Tanaman endemik kawasan Danau Toba di Sumatera Utara terus berkurang akibat perambahan, pembukaan lahan, penggunaan pestisida, dan kebakaran. Hingga kini, belum ada upaya serius melakukan budidaya untuk melestarikan tanaman.
Penggiat lingkungan Toba, Marandus Sirait, di Medan, Kamis (14/8), mengatakan, sejumlah tanaman sulit ditemukan dan punah, seperti tanaman daun rasa mint antarasa (Litsea cubeba), rumput obat ampapaga (Centella asiatica), pohon buah andalehat (Chrysophyllum roxburghii G), dan tanaman cemara sampinur tali.
Sejumlah pohon juga hilang, seperti pohon pokki, pohon kayu keras (belum diketahui nama Latin-nya), dan pohon piupiu tanggule, pohon mistis warga Batak yang kayunya digunakan sebagai tongkat tunggal panaluhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Marandus, pihaknya mencoba mengonservasi tanaman-tanaman itu dengan menanam di Taman Eden 100, tetapi terbatas. ”Akan sangat bagus jika ada upaya budidaya,” kata dia.
Pohon pinus strain Tapanuli juga mulai jarang ditemukan. Kemenyan (Styrak benzoin) juga mulai susah dijumpai.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Samosir YC Hutauruk, mayoritas pinus di kawasan Toba adalah pinus strain Aceh dan Jawa yang merupakan bagian dari program penghijauan. Pinus strain Tapanuli belum dibudidayakan serius.
”Kami pernah mencoba menanam dari biji dan tanaman, tetapi tidak berhasil,” kata Hutauruk. ”Sangat bagus jika tanaman itu bisa dibudidayakan.”
Dari jenis bunga, anggrek toba juga menuju punah sejak maraknya perambahan hutan di kawasan Toba. Pelestari anggrek toba, Ria Telaumbanua, mencoba melestarikan anggrek dengan mendokumentasikannya dan membuat pembibitan di kawasan Taman Eden 100.
Penggiat Geopark Toba, RE Nainggolan, mengatakan, keanekaragaman tanaman Toba perlu dilindungi dalam Geopark Toba yang akan diusulkan dalam Global Geopark Network UNESCO tahun ini. (WSI)
Sumber: Kompas, 15 Agustus 2014