Dunia industri menilai kemampuan soft skill atau karakter sumber daya manusia lulusan lembaga pendidikan/pelatihan masih rendah. Padahal, justru karakter yang dinilai industri sebagai poin paling penting. Lulusan yang masuk ke industri dinilai kurang bertanggung jawab, kurang berinisiatif, dan kurang jujur dalam bekerja.
Ini salah satu temuan dalam uji coba Program Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja Periode 2010-2014 yang dipaparkan anggota tim ahli program penyelarasan pendidikan, Maria Anityasari, dalam Laporan Pelaksanaan Program Penyelarasan Pendidikan dengan Dunia Kerja, Selasa lalu, di Jakarta.
”Pertanyaan besarnya adalah bagaimana lulusan bisa berkontribusi pada dunia kerja. Dunia industri atau perusahaan sering mengeluhkan kualitas lulusan yang belum sesuai dengan kebutuhan mereka,” tutur Maria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Uji coba dilakukan tahun 2010, 2011, dan 2013. Uji coba yang pertama, pada 2010, melibatkan 50 lembaga pendidikan dan pelatihan (20 lembaga kursus dan pelatihan, 15 sekolah menengah kejuruan, serta 15 politeknik dan perguruan tinggi).
Dari hasil uji coba ini juga dikemukakan ketidakpuasan dunia industri terhadap lembaga pendidikan/pelatihan yang dinilai tidak konsisten dan serius dalam mengelola hubungan dengan industri mitra. Seharusnya kedua pihak bekerja sama dalam menyusun kurikulum, mengembangkan program magang, dan evaluasi kompetensi lulusan.
Adapun dari sisi lulusan atau sumber daya manusia, keluhan terbanyak lulusan terhadap lembaga pendidikan/pelatihan adalah cara guru yang tidak menarik dalam penyampaian materi, teori ataupun praktik. Lulusan juga mengeluhkan kurangnya pengelolaan program magang oleh sekolah dan tak tersedianya bursa kerja dalam bimbingan karier di sekolah atau lembaga pelatihan.
Untuk memenuhi kebutuhan industri, Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muslikh akan meminta setiap lembaga kursus memiliki standar kompetensi lulusan (SKL). Ia mengakui masih banyak lembaga kursus yang belum memiliki SKL.
”Jika sudah memiliki SKL, kita bisa kerja sama dengan ASEAN melalui perjanjian saling mengakui kompetensi tenaga kerja. Ini penting untuk Masyarakat Ekonomi ASEAN. Membangun keselarasan itu tidak mudah. Perlu koordinasi antar-kementerian,” papar Muslikh. (LUK)
Sumber: Kompas, 20 November 2014