Terik Matahari tak menghentikan langkah Arif Yuliana (25) menyusuri jalan di kawasan ziarah Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, Jumat (5/12). Dituntun temannya, Haris (17), ia mendatangi sebuah warung makan. Sesaat kemudian, jemari gempalnya memetik senar gitar biru.
Mengalunlah suara laki-laki bertubuh besar itu membawakan lagu ”Mirasantika” ciptaan Rhoma Irama. ”Dulu aku suka padamu dulu aku memang suka…”.
Seusai menerima uang seribuan kumal, Arif berpindah ke kios lain sambil memegangi pundak Haris. Kali ini, lagunya ”Gelandangan”, juga ciptaan Rhoma Irama. ”Menangis meratapi buruk nasibku, nasib buruk seorang tuna netra…”. Kata tuna netra di ujung lagu ditambahkan Arif menggantikan kata asli, tuna wisma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lagu-lagu yang ia nyanyikan hari itu adalah jalan hidup Arif. Gara-gara cairan oplosan yang rutin ia tenggak, kini Arif buta total.
”Mengamen jadi terapi saya. Setelah tak bisa melihat tiga tahun lalu, saya sangat malu dan terpukul,” katanya.
Semua bermula pada suatu malam pertengahan tahun 2011. Arif yang kurang perhatian dan kasih sayang keluarga malas pulang. Bersama tiga temannya, ia memilih menghabiskan malam dengan minum cairan oplosan seharga Rp 10.000 per botol.
Cairan oplosan itu terdiri atas alkohol 70 persen ditambah minuman rasa buah untuk mengurangi pahit alkohol. Agar efek memabukkan lebih lama, ia tenggak cairan oplosan itu bersama 20 butir pil dekstro, sebutan untuk obat bebas mengandung dextromethorphan hidrobromida (DMP) yang biasa untuk menyembuhkan batuk.
Sejak tahun 2005, Arif biasa minum minuman beralkohol dengan berbagai campuran, seperti dengan obat nyamuk. Pusing dan perut panas tak membuatnya jera.
Namun, malam itu berbeda. Beberapa jam seusai menenggak oplosan, kepala dan perutnya seperti terbakar, badannya demam, dan pandangannya kabur secara perlahan. Ia atasi dengan minum obat warung dan tidur.
Saat bangun, semua gelap. Semula ia mengira mati lampu, tetapi kemudian ia sadar, matanya tak lagi bisa melihat. ”Rasanya seperti orang gila,” kenangnya. Badannya pun terasa tak karuan. Ia dibawa ke rumah sakit.
Namun, pengobatan dua minggu di salah satu rumah sakit di Tasikmalaya itu tak membuahkan hasil. Kakak Arif, Fitri Yulianti (26), membawanya berobat ke Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Di sana, kornea dan saraf mata Arif dinyatakan rusak. Kebutaannya tak bisa disembuhkan lagi.
”Kalau dirujuk lebih cepat, mungkin sembuh,” kata Fitri.
Vonis dokter itu meruntuhkan kepercayaan diri Arif. Butuh setahun untuk menerima keadaan dan kembali menghadapi dunia. Ia akhirnya pasrah dan memilih musik sebagai kesempatan kedua. Sejak dua tahun lalu, ia mulai mengamen di sekitar kawasan ziarah Pamijahan dengan pendapatan Rp 35.000 per hari.
Setiap bertemu teman-temannya yang dulu hingga kini masih suka minum cairan oplosan, Arif mengingatkan agar mereka berhenti minum. Namun, ajakan itu sering tak didengar. ”Kalau tidak ingin buta seperti saya, stop minum oplosan,” katanya.
Meski demikian, ada teman Arif yang sadar. Saeful (18), yang kini jadi tukang parkir, kapok menenggak minuman keras dicampur pil dekstro karena membuatnya nyaris mati dan harus menjalani tiga hari perawatan di rumah sakit.
Saeful yang hanya lulusan SD minum cairan oplosan karena takut kehilangan teman. ”Ternyata teman-teman saya masih banyak walau sejak keluar rumah sakit saya berhenti minum sampai sekarang,” ujarnya.
Metanol
Dosen Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia- Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Virna Dwi Oktariana, mengatakan, kandungan metanol dalam cairan oplosan bisa memicu kebutaan. Demikian pula alkohol kadar tinggi ataupun akumulasi dari konsumsi alkohol berlebihan.
Alkohol 70 persen sering kali digunakan dokter untuk mencuci tangan sebelum operasi. ”Kuman saja bisa mati, apalagi sel-sel dalam tubuh,” katanya.
Pada cairan oplosan, metanollah pemicu kerusakan sel saraf mata hingga menimbulkan kebutaan. Metanol adalah cairan tak berwarna yang mudah terbakar dan biasa ditemukan pada bahan bakar spiritus, pengencer cat (tiner), pembersih lantai, pembersih karburator, dan tinta untuk mesin fotokopi.
Namun, cairan oplosan yang tak mengandung cairan metanol pun tetap berbahaya. ”Reaksi kimiawi antara etanol (kandungan dalam alkohol murni) dan berbagai bahan campuran pembentuk oplosan itu bisa menghasilkan zat metanol,” tuturnya.
Meski demikian, dampak kebutaan akibat cairan oplosan tidak seketika. Pembuluh darah mata terletak di ujung sistem peredaran darah sehingga dampaknya akan lebih lambat dibandingkan rasa panas di perut atau kepala. Selain itu, kadar metanol dan proses kumulatif dari konsumsi metanol sebelumnya juga menentukan seberapa cepat kebutaan itu terjadi.
Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Farmasi Klinis Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati mengatakan, metanol adalah bahan yang sangat beracun dan bisa langsung menekan sistem saraf pusat hanya dalam waktu 30-120 menit. Tertekannya sistem saraf pusat membuat penenggak cairan oplosan bingung, sulit mengambil keputusan, koma, dan mati.
Efek racun metanol pada mata umumnya terjadi 12-48 jam setelah menenggak cairan oplosan. Rentang gangguan yang ditimbulkan pada mata bervariasi, mulai dari silau, pandangan kabur atau berkabut hingga buta.
Virna menambahkan, kerusakan sel saraf mata yang memicu kebutaan tidak bisa diatasi. ”Belum ada pengetahuan yang bisa mengatasi kerusakan sel saraf mata,” ungkapnya.
Pada beberapa kasus di RSCM, gangguan penglihatan penenggak alkohol memang bisa dikurangi jika diatasi sejak awal. Namun, itu tak membuat penglihatan mereka kembali normal, hanya mengurangi risiko kebutaan menjadi mampu melihat benda berjarak 1 meter.
Pertolongan itu juga hanya bisa diberikan segera setelah seseorang merasakan gangguan penglihatan sesudah meminum alkohol. Persoalannya, peminum alkohol biasanya tidak sadar sehingga dokter sulit mencari indikasi penyakit yang diderita.
”Dokter tidak mungkin mengobati tanpa tahu indikasi atau gejala penyakit yang dialami pasien,” ujarnya. Hal itu membuat korban keracunan alkohol yang dibawa ke dokter mata biasanya sudah terlambat.
Meski harus menjalani hidup tanpa penglihatan, Arif tetap beruntung. Setidaknya, ia tak harus meregang nyawa seperti 26 korban tewas akibat mengonsumsi cairan oplosan di Garut dan Sumedang, Jawa Barat, sepekan terakhir.
Oleh: Cornelius Helmy H dan M Zaid Wahyudi
Sumber: Kompas, 8 Desember 2014