Kedaulatan Udara Akan Didukung Kemandirian
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi siap membantu rencana pemerintah membangun 24 bandar udara perintis lewat pengadaan teknologi navigasi udara. Lembaga ini mengembangkan sistem pengatur lalu lintas udara berbasis automatic dependent surveillance broadcast yang teruji di dua bandara dengan biaya terjangkau dibandingkan dengan produk asing.
Automatic dependent surveillance broadcast (ADS-B) adalah sistem yang ditanamkan di pesawat yang menginformasikan posisi, ketinggian, vektor, dan informasi lain yang bermanfaat untuk navigasi. BPPT menghasilkan perangkat lunak sekaligus alat penerima ADS-B. Saat ini, sistem difungsikan untuk memandu pesawat naik ataupun mendarat.
”Kami menguji coba di Bandara Husein Sastranegara Bandung dan Bandara Ahmad Yani Semarang,” kata Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT Hary Budiarto, Selasa (27/1), di sela-sela temu media teknologi informasi, energi, dan material di Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
ADS-B BPPT terpasang di Bandara Ahmad Yani sejak 2 tahun lalu, sedangkan di Bandara Husein Sastranegara sekitar 6 bulan. Menurut Hary, berdasarkan pengalaman penggunaan oleh petugas AirNav Indonesia di kedua bandara, kualitas alat setara dengan yang sudah berkategori teratas (high-end). Kualitas perangkat lunak ADS-B yang dikembangkan BPPT pun sudah bisa menyamai buatan Perancis.
Pantauan Hary di Bandara Husein Sastranegara, sebelum menggunakan sistem ADS-B, petugas memberi tahu posisi pesawat kepada pilot secara manual. Petugas menerima laporan koordinat dari pilot, mencocokkan peta, lalu memberitahukan jarak pesawat dari bandara kepada pilot. Setelah menerapkan ADS-B, petugas cukup menginformasikan posisi yang otomatis muncul pada layar monitor.
Hary menunjukkan contoh alat dan perangkat lunak ADS-B di Gedung Teknologi III BPPT, Puspiptek. Sebuah antena sekitar 30 sentimeter terpasang di luar gedung, di ketinggian lebih kurang 10 meter. Jangkauannya diklaim beradius 200 mil (321,9 kilometer). Dari sana, pemantauan mencakup pesawat-pesawat di wilayah Lampung hingga Cirebon, Jawa Barat.
”Jika lebih tinggi, area pemantauan bisa lebih luas,” kata Hary. Oleh karena itu, ADS-B BPPT sebenarnya tidak hanya bisa memantau pesawat yang akan mendarat atau terbang, tetapi juga pesawat yang sedang di atas.
Ia mengatakan, pemerintah hanya butuh investasi hampir Rp 1 miliar per unit jika menggunakan ADS-B BPPT dibandingkan dengan Rp 10 miliar per unit jika mengimpor teknologi asing.
Keunggulan lain, semua aspek ADS-B, mulai dari perangkat lunak hingga keras, dikembangkan BPPT sehingga teknologi bisa terus disesuaikan dengan permintaan pengguna, yakni AirNav Indonesia. Jika mengimpor, informasi yang tersedia terbatas dan pengguna tidak bisa meminta penambahan.
Kepala Balai Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi MA Purwoadi menyatakan, agar dapat memantau seluruh wilayah Indonesia, setidaknya butuh persebaran 50-100 alat ADS-B. Letak alat tidak harus di bandara.
Mendukung pemerintah
Hary berharap seiring dengan terujinya ADS-B BPPT, pemerintah akan memilih bekerja sama dengan BPPT dalam penyediaan teknologi navigasi udara untuk pembangunan bandara perintis. ”Kami mampu, tidak perlu jasa konsultan asing,” katanya.
Pembangunan bandara, terutama di kawasan timur Indonesia, menjadi perhatian Kementerian Perhubungan. Jumlahnya mencapai 24 bandara (Kompas, 2/9/2014).
Pemerintah Indonesia akan mendapatkan hak pengaturan informasi wilayah ruang udara (FIR) di Batam dan Natuna selatan pada 2019 dari Singapura. Hary memastikan, BPPT siap menyediakan ADS-B untuk penyiapan tata navigasi udara itu.
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material BPPT Hammam Riza mengatakan, pengembangan sistem ADS-B hanya satu dari banyak aspek untuk memastikan kedaulatan atas ruang udara. Hal itu bentuk dukungan pada komitmen pemerintah meningkatkan keterhubungan antarpulau dalam kerangka poros maritim.
”Poros maritim butuh komunikasi, kendali, intelegensia, pengamatan, dan pengakuan. Itu semua harus terintegrasi,” ujar Hammam. Jika penguasaan teknologi tak dicanangkan sekarang, hanya akan membuat bangsa Indonesia pengguna teknologi tanpa kemandirian. (JOG)
Sumber: Kompas, 28 Januari 2015