Sekitar lima puluh tahun lalu, sebuah ekspedisi ilmiah besar-besaran yang menjelajahi Samudra Hindia dilakukan. Ini merupakan ekspedisi gabungan dari sejumlah negara yang melibatkan kapal-kapal riset dalam mengumpulkan beragam data.
Laman clivar.org menyebutkan, ekspedisi di bawah tajuk International Indian Ocean Expedition itu melibatkan 46 kapal riset yang beroperasi di bawah 14 bendera dari negara berbeda-beda. Sejumlah survei hidrografi dalam skala yang belum pernah dikerjakan sebelumnya berlangsung di keseluruhan wilayah cekungan Samudra Hindia.
Situs yang sama menyebutkan, sejumlah pakar dari disiplin ilmu, seperti Oseanografi Fisika, Oseanografi Kimia, Meteorologi, Biologi Kelautan, dan Geofisika dilibatkan dalam ekspedisi tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, sebuah ekspedisi lanjutan direncanakan kembali dilakukan untuk merayakan ekspedisi tersebut. Bukan hanya negara-negara yang berada dalam paparan wilayah Samudra Hindia, melainkan juga pihak-pihak dari negara lain menyatakan minat untuk turut serta.
Salah satunya Jerman, dalam hal ini seperti diutarakan peneliti di ZMT (Pusat Ekologi Kelautan Tropis) Bremen dan pengajar di Universitas Bremen, Jerman, Dr Andreas Kunzmann.
“Akan tetapi, (keikutsertaan) ini baru rencana, belum berjalan,” kata Andreas, Selasa (14/4).
Ia menuturkan, ekspedisi besar-besaran untuk merayakan ekspedisi sebelumnya itu, yang bakal berupa pelayaran, kemungkinan akan berlangsung antara tahun ini dan tahun depan. Adapun sejumlah program riset lain dilakukan pula dalam kerangka perayaan 50 tahun penyelenggaraan ekspedisi tersebut.
“Mengambil data kelautan secara simultan dan lalu dilakukan perbandingan dan hasilnya dalam bentuk publikasi berupa keadaan iklim, cuaca, dan sebagainya,” ujar Andreas ihwal gambaran ekspedisi tersebut.
Ia menambahkan, sekalipun Jerman tidak terkait langsung, baik secara ekologis maupun politis dengan Samudra Hindia, keinginan berpartisipasi dalam riset itu tetap besar. Andreas mengatakan, pihaknya tengah mengupayakan agar kapal-kapal milik Jerman, seperti Kapal Riset Sonne yang kini berada di perairan Vietnam atau Kapal Riset Meteor di perairan sekitar Madagaskar, dapat turut serta.
Kapal Riset Baruna Jaya VIII, Senin (13/4), tengah sandar di Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Kompas/Ingki Rinaldi
Sekalipun hal itu bukan perkara gampang. Pasalnya, imbuh Andreas, kapal-kapal riset tersebut telah memiliki jadwal pelayaran yang relatif ketat hingga sekitar tiga tahun mendatang.
Baruna Jaya
Adapun salah satu kemungkinan lain ialah menggunakan kapal riset Indonesia, seperti Baruna Jaya VIII, yang dioperasikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Untuk itulah, Senin (13/4), sebuah kunjungan singkat dilakukan Andreas bersama sejumlah petugas dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (P2O LIPI) Jakarta dan Kapten Kapal Baruna Jaya VIII Mohammad Afandi Juluhun ke atas kapal itu, yang tengah sandar di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta.
Berbagai ruangan dan sejumlah perkakas riset ditinjau. Sejumlah topik diskusi dilontarkan, misalnya tentang lama operasi maksimal di lautan selama 22 hari, keberadaan berbagai peralatan buatan banyak negara di kapal bikinan galangan kapal Mjellem & Karlsen Verft AS di Norwegia pada 1998 itu, hingga keberadaan kompresor pengisi tabung selam yang relatif vital dalam riset bawah laut.
Raungan mesin diesel utama Caterpillar dengan daya 2.000 tenaga kuda plus dua mesin cadangan merek Cummins yang masing-masing berkekuatan 457 tenaga kuda turut menemani kunjungan ke ruang mesin. Sementara dari dalam anjungan terhampar pandangan 360 derajat di sekeliling wilayah pelabuhan dan lautan lepas.
Sedikit goyangan gelombang terasa di kapal dengan panjang (length overall/LOA) 53,2 meter tersebut. Ruangan-ruangan lain yang juga ditinjau dalam kesempatan itu ialah dapur, rumah sakit mini, ruangan fitness, ruangan rapat, kamar peneliti, kamar perwira, ruang membaca dan bersantai, dan bengkel kerja.
Mohammad Afandi Juluhun mengatakan bahwa kunjungan itu merupakan semacam orientasi kapal berikut instrumennya oleh calon pengguna. Akan tetapi, menurut Andreas, dirinya belum bisa memastikan apakah kapal tersebut akan dipergunakan pihak Jerman dalam kerja samanya bersama Indonesia dalam ekspedisi riset dimaksud. Namun, menurutnya, adalah fakta sangat melegakan bahwa Indonesia memiliki relatif banyak kapal riset kelautan.
Selain Baruna Jaya VIII, Indonesia memiliki dan mengoperasikan pula sejumlah kapal riset, di antaranya Baruna Jaya IV yang dioperasikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Ada juga kapal latih dan riset perikanan KM Madidihang 03 yang dioperasikan Sekolah Tinggi Perikanan.
Kerja sama lain
Sekalipun begitu, Andreas mengatakan bahwa sejumlah kerja sama lain tetap terbuka untuk dilakukan. Beberapa di antaranya ialah integrated multitrophic aquaculture, yang berupa budidaya dengan dua atau tiga organisme laut.
Klasifikasi ini berdasarkan trophic level atau piramida makanan (rantai makanan) dalam ekosistem laut. Mulai dari organisme terendah, fitoplankton, zooplankton, ikan kecil, ikan besar, dan seterusnya.
Salah satu program yang sudah dikembangkan di Indonesia dan relatif berhasil dalam skala kecil ialah budidaya rumput laut bersama dengan teripang atau timun laut di Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Budidaya itu juga bisa ditambahkan dengan jenis ikan,” kata Andreas.
Ia menambahkan, relatif berhasilnya program itu membuatnya bisa dijadikan contoh bagi program serupa di Tanzania yang relatif belum berhasil untuk produksi teripang yang dihasilkan meski untuk produksi rumput lautnya relatif berhasil.
Pada bagian lain, imbuh Andreas, kerja sama lain itu bisa pula berupa pelatihan keterampilan penyelaman khusus keperluan penelitian (scientific diving). Ia mengatakan, hingga saat ini pemahaman sebagian besar pihak baru sebatas soal pengambilan data biota laut, pengukuran, dan sebagainya saat berbicara tentang scientific diving.
“Padahal, scientific diving ialah tentang filosofi. Tentang konsep, kepemimpinan, keamanan kerja, dan sebagainya,” ujar Andreas.
Ingki Rinaldi
Sumber: Kompas Siang | 15 April 2015