Penelitian arkeologi sepanjang 2014 menghasilkan beberapa temuan baru yang menonjol. Meski demikian, pencapaian ini belumlah maksimal karena dihasilkan dalam kondisi penuh keterbatasan.
Selama 2014, setidaknya ada dua contoh hasil penelitian menonjol yang dihasilkan para peneliti lokal, pertama tentang terkuaknya hunian sekaligus kuburan massal Homo sapiens yang usianya lebih dari 14.825 tahun di Goa Harimau, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, dan kedua tentang penemuan data migrasi baru manusia purba di Situs Sangiran, Jawa Tengah, yang selama ini belum masuk dalam literatur.
Hingga Mei 2014, Tim Pusat Arkeologi Nasional berhasil mengekskavasi 78 kerangka Homo sapiens di Goa Harimau. Yang menarik, dari 78 kerangka itu, empat individu merupakan ras Australomelanesid dan 74 individu lain adalah ras Mongoloid. Diduga, pernah ada masa ketika kedua ras ini bertemu dan berinteraksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, dalam tiga tahun terakhir, di Sangiran, terpantau ada data baru migrasi manusia purba beserta budayanya setelah migrasi tertua, yaitu pada masa 800.000-an tahun lalu. Hal ini terdeteksi dari keberadaan kapak-kapak genggam dan pembelah yang merupakan ciri khas peralatan di Afrika.
Arkeolog prasejarah Prof Harry Truman Simanjuntak mengatakan, migrasi ini disebut-sebut sebagai Out of Africa kedua yang melengkapi teori migrasi tertua pertama Out of Africa saat Homo erectus keluar dari Afrika 1,8 juta tahun lalu. ”Kapan Out of Africa kedua keluar dari Afrika belum diketahui secara pasti, entah itu 1,1 juta tahun lalu atau 1,2 juta tahun lalu. Yang jelas, mereka sampai di Indonesia bersamaan dengan Tiongkok sekitar 800.000 tahun lalu,” kata Truman akhir November lalu.
Budaya migrasi kedua manusia purba ini terus berkembang pada periode selanjutnya walaupun tidak mampu menggantikan budaya yang tertua. Dari sisi teknologi, model teknologi generasi kedua memang lebih canggih dengan teknik pangkasan kapak yang lebih baik dan bentuk simetris yang menarik.
Akan tetapi, rupanya alat-alat seperti ini tak terlalu dibutuhkan di kawasan Indonesia. Hal itu karena bahan peralatan tersedia melimpah di mana-mana sehingga manusia purba saat itu tidak perlu membawa alat ke mana-mana.
Dua penemuan, baik di Goa Harimau maupun Sangiran, menurut Truman sangat penting dan masih perlu terus diselidiki. Sebetulnya masih banyak situs-situs lain yang jika diteliti secara intensif bisa didapatkan hasil-hasil luar biasa.
”Budaya di pesisir timur Sumatera bagian utara mulai dari Medan hingga Aceh, misalnya, terdapat bukti-bukti adanya migrasi dan kontak budaya dengan Asia Tenggara daratan sekitar awal masehi hingga pertengahan holosen 5.000-6.000 tahun lalu. Jika ini diteliti, akan ditemukan data-data baru lagi tentang kehidupan periode tersebut paling tidak sejak akhir zaman es,” katanya.
Contoh lain adalah Situs Kalumpang di Sulawesi Barat yang jika diteliti lebih lanjut akan membuka perspektif baru tentang asal-usul leluhur langsung bangsa Indonesia. Karena sampai saat ini, Kalumpang dipercaya sebagai situs neolitik tertua pada masa 3.800 hingga sekitar 4.000 tahun lalu.
Terbentur keterbatasan
Namun, banyaknya ”lahan” penelitian itu rupanya terbentur dengan keterbatasan-keterbatasan yang akhirnya tidak memungkinkan para peneliti untuk bisa bekerja secara maksimal. Salah satu hambatan serius adalah minimnya dana penelitian.
Mantan Kepala Pusat Arkeologi Nasional Bambang Sulistyanto mengungkapkan, selama 2014, total dana yang dikucurkan negara untuk Pusat Arkeologi Nasional Rp 20 miliar. Dari dana itu, alokasi untuk penelitian hanya Rp 7,5 miliar dan sisanya untuk kebutuhan lain.
”Saya sering diprotes teman-teman peneliti kenapa dana penelitian sangat kecil. Mereka butuh dana cukup, tetapi saya tidak bisa memberi karena kucuran dana dari pemerintah memang sangat sedikit,” ujarnya.
Bambang berharap ke depan pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk penelitian arkeologi. Melihat luas wilayah Indonesia beserta keberadaan cagar budaya dan situs yang sangat banyak, idealnya tersedia dana penelitian Rp 25 miliar setahun yang dialokasikan khusus untuk kebutuhan penelitian.
Selama ini, dalam setiap penelitian besar, rata-rata hanya tersedia dana sekitar Rp 250 juta. Karena terbatasnya anggaran, para peneliti menggandeng peneliti dari luar negeri dengan konsekuensi penemuan-penemuan besar akhirnya harus muncul dalam kerja sama internasional, bukan hasil penelitian murni peneliti dalam negeri.
Oktober lalu, Adam Brumm, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Universitas Wollongong, Australia, bersama Maxime Aubert, peneliti dari Unit Evolusi Peradaban dan Seni Cadas Universitas Griffith, menyampaikan hasil penelitian usia lukisan goa di Maros, Sulawesi Selatan, yang menguak misteri kehidupan manusia prasejarah di Indonesia periode 40.000-an tahun lalu. Penelitian ini memang melibatkan banyak pihak, mulai dari Pusat Arkeologi Nasional, Universitas Wollongong, Australia, Universitas Griffith, Australia, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, dan Balai Arkeologi Makassar, tetapi seluruh dana pembiayaan penelitian ini berasal dari Australia.
Meski terkadang harus melibatkan pihak luar dalam penelitian, Truman yakin, persoalan penelitian sebenarnya bukan pada kemampuan, melainkan semata-mata masalah kesempatan saja. Karena dana dan fasilitas minim, dinamika penelitian dalam negeri kurang maksimal.
Dengan kondisi seperti ini, langkah kerja sama dengan peneliti luar negeri terpaksa harus diambil. Dengan catatan, para peneliti harus tegas menghadapi mitra asing.
Jangan sampai peneliti dari luar negeri mencari peluang untuk kepentingan sendiri tanpa berlandaskan etika, seperti yang pernah terjadi pada kasus Liang Bua, Flores, ketika hasil penelitian justru diumumkan peneliti asing secara sepihak di Sydney, Australia.
Selain menggandeng peneliti luar negeri, untuk menyiasati minimnya pendanaan, para peneliti kadang menerapkan strategi penghematan dari 2 x 15 hari penelitian selama dua tahun menjadi 1 x 21 hari penelitian setahun. Berdasarkan evaluasi, hasil penelitian 2 x 15 hari selama dua tahun jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 1 x 21 hari setahun. Dari sisi biaya, penelitian selama 2 x 15 hari selama dua tahun juga jauh lebih mahal dibandingkan dengan penelitian satu kali setahun selama 21 hari.
”Dengan waktu penelitian yang lebih lama meski hanya setahun sekali, biayanya jauh lebih murah, hanya kurang dari setengah biaya penelitian dua kali selama dua tahun. Biaya transportasi, misalnya, jauh banyak terpotong. Strategi seperti ini
sudah kami perjuangkan, tetapi memang tidak mudah,” kata Truman.
Bambang menambahkan, dalam waktu dekat, apabila anggaran penelitian tidak digenjot banyak situs dan cagar budaya di Indonesia yang semakin telantar. Ia juga mengungkapkan, sekarang banyak peneliti Indonesia yang lari ke luar negeri karena kesempatan dan fasilitas penelitian di sana jauh lebih menjanjikan.
(Aloysius B Kurniawan)
Sumber: Kompas, 17 Desember 2014