Kesadaran publik berperan sangat besar pada kelangsungan hidup satwa. Lewat aplikasi Zoo Reporting for Citizens Application (Zoo Recapp), siapa saja bisa turut memperjuangkan masa depan satwa yang lebih baik.
Pandangan mata Jesica Snowball (13), sesekali terarah kepada dua ekor beruang madu (Helarctos malayanus), lalu berpindah ke layar telepon pintar berbasis Android miliknya di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/4). Hari itu, ia mempunyai aplikasi baru, Zoo Recapp.
Siswa Bandung International School itu diberi kesempatan menjajal aplikasi interaktif untuk menilai kandang di kebun binatang secara mudah dan sistematis, melalui perangkat telepon genggam pintar itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada 73 pertanyaan yang harus dijawab dengan pilihan YA atau TIDAK, disesuaikan kondisi kandang dan penghuninya. Inisiatornya, Indonesian Society for Animal Welfare (ISAW), organisasi perlindungan satwa.
Siang itu, Jesica memilih TIDAK saat menjawab pertanyaan “Apakah tampak telinga atau hidung yang robek pada satwa?”
Peserta mencatat kondisi satwa di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/4), menggunakan aplikasi Zoo Recapp yang dibuat Indonesian Society for Animal Welfare. Aplikasi Zoo Recapp merupakan aplikasi baru berbasis Android untuk menilai dan melaporkan kondisi kesejahteraan satwa di kebun binatang.—KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Namun, ia memencet opsi YA ketika muncul pertanyaan “Apakah pemberian makan oleh pengunjung diberikan?”
Usai menjawab semua pertanyaan, Jesica memperlihatkan hasil akhir di layar telepon genggam, yang menunjukkan angka 30,5. Berdasar panduan Zoo Recapp, bila satu kandang dapat angka di bawah 40, maka tempat itu tidak lulus. Kandang dinyatakan lulus bila mendapat nilai minimal 40 dari 50.
Bersama kelompoknya, giliran Zahra (14), peserta program Bandung Street Children, mendatangi kandang beruang coklat (Ursus arctos). Ia melihat kondisi kandang dan penghuninya yang lebih memprihatinkan. Tinggal sendirian, beruang coklat itu matanya memerah. Seperti terluka.
Papan petunjuk di kandang pun membingungkan. Meskipun jelas-jelas disebut hewan karnivora, makanannya tertulis buah, sayur, dan roti. Tak ada keterangan beruang coklat tersebut memakan daging. Di ujung penilaian, kelompok Zahra memberi nilai 5,5 bagi kandang beruang coklat.
Penyempurnaan
Direktur Eksekutif ISAW Kinanti Kusumawardani mengatakan, penilaian ini salah satu kampanye perlindungan kesejahteraan hewan pertama dengan teknik sederhana. Siapa saja bisa diajak memberi penilaian mereka masing-masing mengenai kondisi satwa dan kandangnya secara sederhana. Selain di Kebun Binatang Bandung, uji coba yang sama juga sudah dilakukan di Kebun Binatang Ragunan Jakarta dan Taman Satwa Cikembulan, Garut, Jawa Barat.
“Tragedi kematian satwa di beberapa kebun binatang di Indonesia, seperti singa yang mati tergantung, jerapah mati dengan sampah plastik di perut, hingga harimau sakit karena mengonsumsi daging berformalin menjadi indikasi tingkat kesejahteraan buruk,” katanya.
Menurut Kinanti, aplikasi itu pengembangan dan penyederhanaan dari program serupa yang dibuat Zoo Exhibit Quick Audit Process (ZEQAP). Namun, penerapan aplikasinya tidak terlalu sukses. Menggunakan tumpukan kertas berisi berderet-deret pertanyaan, membuatnya tak ramah bagi penggunanya. Metode perhitungan yang rumit juga membuat tidak sembarangan orang bisa memberi penilaian.
“Kami pernah melakukannya tahun 2009, tetapi tidak ada berkas yang diisi. Terlalu membingungkan,” katanya.
Secara teknis, aplikasi yang dibuat tahun 2014 itu menggunakan Android Studio. Tampilannya dibuat lebih menarik, karena disertai gambar kartun harimau, gajah, kera, dan monyet dalam berbagai bentuk. Contohnya, saat muncul pertanyaan “Apakah tampak telinga atau hidung yang robek pada satwa”, ada gambar harimau dengan kepala dibalut perban.
Kemudahan lain, aplikasi itu juga terintegrasi dengan global positioning system (GPS) sehingga letak kebun binatang lebih akurat. Penggunanya juga tidak direpotkan dengan perhitungan hasil akhir. Semuanya dihitung mandiri oleh program itu.
Menunggu
Kinanti mengingatkan, hasil akhir tidaklah serta merta dipengaruhi 70 pertanyaan inti. Ada tiga pertanyaan penting yang membuat hasil survei otomatis tidak lulus. Bila ada satu saja jawaban “ya”, maka seluruh penilaian akan dinyatakan tidak lulus.
“Pertanyaan itu adalah tentang luas kandang ideal, apakah 90-100 persen kandang dibuat dengan bahan keras atau kawat, dan apakah kandang dalam kondisi kosong tanpa perlengkapan pendukung,” katanya.
Penasihat Teknis ISAW Narendra Wicaksono mengatakan, sejauh ini aplikasi Zoo Recapp baru tersedia dalam platform berbasis Android dengan peredaran terbatas. Supaya bisa diluncurkan bebas bagi semua orang, maka masih menunggu pembuatan platform berbasis iOS dan Windows.
“Kami masih mengumpulkan dana untuk pembuatan dan perawatan untuk iOS dan Microsoft melalui situs swadana www.indiegogo.com dengan judul Zoo Recapp. Ditawarkan sejak Selasa, 29 April 2015, hingga tiga bulan ke depan, situs ini diharapkan bisa menggalang dana hingga 30.000 dollar AS untuk pembuatan aplikasi dan perawatan ke depannya,” katanya.
Menurut Kinanti, hingga Jumat (1/5), dana yang terkumpul sebesar 45 dollar AS. Meski masih jauh dari ideal, ia masih percaya ada banyak orang yang peduli. Sekecil apa pun sumbangan akan menjadi berharga bagi kesejahteraan hewan.
Ada beberapa opsi yang bisa dipilih donatur. Dari yang paling murah sebesar 10 dollar AS hingga 2.000 dollar AS. Penghargaan kepada donatur juga bervariasi. Dari kue dan resep makanan hingga tercantum sebagai produser eksekutifnya.
Kinanti berharap aplikasi itu bisa segera diluncurkan. Ia yakin pemantauan yang dilakukan banyak pihak akan menjadi energi baik bagi satwa. Pengelola kebun binatang juga akan mendapatkan masukan berharga. Kekurangan bisa diperbaiki melalui partisipasi masyarakat secara langsung.
“Adanya partisipasi masyarakat menjadi komponen paling penting yang harus muncul untuk menjamin kesejahteraan hewa,” katanya.
Tinggal dalam kandang, semua satwa di kebun binatang sangat berjasa. Satwa-satwa itu berkorban banyak bagi para pengunjung yang ingin lebih banyak tahu soal satwa. Dalam kandang terbatas, satwa tak sepenuhnya merdeka. Melalui perbaikan kandang dan infrastruktur penunjang, sedikit banyak, manusia bisa turut memberi kesejahteraan bagi satwa-satwa tersebut.(Cornelius Helmy)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Mei 2015, di halaman 9 dengan judul “Dunia Sejahtera Satwa di Genggaman Warga”.