Sepuluh tahun lalu, dunia ilmu pengetahuan digemparkan oleh pengumuman temuan Homo Floresiensis atau manusia Liang Bua, di Sidney, Australia. Banyak pihak menyesalkan mengapa temuan spektakuler itu harus diumumkan di negeri seberang dan bukan di ”kampung halaman” manusia Liang Bua, yaitu di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sampai sekarang pun, tidak banyak yang tahu bahwa ada empat ilmuwan Indonesia yang sangat berjasa dalam penemuan itu. Bahkan, mereka akhirnya masuk dalam jajaran ilmuwan dengan pemikiran paling berpengaruh sedunia 2014 menurut versi Thomson Reuters.
Empat ilmuwan lokal itu adalah E Wahyu Saptomo, Jatmiko, Rokus Duwe Awe, dan Thomas Sutikna, yang berkarya di Pusat Arkeologi Nasional. Pada 2003, mereka bersama Prof Mike Morwood dari University of New England mengekskavasi Liang Bua dan menemukan Homo Floresiensis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kegigihan mereka meneliti manusia Liang Bua disarikan dalam jurnal ilmiah Nature dan berbagai jurnal lain. Ternyata publik sangat menghargai sehingga kajian ilmiah itu banyak dikutip para ilmuwan dan pemerhati arkeologi di seluruh dunia. Temuan itu membawa mereka masuk dalam daftar peneliti yang paling banyak dikutip.
Tanggal 6 Oktober 2014, Presiden Thomson Reuters Basil Moftah, yang berkantor di London, Inggris, menyampaikan pengumuman tersebut. Menurut lembaga yang secara khusus menangani persoalan kekayaan intelektual dan ilmu pengetahuan ini, publikasi ilmiah empat ilmuwan Indonesia ini paling banyak dikutip dalam kurun 11 tahun terakhir, yaitu antara 2002-2012 dan 2012-2013.
Hasil penelitian mereka juga dinilai memberikan arah ke masa depan, khususnya bidang arkeologi. ”Liang Bua benar-benar menjadi laboratorium lapangan yang lengkap dari masa Plestosen hingga Holosen,” kata Wahyu pada Desember 2014.
Penggalian
Tahun 2003, Liang Bua digali dengan peralatan sederhana. Karena belum tersedia genset seperti sekarang, para arkeolog hanya diterangi lampu senter dan lampu darurat, yang setiap beberapa jam harus diisi ulang.
Pada lapisan Holosen ditemukan banyak tinggalan berciri neolitik, berupa 14 kubur manusia dengan bekal kubur periuk serta beliung persegi. Sementara itu di antara lapisan Holosen dan Plestosen terdapat abu vulkanik berumur 12.000 dan 17.600 tahun lalu.
”Saat menggali lapisan Holosen, kami hampir berhenti karena membentur batuan keras flowstone dan batu gamping besar bercampur runtuhan stalaktit. Namun, kami terus menggali hingga menembus lapisan Plestosen dan akhirnya pada kedalaman 5,9 meter kami menemukan tulang beserta tengkorak manusia kerdil setinggi 106 sentimeter dengan volume otak 417 sentimeter kubik,” ungkap Wahyu. Itu ternyata kerangka perempuan berumur 25-30 tahun.
Agar kerangka itu tidak rusak, Thomas Sutikna berinisiatif tulang belulang diambil bersama gumpalan tanah. Temuan itu lalu dibungkus kapas dan tisu, kemudian dimasukkan ke dalam koper.
”Agar tidak rusak, bongkahan tanah beserta tulang kami angkut menggunakan kapal laut ke Denpasar, kemudian naik bus ke Jakarta. Kami membawanya dengan sangat hati-hati karena kami yakin ini adalah temuan luar biasa,” papar Jatmiko.
Muncul polemik
Pada saat Homo floresiensis ditemukan, sempat muncul silang pendapat di antara para arkeolog dalam negeri. Sebagian arkeolog menilai manusia Liang Bua adalah spesies baru, sementara arkeolog lain berpendapat bahwa individu ini berkepala kecil karena mengalami kelainan mikrokefali atau kepala kecil.
Karena polemik semakin memanas, antara tahun 2004-2006 di jajaran Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (nama lama) sempat muncul semacam larangan untuk membicarakan apa pun seputar Liang Bua.
Namun, di tengah kebekuan itu, berita penemuan manusia kerdil dari Flores telanjur bergulir ke medan diskusi arkeologi dunia. Kajian ilmiah tim peneliti itu memikat para pemerhati arkeologi. Meski sempat disangsikan, temuan mereka pun akhirnya diakui dunia. (Aloysius B Kurniawan)
Sumber: Kompas, 6 Januari 2015