Dua dekade isu perubahan iklim menjadi isu global, di Lima, Peru, sejarah baru diukir pada Pertemuan Para Pihak Ke-20 Konferensi Perubahan Iklim yang berakhir Minggu (14/12). Negara-negara maju bernapas lega. Kini, tak hanya mereka yang menanggung beban untuk mengurangi emisi guna menahan laju pemanasan global karena semua anggota Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim harus turut mengurangi emisi mereka. Semua negara, kaya miskin, maju berkembang, semua bertanggung jawab.
Hasil konferensi di Lima yang termuat dalam Lima Call for Climate Action itu merupakan kelanjutan dari Durban Platform tiga tahun lalu yang menyepakati skema baru untuk menahan laju pemanasan global pada 2015 dan mengusulkan semua anggota turut bertanggung jawab. Lima menjadi ajang persiapan kesepakatan baru yang akan ditandatangani di Paris, Perancis, pada Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21.
Prinsip dalam perubahan iklim, common but differentiated responsibilities (sama, namun tanggung jawabnya dibedakan), tak lagi berhenti demikian. Dalam teks hasil Lima ditambahkan frasa baru ”in light of different national circumstances” (dengan melihat situasi nasional yang berbeda). Maka, semua negara anggota diminta memberikan janji penurunan emisinya dengan tenggat Maret 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk memastikan semua janji penurunan emisi bakal bisa menghambat kenaikan suhu bumi agar tak melampaui batas 2 derajat celsius, total penurunan akan dihitung PBB untuk memastikan. Namun, Tiongkok menolak. Pemeriksaan janji penurunan emisi dianggap menghina kedaulatan. Maka, kejelasan pemenuhan target dari Copenhagen Accord menjadi kabur. Copenhagen Accord, antara lain, memuat kesepakatan menahan kenaikan suhu bumi 2 derajat celsius akhir abad ini.
Sementara Amerika dan Uni Eropa mengusulkan kata kejelasan, transparansi, dan pengertian dalam janji pengurangan emisi tiap negara. Namun, setelah semua pergulatan tersebut, semuanya bisa menjadi sekadar omong kosong karena janji-janji itu tak bisa ditagih. Semua bersifat sukarela dan tak mengikat secara hukum.
Nasib negara berkembang
Sementara itu, bagi negara-negara berkembang pulau kecil (small island developing states), pernyataan tentang kehilangan dan kerusakan (loss and damage) akibat perubahan iklim tetap ada meski sempat hilang dari teks pada Sabtu (13/12). Istilah itu kurang disukai negara kaya yang khawatir harus membantu secara finansial negara-negara rentan dampak perubahan iklim meski belum jelas apa kewajiban negara maju sebagai implikasinya.
Tentang bantuan pendanaan, terjadi kemunduran. Janji pendanaan dari negara kaya 100 miliar dollar AS, tetapi baru terwujud 10,2 miliar dollar AS. Pada dokumen Lima disebutkan, negara maju akan membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim dengan investasi dalam teknologi bidang energi atau pemberian bantuan dana. Investasi bermakna negara maju pun mendapat keuntungan. Kini, kebangkrutan di negara maju menjadi hambatan. Amerika Serikat jadi penyumbang terbesar dengan jumlah 3 miliar dollar AS.
Celah mendasar
Dalam isu perubahan iklim telah terjadi pengingkaran. Faktanya, negara maju dan negara berkembang memiliki jurang perbedaan. Ketika negara berkembang bergerak maju dengan turut menanggung beban mengurangi emisi yang berarti melambatkan pembangunannya, negara maju justru mundur dengan mengerem bantuan teknis dan pendanaannya. Itulah celah mendasar yang muncul. Ketika terjadi tawar-menawar, pihak yang lemah harus menerima ”kekalahan”.
Sementara itu, ketika tak ada kewajiban untuk memenuhi janji pengurangan emisinya, negara berkembang akan tampak buruk. Adapun negara maju hanya mengulang sejarah. Sebab, kewajiban mereka untuk mengurangi emisi tidak mereka penuhi. Negara-negara maju, Annex1, sesuai skema Protokol Kyoto yang berakhir 2012, harus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) rata-rata agregat 5 persen dari tingkat emisi 1990. Yang terjadi, justru emisi sebagian dari mereka meningkat.
Rupanya pendekatan kognitif yang dipakai untuk menarasikan dampak (besar dan berat) perubahan iklim sama sekali tak terkait pendekatan nonkognitif pada negosiasi pada COP. Politik yang bersifat nonkognitif tak mampu menjawab masalah (kognitif) tentang emisi GRK dan dampak perubahan iklim. Tak bakal mampu, kecuali semua negara merasakan jatuh bersama.
Dalam persoalan perubahan iklim, secara sains disebutkan, kondisi saat ini pun sudah sulit mengharapkan terjadi pembalikan proses secara alamiah dengan mudah.
Padahal, dalam isu perubahan iklim, peraturan emas (golden rules) ”jangan lakukan pada orang lain jika engkau pun tak mau itu dilakukan padamu” bahkan tak dibutuhkan. Ini karena tak satu pun negara bakal terhindar dari dampak perubahan iklim, ringan ataupun berat.
Seri laporan Turn Down the Heat Bank Dunia Nomor 3, November 2014, ”Turn Down the Heat: Confronting the New
Climate Normal”, menyebutkan, kini kondisi sudah mengunci bahwa suhu bumi akan mencapai 1,5 derajat celsius. Tanpa pengurangan emisi yang berarti, kenaikan suhu pada 2050 mencapai 2 derajat celsius dan pada 2100 mencapai 4 derajat celsius. Saat ini, kenaikan suhu rata-rata global 0,8 derajat celsius.
”Ketika kita berperilaku bodoh dengan menghancurkan (destruktif), tidak produktif pada diri kita sendiri dan pada lingkungan, lalu itu kita sebut realistik, jika Anda pikirkan kembali, itu ternyata sama sekali tak realistik” (Philosophy for a New Civilisation, Henryk Skolimowski, 2005). (BRIGITTA ISWORO LAKSMI)
Sumber: Kompas, 20 Desember 2014