sabtu (14/2). Kawasan Danau Toba saat ini sedang diusulkan menjadi obyek taman bumi atau geopark baru kelas dunia yang terdaftar dalam Jaringan Taman Bumi Global Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO). Kaldera Toba menjadi fenomena alam unik karena diketahui terbentuk dari letusan supervolcano 74.000 tahun lalu. –Kompas/Gregorius Magnus Finesso (GRE)–14-02-2015
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communication pada 25 Februari 2020 ini menemukan bukti-bukti kehidupan di India saat terjadinya letusan dahsyat Gunung Toba, yang secara administratif saat ini berada di Sumatera Utara. Bukti itu berupa ribuan alat serpihan batu di situs arkeologi Dhaba di tepi Sungai Son, India bagian tengah.
Disebutkan dalam paper ini, ketika Gunung Toba meletus sekitar 74.000 tahun yang lalu, abu jatuh seperti salju di anak benua India, dan melapisi lokasi ditemukannya ribuan alat batu di Dhaba ini.
Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa awan abu besar dari letusan Gunung Toba telah menyelimuti bumi selama bertahun-tahun, membuat suhu global turun drastis, dan mengancam kelangsungan hidup banyak spesies, termasuk kita.
Pada tahun 2007, para peneliti yang dipimpin Michael Petraglia dari Department of Archaeology, Max Planck Institute for the Science of Human History, Jerman, menemukan bukti alat-alat batu di India selatan yang bertanggal sebelum dan sesudah letusan, menunjukkan letusan itu kemungkinan tidak berdampak sedahsyat seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Namun, para kritikus mengatakan tidak jelas apakah alat itu dibuat oleh spesies kita atau manusia purba lainnya, seperti Neanderthal atau Denisovan.
Perdebatan tentang identitas para perajin ini telah terjadi selama beberapa dekade karena memiliki implikasi kapan spesies Homo sapiens pertama kali meninggalkan Afrika.
Alat serpihan batu
Namun, studi terbaru menunjukkan alat-alat ini dibuat oleh Homo sapiens. Mereka tidak hanya selamat dari letusan, tetapi berkembang selama 50.000 tahun. Dalam studi ini, Petraglia kembali memimpin timnya ke situs Dhaba. Mereka menemukan ribuan alat serpihan batu yang digunakan untuk memotong dan mengikis.
Sebagian besar alat di lapisan sedimen bawah konsisten dengan metode produksi spesifik yang dikenal sebagai teknik Levallois, yang digunakan oleh manusia modern dan Neanderthal selama Zaman Batu Tengah, sekitar 250.000 hingga 25.000 tahun yang lalu. Namun, di lapisan atas, ditemukan bilah batu yang lebih kecil dan lebih kompleks yang tidak diragukan lagi dibuat oleh spesies kita sendiri.
Dengan memakai teknik yang disebut pendaran optik yang distimulasi, yang mengukur elektron untuk menyimpulkan ketika lapisan sedimen terakhir kali terpapar cahaya, para peneliti memberi tanggal pada situs tersebut untuk pekerjaan berkelanjutan yang membentang dari sekitar 80.000 hingga 25.000 tahun yang lalu.
Hasil penanggalan ini dikombinasikan dengan pembuatan alat yang semakin kompleks tanpa gangguan, menunjukkan manusia modern tidak hanya hadir di wilayah ini ketika Gunung Toba meledak, tetapi mereka bertahan selama ribuan tahun kemudian.
Temuan ini memperkuat argumen oleh orang lain, termasuk ahli geokronologi Kira Westaway di Macquarie University, bahwa beberapa anggota H sapiens berhasil mencapai Australia utara sekitar 65.000 tahun lalu, meskipun para migran awal ini tampaknya mati tanpa meninggalkan jejak pada orang yang masih hidup.
”Tulisan ini akhirnya menghubungkan titik-titik antara India, Asia Tenggara, dan Australia untuk penyebaran manusia modern,” kata Westaway, dikutip Nature.com.
Namun, Stanley Ambrose, seorang antropolog di University of Illinois, Urbana-Champaign, dan kritikus tetap tidak yakin terhadap penelitian tim pada 2007. Dia mengatakan, tidak mungkin untuk mengetahui spesies mana yang membuat alat berdasarkan bukti yang disajikan.
Terlebih lagi, ia mempertanyakan tanggal karena tim tidak menemukan lapisan abu yang terdefinisi dengan baik di sedimen, yang akan lebih meyakinkan menunjukkan bahwa pekerjaan pembuat alat itu merentang letusan.
Menurut dia, untuk mengidentifikasi pembuat alat ini akan membutuhkan fosil manusia. Tanpa fosil itu, kita tidak dapat benar-benar yakin bahwa alat-alat ini dibuat oleh manusia modern, tetapi bisa jadi oleh hominin kuno lainnya.
Ambroses merupakan pendukung teori bahwa letusan Toba pada 74.000 memicu terjadinya badai vulkanik selama enam tahun dan memicu terjadinya bottle neck atau penipisan populasi manusia. Beberapa dekade setelah letusan ini, manusia modern kembali berkembang dan kemudian menyebar di berbagai belahan dunia.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 Februari 2020