Batubara Masih Jadi Tumpuan untuk Listrik
Indonesia kaya potensi energi baru dan terbarukan. Sumber energi baru dan terbarukan itu, antara lain, ada di laut, sungai, bioenergi, dan panas bumi. Masalah utama yang ada sekarang, tak ada pihak yang ditunjuk pemerintah untuk memantau dan mengevaluasi guna mengetahui capaian target. Selain itu, masih ada masalah koordinasi.
Demikian diungkapkan anggota Dewan Pembina Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Jon Respati, yang dihubungi Rabu (3/9) di Jakarta.
”Potensi energi terbarukan yang kita miliki amat besar, ada di mana-mana. Semuanya ada dan potensinya besar,” kata Jon. Misalnya, energi laut jika dikembangkan tak perlu lagi energi nuklir. Potensi energi di laut lebih dari 200.000 megawatt (MW).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Potensi energi dari laut diperoleh dari arus pasang surut dan energi gelombang. Menurut peneliti dari Universitas Columbia, Dwi Susanto, yang banyak meneliti di perairan Indonesia, potensi itu berada di selat-selat
sempit di kepulauan wilayah timur Indonesia.
Sementara potensi dari tenaga air (hidro), ada cadangan 75.000 MW dan sudah ada pasarnya. ”Pengembangan energi hidro ini tak mengubah bentang alam atau harus membangun bendungan karena bisa didorong dengan kekuatan run off sungai,” kata Jon.
Potensi energi air itu juga banyak ditemukan di timur Indonesia. Namun, di wilayah itu tak ada industri. ”Maka, ke depan, pembangunan industri harus diutamakan di mana energi terbarukan itu ada,” katanya. Untuk biomassa, belum ditemukan model bisnis berkelanjutan.
Strategi tak jelas
Maka dari itu, pihaknya mendorong pengembangan prototipe energi dari laut. Apalagi kerja sama dengan pemerintah luar, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, amat terbuka.
Selain itu, pengembangan panas bumi juga harus segera didorong. Setelah Undang-Undang Panas Bumi terbit, harus ada kebijakan untuk menutup risiko kerugian investor saat eksploitasi yang butuh dana 2-3 juta dollar AS.
Sementara itu, peta jalan bauran energi baru terbarukan tak pernah disertai strategi jelas untuk mencapainya. Koordinasi juga tak jelas. ”Selalu bentrok antara Kementerian ESDM dengan Menteri Keuangan dan PLN. Kadang jalan, tapi tak pernah dikaitkan target peta jalan energi baru terbarukan,” kata Jon.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Jarman menyatakan, selama 5 tahun terakhir, total pembangkit listrik yang dibangun pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara 4.000 megawatt. Dengan rata-rata pertumbuhan kebutuhan listrik 3,6 persen per tahun pada 2011-2035 dan permintaan energi bertambah 2,4 persen per tahun, kapasitas pembangkit listrik harus segera ditambah.
Jarman menjelaskan, batubara jadi pilihan karena waktu pembangunan pembangkit 1 tahun- 1,5 tahun dan cadangan komoditas tambang itu amat besar. Meski demikian, diakui batubara menghasilkan emisi berupa karbon dioksida (CO2) yang besar.
”Kami mencari teknologi lebih ramah lingkungan dengan harga murah. Salah satu teknologi yang mulai diterapkan adalah supercritical,” katanya. Teknologi itu merupakan satu dari teknologi batubara bersih (CCT) dengan efisiensi 41 persen dari teknologi konvensional, emisi yang dihasilkan rendah, dan harga jual listrik terjangkau. (ISW/A12)
Sumber: Kompas, 4 Agustus 2014