Hubungan Indonesia dan Australia tidak pernah mencapai kondisi sebaik dua tahun terakhir. Padahal, sejak era 1980-an, hubungan kedua negara bertetangga ini tidak selalu mulus, sehingga para peneliti mengistilahkan dengan love-hate relationship.
Selain pemimpin kedua negara, tokoh penting di balik ”kemesraan” Indonesia-Australia tersebut adalah Duta Besar (Dubes) Australia Bill Farmer. Kemarin, Dubes yang akan mengakhiri tugasnya di Indonesia pada Juli mendatang itu melakukan kunjungan ke redaksi Jawa Pos di Surabaya.
Dalam wawancara singkat, Farmer mengungkapkan kebanggaannya. Sebab, sebelum dirinya meninggalkan Indonesia, hubungan Indonesia-Australia berada pada level yang sangat baik. ”Kami juga sudah terikat beberapa persetujuan penting yang berguna bagi perkembangan kedua kawasan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia menyatakan, salah satu momen terpenting dalam lima tahun penugasannya di Indonesia adalah penandatanganan Kesepakatan Lombok (Lombok Treaty) di Perth, Australia, Februari 2008. ”Dengan kesepakatan itu, kita akan bisa melakukan banyak hal. Khususnya kerja sama keamanan, penegakan hukum, antiterorisme, dan penanganan bencana,” ujar diplomat senior yang mengaku senang menikmati alam Jogjakarta; Tomohon, Sulawesi Utara; dan Danau Toba, Sumatera Utara, tersebut.
Bentuk konkret kesepakatan itu, lanjut Farmer, adalah penanganan isu perbatasan serta ancaman kejahatan transnasional. Misalnya, terorisme, penyelundupan manusia, dan penangkapan ikan ilegal.
Sejak penandatanganan Lombok Treaty itulah, menurut dia, hubungan Indonesia-Australia berkembang dari relasi kenegaraan menjadi relasi antarmanusia (people-to-people link). ”Jika hubungan antarmanusia di kedua negara berjalan baik, kita pun bisa memajukan kehidupan di kedua kawasan,” tegasnya.
Farmer yang mengakhiri setiap jawaban dengan senyum itu mengungkapkan, dalam lima tahun terakhir, ada 40 kunjungan menteri Australia ke Indonesia dan 60 kunjungan menteri Indonesia ke Australia.
”Menurut saya, ketika pemerintah kedua negara saling mengunjungi, hubungan keduanya bakal semakin dekat dan kuat. Sebab, dengan saling mengunjungi, masing-masing bisa mengetahui kekurangan dan kebutuhan negeri tetangganya,” ujar penggemar berat nasi padang dan masakan Manado itu.
Farmer juga mengungkapkan kebanggaannya atas upaya Jawa Pos mendorong kerja sama pelajar kedua negara. ”Lewat DBL, mereka saling bertemu dan mengadakan acara khusus untuk mempererat hubungan. Sementara itu, kami masih berusaha mendorong pelajar kami untuk belajar di Indonesia,” jelasnya.
Dia juga menyayangkan munculnya isu rasisme di Australia. Januari lalu, Nitin Garg, seorang mahasiswa India, ditikam hingga tewas di Kota Melbourne. ”Sebenarnya, itu hanya kasus kriminal biasa. Bukan rasis,” tegasnya.
Pemerintahan PM Kevin Rudd pun, imbuh dia, bergerak cepat dengan merangkul India untuk menyelesaikan isu rasial tersebut G to G.
Atas isu itu, Farmer menjamin keselamatan seluruh mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Australia. Apalagi, selama ini tidak pernah ada keluhan berbau rasial yang disampaikan mahasiswa Indonesia di Australia. ”Alhamdulillah, keamanan sama sekali tidak menjadi masalah (bagi mahasiswa asing) di Australia,” papar Farmer menirukan ungkapan kelegaan masyarakat muslim Indonesia.
Saat ditanya tentang rencananya setelah menunaikan tugas lima tahun di Indonesia, dia menyatakan akan beristirahat dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. ”Saya akan beristirahat,” ujar Farmer kali ini dengan bahasa Indonesia. Dengan demikian, Indonesia merupakan negara terakhir yang menjadi ”medan tugas” Farmer bagi negaranya.
Sebelum menjabat Dubes, Farmer menuntaskan pendidikan S-1 di University of Sydney. Selepas meraih gelar bachelor of arts, dia melanjutkan pendidikan S-2 di London School of Economics. Dia bergabung dengan Australian Foreign Service pada 1969. Kemudian, Farmer ditugaskan di Kairo, Mesir, 1969-1971. Masa jabatan di Kairo selesai, Farmer terbang ke London (1972-1975). Empat tahun kemudian, dia ditunjuk menjadi deputy high commissioner di Fiji (1979-1982).
Jabatan Dubes mengharuskan Farmer siap diberi tugas di mana saja. Pada 1987-1989, dia menetap sebagai Dubes di Meksiko dan Kuba. Setelah melayani masyarakat di dua negara tersebut, Farmer terbang ke Papua Nugini. Kali ini, jabatannya bukan lagi Dubes, tapi high commissioner for Australia. Dia bertugas di Jakarta sejak November 2005. (hep/c5/kim)
Sumber: Jawa Pos, Rabu, 14 April 2010