Pendapat dan nama Driyarkara, lengkapnya Prof Dr Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967), sering dikutip. Pikiran dan gagasan Driyarkara membuat orang berdecak kagum. Sayang warisan itu umumnya hanya menjadi pemanis tulisan, pidato, dan ceramah. Sedikit saja yang mau membaca secara lengkap karya-karya Driyarkara.
Menurut F Danuwinata SJ, salah seorang murid setianya, Driyarkara memang tidak pernah menulis buku. Dia tidak meninggalkan satu pun karya utuh komprehensif tentang satu persoalan.
Kalau mau disebut sebagai “buku”, mungkin tulisan tentang filsafat Malebranche, disertasi untuk memperoleh gelar doktor ilmu filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, tahun 1952. Disertasi itu berupa manuskrip setebal 300 halaman ditulis dalam bahasa Latin klasik. Naskah asli disimpan di Roma, tetapi tahun 1954 terbit versi ringkasannya setebal 40 halaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain disertasi, hampir semua karya Driyarkara berupa tulisan-tulisan pendek. Isinya komentar tentang persoalan-persoalan hangat pada zamannya. Tulisan terpanjang berupa pidato pengukuhan gelar guru besar luar biasa dalam ilmu filsafat pada Fakultas Psikologi UI tahun 1962.
Dengan metode fenomenologi eksistensial, metode yang dikembangkan Malebranche, persoalan kemanusiaan ditempatkan dalam situasi bersama masyarakatnya. Driyarkara lewat perenungan kehidupan bangsa- negara Indonesia terlibat dalam jatuh-bangunnya menjadi Indonesia. Dia mengamati, mempertanyakan, menggugat, memberi makna, dan menawarkan jalan keluar yang menerobos.
Driyarkara tidak mewariskan dalil-dalil filosofis, tetapi tidak diragukan kadar filosofis pemikirannya. Ia tidak terjebak dalam definisi tentang “apa” dan “siapa”, tetapi “bagaimana”. Karena itu, telaahnya selalu mencerahkan, menawarkan jalan keluar, semacam peranti untuk bertindak praktis.
Tidak dikenal
Sampai tahun 1951 nama Driyarkara tidak dikenal. Hampir seluruh waktunya dia gunakan untuk studi secara intensif. Catatan harian yang ditulisnya sejak 1 Januari 1941 sampai awal tahun 1950 tidak pernah lepas dari persoalan aktual-mendesak yang dihadapi manusia, khususnya rakyat Indonesia.
Karya publik awal tulisannya tidak langsung filosofis. Karya awalnya berupa catatan ringan dalam bahasa Jawa yang dimuat majalah Praba, sebuah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta. Disusul kemudian dengan Warung Podjok dengan nama samaran Pak Nala.
Terbitnya majalah Basis tahun 1951 membuka peluang Driyarkara memperkenalkan ide-idenya ke masyarakat. Mulanya dengan nama Puruhita, kemudian dengan nama lengkap Driyarkara. Cara penyajiannya bergaya percakapan, setapak demi setapak membawa pembaca ke permenungan filosofis.
Saat mengasuh Basis, Driyarkara diserahi tugas menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma, embrio IKIP Sanata Dharma. Pidato pertanggungjawabannya tentang kepentingan pendidikan guru memperoleh tanggapan luas, dan sejak saat itu (1955) selain dikenal sebagai filsuf juga seorang ahli pendidikan.
Lewat tulisan, pidato, ceramah, dan kuliah, Driyarkara memberikan pencerahan proses pencarian jati diri bangsa. Misalnya, ketika gerakan mahasiswa marak pada tahun 1966, dialah pembela pertama hak mahasiswa dan pelajar untuk demonstrasi. Di tengah keadaan kritis dan buntu-mentok, dia tampil dengan gagasan menerobos lewat pemberian makna. Pemikir besar Indonesia lainnya, Soedjatmoko, menyebut Driyarkara pembawa pemikiran filsafat modern. Driyarkara pemberi makna atas perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Soe Hok Gie, adik Arief Budiman—salah satu pengagumnya—menyebut Driyarkara sebagai “filsuf dalam arti sebenarnya”. “Dia selalu meragukan postulat, bertanya, menggugat segala bidang, termasuk tentang dirinya sendiri. Tetapi, dari segala keraguan itu dia susun kembali satu-satu dan sederhana, sampai tercipta kepastian-kepastian kecil.”
Fuad Hassan menggolongkannya sebagai pemikir yang selalu risau atas realitas masyarakat, “seorang pekerja keras” kata Slamet Iman Santoso, filsuf yang tidak memburu popularitas tulis Daoed Joesoef. Franz Magnis-Suseno SJ, Soerjanto Poespowardoyo, Mudji Sutrisno, Toeti Heraty—sekadar menyebut beberapa nama—menyatakan Driyarkara bukan hanya guru besar yang berhasil merangsang minat berfilsafat di Indonesia, tetapi juga filsuf pertama Indonesia yang menulis filsafat sistematik, tidak hanya sosok yang menempatkan filsafat sebagai philosophia (cinta kebijaksanaan), tetapi juga filsafat sebagai kegiatan yang inheren dalam kehidupan sehari-hari.
Diterbitkan
Berkat Driyarkara, ilmu filsafat tidak hanya menjadi ilmu yang elitis dan kurang menarik. Ilmu filsafat berkembang di sejumlah perguruan tinggi, tampil sebagai pisau analisis yang mempertajam daya analisis ilmuwan ilmu-ilmu positif. Analisis filsafat banyak dipakai untuk memberi penjelasan masalah. Misalnya, Driyarkara melontarkan pemikiran filsafat tentang manusia yang menegara dan berbangsa, bukan tentang apa itu negara dan apa itu bangsa atau masyarakat. Keberadaan manusia selalu ditekankan pada aktivitasnya sehingga muncul kosakata segar seperti manusia yang membadan, menyejarah, membelum, keniscayaan, dan lain-lain yang menekankan subyektivitas manusia.
Karya-karya filosofis Driyarkara yang merambah semua bidang, yang dulu terserak di berbagai media, termasuk yang belum pernah diterbitkan, kini dikompilasi dalam sebuah buku setebal 1.501 halaman.
Nama Prof Dr N Driyarkara, seorang pastor Jesuit kelahiran Purworejo 13 Juni 1913 meninggal 11 Februari 1967, barangkali tidak senyaring dulu. Tetapi, dengan hadirnya satu kompilasi pemikirannya, nama dan pendapatnya tidak hanya dikutip sebagai pemanis tulisan, pidato, atau ceramah.
Pemikiran-pemikirannya yang menerobos dan mengentak diharapkan menjadi sumber inspirasi di tengah miskin dan gampang ausnya pemikiran besar saat ini.
ST SULARTO
Sumber: Kompas, 1 Desember 2006