Perkuat Kapasitas Daerah untuk Mitigasi Bencana
Sekalipun 10 tahun lalu dilanda tsunami yang menewaskan sekitar 160.000 warganya, Aceh belum menjadi kota yang siap menghadapi bencana. Beberapa infrastruktur mitigasi bencana telah dibangun, tetapi kondisinya meragukan. Masyarakat juga belum siap, bahkan cenderung abai, dengan risiko bencana.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (22/12), di Banda Aceh, sejumlah fasilitas fisik mitigasi bencana tsunami di Banda Aceh, seperti gedung evakuasi dan jalur evakuasi, tidak terawat. Sebagian besar warga cenderung pasrah dengan kondisi itu. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah warga, mereka mengaku tidak akan menggunakan gedung evakuasi itu jika terjadi gempa.
Tiga gedung evakuasi yang terletak di Gampong Daeng Lumpang, Alue Deah Teungoh, dan Lambung, secara umum kondisinya masih kokoh, tetapi tidak terawat. Lantai gedung-gedung evakuasi itu banyak yang pecah. Lampu penerangan tak menyala dan banyak pintu di sejumlah gedung evakuasi terlepas dari posisinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengakui, banyak fasilitas mitigasi bencana tsunami di Aceh tak terawat. Hal itu terlihat saat sirene tsunami tak berbunyi ketika gempa di Aceh, April 2012. Kondisi berulang saat sirene tsunami tak berbunyi maksimal saat simulasi gempa dan tsunami di Banda Aceh pada Oktober 2014.
Jalur evakuasi juga tak memadai. Misalnya, di Banda Aceh, pemerintah menyediakan setidaknya tiga jalur evakuasi, yakni Jalan Sultan Iskandar Muda, Teuku Muhammad Hasan, dan TP Nyak Makam. Namun, jalan-jalan itu sehari-hari sudah dipadati kendaraan. Terbukti, ketika gempa di Aceh pada April 2012, kemacetan parah terjadi di tiga ruas jalan ini.
Zaini menyatakan, pemerintah daerah setempat akan mengevaluasi kondisi semua fasilitas mitigasi bencana di Aceh. ”Saya akan menginstruksikan lembaga kebencanaan di Aceh untuk memperbaiki kerusakan pada semua fasilitas mitigasi bencana di Aceh. Saya juga akan minta sering ada simulasi agar semua fasilitas itu terpantau kondisinya,” ucapnya.
Sementara itu, Yubahar Zaini (70), warga Gampong Lambung, mengaku pasrah jika kembali terjadi tsunami di wilayahnya karena dia menganggapnya sebagai takdir. Selain itu, ia juga menilai keberadaan fasilitas mitigasi, seperti gedung evakuasi, tak akan banyak menolong jika terjadi tsunami karena dia ragu dengan kekuatan fasilitas mitigasi bencana tersebut.
Kapasitas daerah
Menurut Manajer Program Pusat Penelitian Mitigasi Bencana dan Tsunami Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Ella Melianda, peran lembaga kebencanaan di daerah Aceh lemah dalam mengatur koordinasi dan sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat. Padahal, Aceh merupakan daerah rawan sejumlah bencana, seperti tsunami, gempa, longsor, dan banjir.
Peneliti tsunami dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, mengatakan, ketidaksiapan Aceh merupakan cerminan dari lemahnya kemampuan daerah dalam menghadapi bencana. ”Jika Aceh saja tidak siap, bagaimana dengan daerah lain yang belum mengalami tsunami?” katanya.
Menurut Eko, kondisi ini terjadi karena Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi lembaga yang sangat dominan dalam mengurusi bencana, itu pun lebih pada penanggulangan, bukan mitigasi bencana. Padahal, yang menanggung bencana adalah daerah. ”Seharusnya dilakukan desentralisasi penanggulangan bencana. Bukan malah mau menjadikan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) di bawah BNPB. Ini akan menabrak regulasi,” katanya.
Menurut Eko, daripada menambah anggaran bencana untuk BNPB, pemerintah sebaiknya lebih menguatkan BPBD. ”Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga telah menyebutkan bahwa bencana seharusnya wajib menjadi perhatian utama bagi pemerintah daerah,” ujarnya. (DRI/EVY/AIK)
Sumber: Kompas, 24 Desember 2014