Baik yang setuju maupun tidak, mengagumi ataupun meremehkan, rasanya tidak ada orang yang dapat mengabaikan ensiklik baru Pope Francis ”Laudato Si” yang minggu lalu diumumkan.
Judul itu diambil dari madah pujian untuk meluhurkan Tuhan yang menciptakan manusia, organisme lain, dan alam semesta, Laudato si, mi Signore, ”Terpujilah Engkau, Tuhan” ciptaan Santo Franciscus dari Asisi.
Franciscus atau Francis adalah nama yang dipakai Kardinal dari Argentina, Jose Mario Bergoglio, sejak terpilih menjadi Kepala Gereja Katolik Romawi hampir dua tahun lalu. Kita mengenalnya sebagai Bapa Suci Franciscus atau Pope Francis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma dalam menyampaikan pesan dan ajaran-ajarannya kepada hierarki gereja dan umat kristiani ataupun kepada semua orang di bumi dilakukan dengan menulis surat yang beragam tingkatnya. Ensiklik adalah surat yang tertinggi tingkatnya.
Dalam ensiklik baru ini Pope Francis menyampaikan pesan kepada semua orang agar menyikapi secara integral permasalahan ekologi, hubungan kita dengan lingkungan. Manusia dalam kaitannya dengan masyarakat, bangsa dan negara, juga organisme lain maupun alam sekitar, semua berhubungan satu dengan yang lain. Dan semua ini terkait dengan Tuhan Allah yang menciptakan mereka.
Ajaran sosial gereja
Bahwa masalah utama ekologi dewasa ini adalah perubahan iklim para ahli telah menunjukkannya. Baru-baru ini studi Lancet-UCL Commission dengan WHO menunjukkan kenaikan suhu udara dunia berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia dan dapat menghapus kemajuan kesehatan yang dicapai 50 tahun terakhir.
Akan tetapi, tentang siapa penyebab perubahan iklim dan merusak lingkungan, siapa yang harus bertanggung jawab, tetap saja jadi perdebatan di arena politik dan ilmu pengetahuan.
Ensiklik ini muncul pada waktu seluruh dunia merasakan perubahan iklim yang semakin mengganggu kenyamanan hidup; banjir di banyak tempat bersamaan dengan kekeringan di tempat lain, musim dingin yang mencekam dan udara panas luar biasa dan menimbulkan banyak kematian seperti di India dan Pakistan. Semua serba ”salah mongso”.
Apakah seorang Pope membahas permasalahan perubahan iklim, penyebab, dan kaitannya dengan kemiskinan merupakan sesuatu yang baru? Tidak juga. Kepedulian tentang masalah-masalah sosial-ekonomi-politik sudah lama ditunjukkan oleh para pemimpin agama, termasuk para pendahulu Pope Francis.
”Rerum Novarum”, ensiklik Pope Leo XIII yang mendukung hak pekerja berserikat memerangi eksploitasi, dikeluarkan menjelang akhir abad sembilan belas dan menjadi dasar ajaran sosial gereja Katolik. Tahun 1963 Pope John XXIII mengeluarkan ensiklik ”Pacem in Terris” untuk mencegah perang nuklir.
Pope Paul VI dalam ensiklik ”Population Progresso” tahun 1967 menganjurkan negara-negara maju membantu negara berkembang. Pada 1971, beliau mengeluarkan surat apostolik ”A Call for Action” yang menyebutkan pencemaran lingkungan sebagai masalah sosial.
Pimpinan gereja Katolik selalu menunjukkan kepedulian terhadap masalah sosial dan kemanusiaan dengan menunjukkan jalan keluar menurut ajaran gereja. Konsili Vatikan II tahun 1965 mengeluarkan Konstitusi Pastoral ”Gaudium et Spes”, suatu pedoman pastoral yang menjabarkan pokok-pokok ajaran gereja Katolik di dunia modern tentang bagaimana umat kristiani menyikapi permasalahan ekonomi, kemiskinan, keadilan sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan ekumenisme.
Inti pesan ”Laudato si”
Pesan ini dikeluarkan tepat waktu: menjelang pertemuan puncak PBB tentang perubahan iklim, Desember 2015, di Paris.
Radio Vatikan yang menyiarkan pokok-pokok ensiklik yang dikutip Zenit.org menunjukkan bahwa surat Pope Francis ini merupakan pemikiran tentang ekologi secara integral, mengaitkan pemeliharaan lingkungan dengan memperhatikan keadilan bagi mereka yang miskin dan yang paling menderita.
Ensiklik ini secara lugas menunjukkan bahwa penyebab utama kerusakan alam dan lingkungan adalah negara dan masyarakat yang kaya dan berkuasa dengan pola hidup konsumerisme, hedonisme, keserakahan, dan mementingkan diri sendiri.
Intinya bagaimana jawaban kita terhadap pertanyaan apakah yang akan kita wariskan kepada anak-cucu dan semua yang hidup setelah kita nanti? Pope Francis menekankan bahwa jawaban tersebut hanya bisa kita berikan kalau kita mengubah sistem politik, sosial dan kultur, ataupun pola hidup kita masing-masing yang selama ini telah menyebabkan kerusakan lingkungan.
Hanya dengan cara yang secara radikal memperbaiki hubungan kita dengan Tuhan, dengan semua tetangga dan alam, kita akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi saat ini. Ilmu pengetahuan membantu kita untuk mengetahui apa dan seberapa besar kerusakan lingkungan yang terjadi. Menggunakan pendidikan dan melaksanakan dialog dengan semua pihak terkait menjadi kunci kita bersama menemukan jalan keluar dari jurang kehancuran.
Masalah ekologi yang menjadi tantangan kita semua menyangkut pencemaran lingkungan, perubahan iklim, air (bersih), keragaman hayati, retaknya masyarakat, dan ketimpangan pendapatan yang meningkat. Semua ini telah dibahas dan diusahakan penanganannya, tetapi belum ada jalan keluar yang memadai. Pope Francis merangkum semua permasalahan ini dalam suatu pendekatan integral yang menunjukkan keterkaitan semua, satu dengan yang lain. Namun, pada akhirnya semua ini berhubungan dengan Tuhan Sang Pencipta.
Manusia diciptakan Tuhan untuk memanfaatkan semua ciptaan Tuhan. Akan tetapi, karena keserakahan dan sikap mementingkan diri sendiri (self centered) manusia telah mengartikan anugerah Tuhan tersebut menjadi hak untuk menghamburkan sumber-sumber kekayaan alam tanpa memperhatikan kehidupan makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dalam hal ini mereka yang miskin dan lemah selalu menjadi korban dari kerusakan alam akibat perbuatan manusia, utamanya yang kaya dan berkuasa.
Dalam ”Laudato si” Pope Francis memadukan pesan dan ajaran para pendahulunya maupun pimpinan gereja yang lain dan mengolahnya menjadi pandangan gereja dalam ekologi integral: menyangkut ekologi kemanusiaan, ekologi sosial, dan ekologi alam. Pandangan demikian menghormati manusia sebagai persona yang menjalani kehidupan dalam hubungan sosial yang adil, serasi dan peduli dengan lingkungan sesuai dengan rencana Tuhan.
Ensiklik ini berbasis kepada ajaran gereja yang bertumpu kepada kasih; dan bagaimana secara nyata semua berbagi kasih yang kita terima dari rahmat Tuhan dengan yang lain, terutama yang miskin dan lemah. Tidak ada yang boleh berpangku tangan, semua dapat memberi sumbangan; tua atau muda, kaya atau miskin, penguasa dan yang tidak punya kuasa. Mengapa tidak, semua dapat segera mulai berpartisipasi, misalnya dengan tidak sembarangan membuang sampah, dan seterusnya.
J SOEDRADJAD DJIWANDONO, Guru Besar Emeritus Ekonomi UI; Professor of IPE, Rajaratnam School of International Studies, NTU, Singapura
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul “Menyikapi Ekologi secara Integral”.