Di papan informasi di lantai 1 Gedung Engineering Center di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, awal November 2014, terbentang tiga kertas karton yang didesain atraktif yang menginformasikan mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman ( SWOT) dijabarkan dalam bagan-bagan hingga karikatur kreatif yang bisa mengajak penghuni kampus papan atas Indonesia ini merenungkan peluang Indonesia untuk tidak menjadi penonton.
Isu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) kini menjadi perhatian dan kajian para pelaku pendidikan, terutama perguruan tinggi. Di tengah masalah kesenjangan mutu pendidikan yang tajam di Indonesia, tentu muncul keraguan mengenai kesiapan lulusan perguruan tinggi negeri ini untuk sukses ambil bagian dari terbukanya pasar tenaga kerja terampil di antara negara-negara ASEAN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Wajar saja jika ada yang mempertanyakan daya saing lulusan perguruan tinggi Indonesia. Edy Suandi Hamid, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia, mengatakan, tiap tahun saja ada 600.000 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Ditambah dengan lalu lintas tenaga kerja terampil yang terbuka tahun depan, ancaman pengangguran terdidik bisa menjadi persoalan serius bagi Indonesia.
Namun, komitmen untuk berpartisipasi dalam MEA 2015 sudah di depan mata. Hal itu membuka peluang untuk mobilitas delapan tenaga terampil lulusan perguruan tinggi Indonesia bidang keinsinyuran, arsitektur, keperawatan, dokter, kedokteran gigi, tenaga profesional pariwisata, surveyor, dan jasa akuntansi untuk bekerja di kawasan ASEAN tanpa hambatan. Perguruan tinggi Indonesia yang menjadi salah satu institusi penting yang akan melahirkan tenaga kerja terampil di delapan bidang yang terbuka bagi komunitas ASEAN mulai berbenah diri agar lulusannya memenuhi kualifikasi sehingga mampu bersaing.
Penyesuaian kurikulum dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) serta dengan negara-negara ASEAN dan internasional mulai dilakukan. Kerja sama di antara institusi perguruan tinggi ataupun industri di dalam dan luar negeri juga menjadi salah satu strategi untuk memperkuat mutu lulusan. Kerja sama dengan asosiasi profesi yang resmi juga diperkuat agar ada kesepahaman antara apa yang diproduksi perguruan tinggi dan apa yang diharapkan industri dari delapan profesi yang terbuka dalam MEA 2015.
Dari hasil penelitian yang dirangkum dalam judul ”Pemetaan Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN” yang merupakan laporan penelitian ASEAN Study Center UI bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri RI tahun 2013, delapan profesi yang terbuka di MEA 2015 punya tantangan masing-masing yang harus juga dipikirkan oleh dunia pendidikan. Perlu ada perbaikan untuk penyamaan kompetensi, lama belajar, hingga memaknai pendidikan profesi.
Purwanita Setijanti, Ketua Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), mengatakan, pendidikan sarjana arsitek di Indonesia yang lamanya empat tahun belum memenuhi ketentuan internasional yang lama pendidikannya lima tahun. Hal tersebut sejak 2009 sudah diantisipasi dengan kerja sama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan profesi arsitek (PPArs) selama satu tahun. Namun, penyelenggara PPArs masih terbatas.
Menurut Purwanita, tidak banyak sarjana arsitektur yang langsung melanjutkan ke pendidikan profesi arsitektur, hanya sekitar 10 persen dari lulusan. Untuk bisa menjadi profesional, arsitek tunduk pada ketentuan yang ditetapkan IAI sebagai asosiasi profesi yang diakui di Indonesia dan memiliki jaringan ke organisasi profesi arsitek internasional.
Di bidang pariwisata, Fetty Asmaniati, Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Trisakti Jakarta, mengatakan, lulusan bidang perhotelan dan usaha perjalanan wisata punya peluang yang besar untuk merebut pasar kerja di dalam dan luar negeri. Bagi STP Trisakti, membuka kerja sama pendidikan dengan negara ASEAN seperti Thailand dan Swiss bisa jadi bekal bagi mahasiswa Indonesia untuk menyiapkan diri go global.
”Mahasiswa tidak hanya dibangun kompetensinya, tetapi juga soft skills seperti percaya diri dan kemampuan berbahasa asing. Kita diakui punya keunggulan dalam keramahtamahan, yang tentu ini bisa menjadi nilai plus. Tinggal kita terus perkuat juga dengan kekhasan untuk menonjolkan kearifan lokal yang dimiliki Indonesia sehingga punya kekhasan,” ujar Fetty.
Di bidang teknik, Indonesia justru memiliki jumlah sarjana teknik yang rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tentu saja, ini menjadi tantangan karena bisa jadi Indonesia dibanjiri insinyur asing karena kebutuhan yang tinggi.
Menurut Dedi, kesiapan untuk menyongsong pasar bebas sudah dilakukan UI. Program studi di Fakultas Teknik UI bahkan paling banyak terakreditasi ASEAN Universiy Network. Lulusan Fakultas Teknik UI punya masa tunggu 1,7 bulan untuk kerja. Permintaan kerja di perusahaan asing dan luar negeri untuk kebutuhan di bidang teknologi informasi dan komunikasi serta perusahaan minyak dan gas.
”Kami perkuat mahasiswa untuk bisa menguasai bahasa asing lain selain Inggris. Selain itu, mahasiswa bisa memperkaya dirinya dengan memilih kuliah lintas fakultas,” tutur Dedi.
Dedi menambahkan, mahasiswa tidak cukup sekadar punya ijazah sarjana teknik. Dunia usaha menuntut sertifikasi khusus dari asosiasi tepercaya. Karena itu, kampus menjalin kerja sama agar mahasiswa memiliki kompetensi yang tepat sehingga bisa lolos uji sertifikasi yang berstandar internasional.
Di bidang kesehatan seperti dokter, Tri Hanggono Achmad, Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, mengatakan, penguatan standar dan output dalam pendidikan kedokteran akan menjamin mutu dokter Indonesia. Meski profesi dokter terbuka, untuk bisa praktik di Indonesia, harus mengikuti standar yang berlaku.
Tri yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, mengatakan, baru 20 persen dari 75 fakultas kedokteran yang dapat akreditasi terbaik. Kendala seperti dosen, kemampuan riset, dan keberadaan rumah sakit pendidikan berkualitas masih butuh peningkatan.
Menyiapkan diri dengan mengutamakan mutu memang jadi kata kunci untuk bisa menghasilkan lulusan yang kompetitif di dunia kerja. Sejatinya memang bergantung pada komitmen tiap perguruan tinggi. Namun, dukungan pemerintah untuk bisa membuat kesenjangan mutu pendidikan yang tidak terpusat di Jawa saja sangat dibutuhkan supaya segenap anak bangsa punya peluang sama untuk berhasil menghadapi MEA 2015.
Oleh: ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 28 November 2014