Catatan Iptek; ”Bocah” yang Berulah

- Editor

Rabu, 25 Maret 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selamat Hari Meteorologi Dunia! Senin (23/3) lalu adalah tanggal lahir Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Waktunya bertepatan dengan kemunculan isu tentang satu fenomena meteorologi paling menarik yang sering menuai diskusi ketat.

Begawan astronomi Bambang Hidayat sekitar seminggu lalu mengirimkan tulisan tentang El Niño dari Scientific American. Para ilmuwan Climate Prediction Center Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional Amerika Serikat (NOAA) menyatakan, kemungkinan terjadi El Niño tahun ini 50-60 persen. Awal tahun lalu, peluang itu mencapai 70 persen, tetapi El Niño yang membawa dampak kekeringan dan badai di berbagai belahan dunia hanya aktif 1-2 bulan. Indonesia kurang hujan antara Agustus dan November (Kompas, 20/3).

Sejak tahun 1950, menurut Climate Prediction Center, setidaknya ada 22 kali fenomena El Niño (Spanyol: bocah laki-laki). Tercatat ada enam El Niño dengan intensitas kuat, yaitu tahun 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988, dan 1997/1998. Siklus El Niño-La Nina berkisar 2 tahun hingga 8 tahun. El Niño terjadi saat muncul kolam panas di Laut Pasifik. Adapun La Nina muncul saat terdapat kolam dingin di Laut Pasifik. Pengetahuan akan dua fenomena berpasangan itu baru berusia sekitar enam dekade.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengetahuan, mengutip ahli sejarah dan penulis esai Skotlandia, Thomas Carlyle (1795-1881), adalah rekaman pengalaman dan produk sejarah. Sementara alasan dan kepercayaan serta aksi dan kepedulian adalah esensi suatu pengetahuan.

Demikianlah, Mark Cane dan Stephen Zebiak—keduanya dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, AS—bersama Ben Orlove, antropolog lingkungan dari Department of Environmental Science and Policy, University of California, menyatukan temuan mereka: kecakapan memprediksi El Niño bukan hal baru bagi petani kentang Pegunungan Andes. Sementara Cane dan Zebiak adalah perancang cara-cara modern memprediksi El Niño.

Tahun 1995, Cane dan Zebiak dalam studi lapangan di Peru mendapati, petani-petani di Pegunungan Andes, di wilayah Peru dan Bolivia, telah mempraktikkan cara-cara tertentu untuk menentukan musim tanam. Mereka membuat prakiraan kondisi cuaca untuk 4-8 bulan ke depan; apakah akan terjadi musim hujan dengan curah hujan tinggi atau musim hujan dengan curah hujan rendah cenderung kering.

Cane dan Zebiak menyimpulkan, yang dilakukan para petani itu dalam kacamata modern adalah memprediksi apakah akan terjadi El Niño atau La Nina. Praktik itu telah berlangsung 400 tahun. Mereka mengamati konstelasi 11 bintang, yang disebut Pleiades, selama sepuluh hari atau saat Festival San Juan pada 24 Juni. Jika Pleiades tampak terang, itu berarti akan terjadi banyak hujan. Jika Pleiades redup, artinya akan musim kering. Temuan itu bersintesis dengan penelitian Orlove tentang praktik-praktik tradisional masyarakat dalam menentukan masa tanam.

Cuaca dan iklim adalah dua entitas alam yang melibatkan laut dan atmosfer, lengkap dengan Matahari sebagai sumber energi Bumi. Jadi, data suhu permukaan laut di Laut Pasifik ekuator bagian timur dicatat lebih dari 50 pelampung pengukur data meteorologi (buoy). Bukan hanya itu. Untuk mempertajam prediksi, kini digunakan data lingkaran dalam batang pohon (tree ring). Alur ”cincin pohon” yang lebar menandakan musim yang basah. Jalur cincin sempit menandakan musim kering.

Fluktuasi suhu adalah kunci utama fenomena El Niño-La Nina. Dengan demikian, sejumlah ilmuwan berpendapat, pemanasan global akan mengakibatkan fluktuasi suhu berlangsung lebih cepat dan lebih ekstrem (volatile). Jadi, El Niño lebih sering? (BRIGITTA ISWORO LAKSMI)
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2015, di halaman 14 dengan judul “”Bocah” yang Berulah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB