Pemerintah baru di bawah presiden terpilih Joko Widodo diharapkan segera menyiapkan kelembagaan sebagai penerapan Protokol Nagoya karena pada 12 Oktober 2014 protokol itu akan diadopsi secara internasional. Indonesia meratifikasi Protokol Nagoya yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol.
Selama ini, kebijakan tentang keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik tidak jelas meskipun sudah dibentuk Komisi Nasional Sumber Daya Genetik melalui Keputusan Kementerian Pertanian Tahun 2006 yang menggantikan Komnas Plasma Nutfah yang dibentuk 1976.
”Komnas itu tidak memadai karena tidak punya aspek legal, tidak ada anggaran atau lainnya. Apalagi hanya didukung (Kementerian) Pertanian,” ujar peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Endang Sukara, Kamis (9/10), saat dihubungi di Bogor, Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Endang Sukara dan Setijati Sastrapradja, keduanya penasihat implementasi Protokol Nagoya, dimintai pendapat terkait Pertemuan Para Pihak Ke-12 (COP-12) Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) di Pyeongchang, Korea Selatan, 6-14 Oktober 2014.
Menurut Endang, harus ada satu lembaga penanggung jawab (focal point) untuk menangani akses dan pemanfaatan bersama sumber daya genetik (SDG).
Setijati mengatakan, mengenai pengelolaan keanekaragaman hayati (kehati), Indonesia seperti tidak melakukan apa-apa. Indonesia hanya mengedepankan konservasi, tetapi tidak memberikan kesempatan pemanfaatan oleh pihak lain. ”Padahal, kehati Indonesia memiliki potensi ekonomi tinggi,” katanya.
Konsekuensi meratifikasi Protokol Nagoya, Indonesia harus melaksanakan isi protokol terkait akses, keadilan, dan keseimbangan dalam pemanfaatan SDG serta kearifan lokal tentang kehati sesuai Konvensi Keanekaragaman Hayati.
Endang menambahkan, sesuai protokol, setiap negara harus memiliki kedaulatan akan kehati. Lembaga itu bisa saja gabungan Kementerian Lingkungan Hidup yang melindungi ekosistem serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan. ”Mereka memiliki otoritas soal akses dan pemanfaatan, sedangkan otoritas sains diserahkan kepada LIPI,” ujarnya. (ISW)
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2014