Jumlah Doktor Baru 13 Persen
Pengembangan mutu dosen dengan membangun iklim untuk menempuh studi lanjutan ataupun pengembangan kompetensi dan spesialisasi di bidangnya masih harus dibangun di perguruan tinggi. Pengembangan dosen mesti dianggap sebagai kebutuhan, baik bagi dosen maupun lembaganya.
”Pengembangan dosen memang bukan hanya pendidikan formal, melainkan juga berbagai pelatihan yang bisa meningkatkan kompetensi dan spesialisasi di bidangnya,” kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid dalam orasi ilmiah upacara wisuda Sekolah Tinggi Teknologi Mutu Muhammadiyah dan STIMIK Muhammadiyah Banten, di Tangerang, akhir pekan lalu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jenjang pendidikan dosen ditetapkan minimal S-2. Kenyataannya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari sekitar 186.000 dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta, hingga tahun 2014, masih 23,8 persen yang berpendidikan S-1. Dosen yang sudah S-2 sebesar 62,9 persen dan S-3 baru sekitar 13,3 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Edy menambahkan, peningkatan daya saing dosen untuk menguasai bidangnya dapat lewat berbagai pelatihan, kursus, seminar, riset, dan mendialogkan pemikirannya dengan memublikasikan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional. Selain itu, dosen juga bisa menulis buku teks dan buku referensi. Untuk itu, lembaga pendidikan tinggi perlu memfasilitasi para dosen.
”Persoalannya, perguruan tinggi terkadang terbatas menganggarkan untuk kegiatan-kegiatan tersebut. Di sisi lain, sebagian besar dosen terbatas kemampuan finansialnya,” ujar Edy yang juga Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Kemampuan riset
Menurut Edy, pengembangan dosen di sebagian besar perguruan tinggi masih terbatas dan sekadar memenuhi kaidah formal saja. Jika itu terus terjadi, kualitas dosen dan perguruan tingginya rendah.
Situasi itu juga bisa memengaruhi kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Itu karena lulusan perguruan tinggi kurang cakap dan tidak kompetitif berhadapan dengan tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi ASEAN lainnya.
Pengembangan kemampuan riset para dosen di Indonesia juga rendah dan butuh dukungan. Menurut Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Agus Subekti, dukungan untuk mengembangkan kompetensi penelitian dosen dimulai dari tingkat pemula hingga yang potensial menghasilkan inovasi.
Pendanaan penelitian, penulisan karya ilmiah, hingga seminar internasional disediakan pemerintah. Hal itu berguna untuk merangsang dosen agar meneliti dan menghasilkan publikasi ilmiah, hak kekayaan intelektual, hingga inovasi. (ELN)
Sumber: Kompas, 22 Desember 2014