Tingginya konsumsi rokok menyebabkan kesakitan, bahkan kematian, di dunia. Di tengah pertarungan tiada henti antara kepentingan kesehatan masyarakat dan industri rokok, muncul rokok elektronik yang diklaim lebih aman daripada rokok biasa. Ini menjadi ancaman baru gerakan pengendalian tembakau.
Mantan pengguna rokok elektronik di Jakarta, Reza Sulaiman (24), mengatakan sempat memakai rokok elektronik selama dua bulan. Rokok elektronik seharga Rp 150.000 ia beli secara daring. Semula ia berharap rokok elektronik membantunya berhenti merokok, tetapi itu tak terjadi.
”Selama memakai rokok elektronik, tenggorokan sering sakit, seperti radang, kering,” ujarnya. Tenggorokan kering itu ia rasakan 2-3 jam lamanya setelah menggunakan rokok elektronik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain sakit, kecelakaan akibat rokok elektronik yang meledak kerap terjadi. Banyak pengguna rokok elektronik menyimpannya di saku celana.
Menurut dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Agus Dwi Susanto, pada 1970-an, rokok elektronik yang dikenal dengan sistem pemberian nikotin secara elektronik (electronic nicotine delivery system) pernah jadi pilihan terapi pengganti nikotin. Rokok elektronik digunakan bertahap di bawah supervisi dokter. Kandungan nikotin dalam cairan rokok elektronik itu dikurangi secara bertahap. ”Penggunaannya maksimal tiga bulan,” ujarnya.
Dalam perkembangannya, rokok elektronik tak lagi direkomendasikan sebagai terapi pengganti nikotin. Rokok elektronik yang awalnya dipakai untuk membantu berhenti konsumsi rokok konvensional malah menciptakan kecanduan. Perokok mengganti rokok konvensional dengan rokok elektronik.
Memang, kata Agus, ada kemungkinan kadar nikotin pada rokok elektronik tak sebesar rokok konvensional. Akan tetapi, jika terus dikonsumsi, dapat memberikan efek adiktif. Partikel hasil evaporasi atau penguapan pada rokok elektronik ukuran kecil bisa masuk hingga ke saluran pernapasan bagian dalam. Belum lagi cairan yang dievaporasi di dalam rokok elektronik mengandung nikotin dan zat lain yang berbahaya.
Sebelum ada rokok elektronik, telah ada permen karet yang semula sebagai pengganti merokok bagi mereka yang bekerja di kapal selam. Jauh sebelum itu, pada 1954, orang mengenal rokok filter yang kini terbukti tak melindungi dari bahaya buruk asap rokok.
Pada 2003, seorang bernama Hon Lik di Tiongkok memperkenalkan rokok elektronik. Pada 2006-2007, rokok elektronik masuk ke kawasan Eropa dan Amerika?, lalu ke seluruh dunia. Data Global Adult Tobacco Survey menunjukkan, 11 persen penduduk Indonesia tahu rokok elektronik dan 0,3 di antaranya adalah penggunanya.
Sementara itu, jumlah pengguna pada remaja di Amerika Serikat tahun 2012 mencapai 1,78 juta orang. Angka itu dua kali dari kondisi tahun 2011.
Beragam bentuk
Ada aneka bentuk rokok elektronik. Kebanyakan bentuknya tak menyerupai rokok biasa. Komponen rokok elektronik adalah baterai yang bisa diisi ulang, cartridge berisi cairan mengandung nikotin, perasa, zat kimia lain, alat penyemprot (atomizer) yang di dalamnya ada koil pemanas, dan lampu LED.
Cara kerjanya, koil akan memanaskan cairan dalam cartridge di titik tertentu hingga jadi uap dan dihirup. Hasil evaporasi itu adalah uap tipis dengan sensasi rasa tertentu, bergantung pada perasa apa yang dimasukkan ke cairan.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan, sejauh ini keamanan rokok elektronik belum terbukti secara ilmiah. Produk itu tetap berbahaya bagi kesehatan karena alat itu merupakan cara baru memasukkan nikotin ke dalam tubuh. Padahal, nikotin menimbulkan efek buruk bagi tubuh, yakni adrenalin naik, tekanan darah meningkat, dan ketagihan.
Bahkan, pabrik rokok elektronik pun memperingatkan, bagi konsumen yang menderita penyakit paru, seperti asma, bronkitis, dan pneumonia, uap dari rokok elektronik bisa menimbulkan serangan asma, sesak napas, dan batuk. Karena itu, produk ini dilarang digunakan jika mengalami keadaan tersebut. ”Itu menunjukkan, produk ini berbahaya, terutama untuk sistem pernapasan,” kata Tjandra.
Ada sejumlah kasus yang dialami konsumen rokok elektronik, seperti pneumonia, gagal jantung, disorientasi, kejang, dan luka bakar akibat meledaknya rokok elektronik di dalam mulut. Hal yang lebih mengkhawatirkan, rokok elektronik dianggap lebih aman dibandingkan rokok konvensional oleh konsumen karena tak menghasilkan asap akibat pembakaran tembakau atau rokok. Padahal, itu hanya rasa aman palsu.
Efek pada orang lain tetap ada mengingat penggunaan rokok elektronik menghasilkan emisi partikel halus nikotin dan zat-zat berbahaya lain ke udara. Semua cairan nikotin pada rokok elektronik mengandung propilen glikol, yaitu zat yang menyebabkan iritasi jika dihirup. Biasanya, zat itu untuk pembuatan sampo, jadi pengawet makanan, dan pelarut obat.
Tjandra memaparkan, pernah ada riset yang menemukan kadar nikel dan kromium pada rokok elektronik tinggi. Penelitian lain menemukan, uap yang dikeluarkan rokok elektronik mengandung serat silika. Adapun penelitian di Universitas California menemukan 25-26 bahan (termasuk logam) dalam aerosol rokok elektronik. Sebagian logam itu berukuran amat kecil, kurang dari 100 nanometer, sehingga bisa masuk jauh ke dalam saluran napas di paru.
Regulasi
Terkait hal itu, perlu ada regulasi untuk beberapa tujuan tertentu. Pertama, terkait iklan, pemerintah mesti membatasi iklan rokok elektronik, promosi, dan pemberian sponsor agar tak menyasar remaja dan bukan perokok ataupun orang yang tak mengonsumsi nikotin.
Kedua, aturan pemakaian rokok elektronik di dalam ruangan, tempat publik, ataupun tempat kerja diperlukan. Bukti ilmiah menunjukkan, udara dengan aerosol dari rokok elektronik menambah kadar racun, nikotin, dan partikel di udara.
Tjandra menjelaskan, rokok elektronik tak berarti lebih buruk, sama buruk, atau lebih baik daripada rokok biasa. Namun, riset membuktikan: rokok elektronik tak bisa dipakai sebagai metode berhenti merokok dan tak aman bagi kesehatan.
Kini negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, terus mengkaji rokok elektronik. Kajian itu meliputi aspek ilmiah kesehatan (kandungan dan dampak buruk bagi kesehatan) serta regulasi agar rokok elektronik dianggap sebagai rokok dan ikut aturan pengendalian tembakau, bukan aturan barang elektronik seperti saat ini.
Kemunculan rokok elektronik mencuri perhatian banyak pihak yang mempertanyakan dari aspek kesehatan. Pertemuan Negara Peserta (Conference of the Parties) Ke-6 Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) di Moskwa, Rusia, 13-18 Oktober 2014, mengagendakan pembahasan rokok elektronik.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektronik berkembang melampaui batas dan penuh janji sekaligus ancaman terhadap pengendalian tembakau. Sejak 2005, industri rokok elektronik dari sebuah pabrik di Tiongkok menjadi bisnis senilai 3 miliar dollar AS dengan 466 merek.
Karena ceruk pasarnya bagus, industri rokok besar seperti British American Tobacco disebut The Sunday Time telah memproduksi rokok elektroniknya. Karena itu, perlu ada regulasi antara lain untuk menghambat promosi rokok elektronik bagi non-perokok dan kaum muda, melarang klaim bukti kesehatan rokok elektronik. Selain itu, perlu larangan rokok elektronik dengan aneka rasa mengingat ada sekitar 8.000 rasa produk itu.
Keberadaan rokok elektronik menimbulkan keprihatinan. Sebab, produk ini menjadi pintu gerbang kecanduan nikotin, terutama di kalangan anak muda. (ADHITYA RAMADHAN)
Sumber: Konpas, 28 Desember 2014