Revolusi mental dimungkinkan kalau orang kembali menyadari fungsi hakiki bahasa, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama. Itu pandangan Sudaryanto, doktor linguistik yang puluhan tahun mencurahkan perhatian dan pikirannya pada bahasa.
Hiruk-pikuk kehidupan, termasuk kehidupan di panggung politik, tidak lepas dari peran bahasa. Ada yang menggunakan bahasa untuk menusuk perasaan, menyakiti, mengutuk. Orang lupa pada fungsi hakiki bahasa yaitu untuk mengembangkan akal budi, dan memelihara kerja sama.
Ketika akal budi tidak dikembangkan, ketika kerja sama tidak dipelihara dengan bahasa, maka hasilnya? Mungkin hiruk-pikuk di pentas politik, dan peristiwa-peristiwa di sekitar kita akan menjelaskan hasil tersebut. Meja bergelimpangan, batu-batu beterbangan….
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahasa diberikan kepada manusia itu sebenarnya untuk apa? Bertahun-tahun Sudaryanto, doktor linguistik yang lulus dengan predikat cum laude dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1979, itu mencoba mengidentifikasi fungsi bahasa. Ada dua fungsi bahasa yang ia sebut sebagai khas dan hakiki yaitu mengembangkan akal budi dan memelihara kerja sama.
Sejauh ini orang mengidentifikasi fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
Itu bukan spesifikasi bahasa. Untuk alat komunikasi, bukan bahasa verbal pun bisa. Apa pun yang keluar dari hati bisa diungkapkan. Tapi, untuk mengungkapkan isi hati, kan, tidak harus dengan bahasa. Dengan tindakan, dengan kesenian juga bisa kok. Dengan kata lain kita sebetulnya belum mengidentifikasi fungsi bahasa itu sebetulnya untuk apa.
Saya sebagai orang yang terjun di bidang bahasa berusaha memikirkan betul-betul, mestinya kalau orang diberikan bahasa verbal, mestinya ada fungsi yang khas. Fungsi yang hanya bisa dijalankan oleh bahasa, dan tidak mungkin oleh yang lain. Saya mengidentifikasi fungsi bahasa yang khas dan sangat hakiki ada dua, yaitu untuk mengembangkan akal budi dan untuk memelihara kerja sama.
Akal budi itu hubungannya dengan kesadaran. Akal budi itu, kan, agar untuk orang menjadi sadar, dan yang disadari itu mestinya nilai-nilai. Mengembangkan nilai-nilai, akal budi, itu hanya bisa lewat bahasa verbal ini.
Untuk memelihara kerja sama, juga hanya dengan bahasa?
Kalau hanya untuk kerja sama saja, tanpa untuk memelihara, itu bisa saja tanpa bahasa. Wong kita neson-nesonan (saling marah) saja masih bisa kerja sama kok. Tapi, untuk memelihara harus pakai bahasa. Jadi, tampaknya dua fungsi itu yang esensial dan tak bisa digantikan dengan yang lain. Saya sendiri sudah puluhan tahun berusaha menentang pendapat saya ini, tapi tidak bisa. Karena hanya dengan bahasa verbal itulah kita bisa memelihara.
Konflik politik, diselesaikan dengan bahasa?
Setiap ada konflik, entah itu taraf lokal, nasional seperti yang terjadi DPR, atau bahkan kelas dunia, mau tak mau harus kembali menggunakan bahasa verbal, dialog, musyawarah. Ketika ada konflik Israel dengan Palestina, mereka harus berdialog, musyawarah. Mereka menggunakan bahasa verbal tadi.
Seperti juga ketika Jokowi menjadi Wali Kota Solo, dia menggunakan dialog dengan pedagang kaki lima. Dialog tidak sekali, tapi sampai sekian puluh kali, dalam sekian bulan. Karena kalau tidak ada dialog, tidak dengan bahasa, ya tidak bisa. Kalau kita menyadari fungsi hakikinya, orang tidak akan bisa semena-mena menggunakan bahasa.
Mengapa?
Karena hanya dengan menyadari fungsi hakiki dan setia pada fungsi hakiki itu bahasa menjadi kreatif. Kalau tidak, pasti tidak menjadi kreatif. Coba kita marah-marahan, mengumpat-umpat nanti, kan, bahasa tidak kreatif. Kata-katanya ya itu-itu saja.
Lain itu kalau untuk mengembangkan akal budi dan untuk betul-betul memelihara kerja sama, akhirnya menjadi sangat kreatif. Seperti di dalam dunia ilmiah, seni, kepengarangan, bahkan juga di dalam dunia bisnis yang sungguh-sungguh. Saya kira itu merupakan hal yang layak disadari oleh kita semua.
Mengapa dua fungsi itu?
Mestinya ada yang lebih mendasar lagi yaitu agar setiap manusia itu bisa menjadi sesama buat yang lain. Sebab tanpa itu, tidak bisa menjadi sesama. Untuk menjadi sesama, dialognya memang luar biasa. Itu mengapa kita perlu orang lain, bahkan dalam keluarga itu ada suami istri karena mau tak mau kita harus mengembangkan dialog. Orang yang berkeluarga 25 tahun saja dimungkinkan untuk tidak klop kok.
Itu artinya kita menjadi manusia itu harus berdialog terus-menerus, sebab tanpa dialog tidak bisa menjadi sesama. Padahal di keluarga itulah puncaknya orang untuk menjadi sesama. Kalau di luar keluarga masih ada sekat, tapi kalau dengan bojo, (suami/istri) atau dengan anak, jaraknya apa?
Oleh karena itu di keluarga kita dididik betul menjadi manusia, lepas dari orang yang mendapat kelebihan, ora nikah ya ra popo itu kita anggap orang yang luar biasa. Orang ditempatkan di suatu kondisi sehingga yang bersangkutan itu bisa menjadi sesama, untuk bisa mengembangkan akal budinya, untuk bisa bekerja sama, harus dialog.
Budaya
Lebih jauh dalam pandangan Sudaryanto, kebudayaan pun hanya bisa ada karena dua fungsi bahasa tersebut. Kebudayaan ada kalau akal budi berkembang, juga kalau ada kerja sama yang bisa dipelihara. Sudaryanto melihat ada kaitan yang sangat erat dan esensial, dan bahkan ”mutlak”.
”Jadi ada hubungan antara memelihara kerja sama, mengembangkan akal budi lewat bahasa, dan memunculkan kebudayaan, menghadirkan kebudayaan. Bukan hanya menghadirkan tapi juga memelihara kebudayaan, memperlancar berkembangnya kebudayaan, memanfaatkan kebudayaan, sampai menikmati kebudayaan. Itu satu keutuhan,” kata Sudaryanto.
”Saya tidak tahu kalau saat ini, terjadi perubahan yang luar biasa, apakah hal ini disadari tidak oleh tokoh-tokoh kita, siapa pun mereka. Kalau ini disadari, persoalannya saya kira akan menjadi lebih jelas. Harus dikembalikan ke situ.”
Kaitannya dengan revolusi mental?
Kalau kaitannya dengan revolusi mental saya kira kita harus kembali menyadari fungsi hakiki bahasa. Kalau kita menyadari hal itu, saya kira revolusinya dimungkinkan. Karena revolusi mental itu sebenarnya, kan, kembali agar orang itu bisa mengembangkan akal budi, dan bisa memelihara kerja sama sehingga bisa menciptakan, menghasilkan, memelihara, memanfaatkan, dan menikmati kebudayaan. Dengan begitu, orang bisa menjadi sesama bagi yang lain. Revolusi mental itu seharusnya ke sana. Itu menurut hemat saya lho.
Rancu
Namun demikian, terjadi pamahaman yang rancu tentang kebudayaan. Hal itu tampak pada penamaan lembaga. Dulu ada fakultas ”sastra dan kebudayaan”. Jadi, kebudayaan dan sastra itu seakan setara. Ada juga ”seni dan budaya”, lantas ”bahasa, sastra, dan budaya”.
”Kenapa kita menyetarakan kebudayaan itu dengan macam-macam. Misalnya pariwisata dan kebudayaan. Jadi, seakan ada budaya, dan ada pariwisata, setingkat. Ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi di sini, ada pendidikan sendiri, ada pula kebudayaan sendiri. Jadi wajar sekali kalau sampai hari ini orang menentukan yang namanya kebudayaan itu tidak cetha, (tidak jelas.)
Kebudayaan itu apa?
Kalau kita kaitkan bahasa, lalu pengembangan akal budi, memelihara kerja sama yang itu semua memungkinkan terciptanya kebudayaan, saya kira kebudayaan itu ya keseluruhan dari manifestasi wujud manusia. Jejak dan langkah manusia demi penghidupan dan kehidupannya itulah kebudayaan.
Sekarang ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Menurut Anda?
Ya bagaimana kita tidak kacau. Lalu yang menjadi masalah selanjutnya, sekiranya kita itu menyetujui bahwa harus ada kebudayaan yang memang harus dikembangkan, dan harus bisa dinikmati, terus kebudayaan macam apa? Ini perlu dipikirkan. Kalau tidak ada gambaran yang jelas mengenai kebudayaan, ke depan Indonesia itu saya kira akan menjadi repot.
Pendurgunaan bahasa
Sudaryanto menengarai adanya pendurgunaan bahasa. Pendapat yang mengatakan bahwa bahasa itu alat untuk mengeluarkan isi hati, lupa bahwa hal itu itu telah mengawafungsikan atau mendisfungsikan bahasa. Hal itu justru menggunakan bahasa tidak sebagaimana yang menjadi fungsi bahasa.
”Banyak kegiatan yang mengawafungsikan, mendisfungsikan, atau istilah saya mendurgunakan bahasa, atau menggunakan bahasa untuk hal yang jahat dan kejam.”
Sudaryanto menambahkan bahwa ia tidak suka menggunakan dengan istilah ”kekerasan”, karena bagi dia tidak begitu konkret. ”Misalnya kekerasan seksual atau apa. Saya menggunakan kejahatan dan kekejaman seksual, karena konkret dan karena hal itu memang jahat dan kejam. Kalau kekerasan itu tidak ada lawan katanya. Lalu apa (lawan katanya), kelunakan?” katanya.
”Selama kita tidak menyadari fungsi yang hakiki tadi pasti muncul hal-hal seperti itu. Selama bahasa tidak menjadi kreatif, maka orang akan cenderung mendurgunakan atau mengawafungsikan bahasa. Sebab kalau sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya, bahasa itu akan selalu berkembang dengan kreatif.”
Oleh: FRANS SARTONO
Sumber: Kompas, 23 November 2014