Persepsi yang kurang tepat mengenai kesetaraan jender telah menghalangi peran perempuan dalam kehidupan sosial. Selama ini, masyarakat menganggap perempuan memiliki keterbatasan kesempatan berdasarkan perbedaan ciri biologis primer.
Guru Besar Bidang Komunikasi Jender Institut Pertanian Bogor Aida Vitayala S Hubeis menyatakan, persepsi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan ciri biologis primer (fisik) telah membudaya sehingga memengaruhi cara pandang masyarakat. Pandangan itu pula yang membatasi peran perempuan dalam tatanan sosial.
”Ciri biologis primer itu memungkinkan perempuan memiliki kemampuan 2H-2M (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui). Hal itu menyebabkan mereka diposisikan berperan di rumah,” ujar Aida di Bogor, Kamis (17/4). Padahal, kata Aida, dalam ciri biologis sekunder (kuat-lemah atau maskulin-feminim) tidak ada perbedaan mencolok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Demi meraih hak sama di segala bidang, perempuan mengharapkan kesetaraan jender. Aida menambahkan, tuntutan perempuan itu bukan untuk menyamakan peran dan fungsi perempuan dan laki-laki. Dengan kesetaraan itu, perempuan ingin memiliki akses dan kesempatan serupa sesuai kompetensinya. Hal itu terkait erat dengan profesi di dunia kerja.
Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (2012), dari 118 juta penduduk perempuan Indonesia, sebanyak 47,91 persen atau 56 juta perempuan bekerja. Jumlah itu cenderung stagnan sejak 2001. Sementara sebanyak 36,97 persen perempuan mengurus rumah tangga.
Padahal, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (2012), angka lulusan perguruan tinggi laki-laki dan perempuan nyaris seimbang, 6,43 persen dan 6,11 persen. Namun, persentase perempuan yang tidak memiliki ijazah pendidikan masih lebih tinggi, yakni 27,66 persen, sedangkan laki-laki 22,38 persen.
Pengetahuan gizi
Guru Besar Bidang Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor Siti Madanijah menganggap, perempuan perlu akses dan kesempatan pendidikan yang baik karena bertugas mempersiapkan generasi masa depan. Perempuan berperan membentuk kualitas anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan, masa krusial pertumbuhan bayi.
Untuk itu, perempuan, terutama remaja putri, memerlukan pendidikan gizi. Mereka akan menghadapi masa kehamilan nantinya dan perlu memahami betapa penting asupan gizi bagi kesehatan anak sejak dalam rahim.
Masalah utama akibat kekurangan gizi, kata Siti, ialah bayi pendek (stunting). ”Sekitar 20 persen bayi lahir pendek setiap tahun di Indonesia,” ungkap Siti. Asupan gizi yang baik ketika hamil meningkatkan kualitas otak bayi. Siti mengatakan, 80 persen pertumbuhan otak terjadi ketika bayi berbentuk janin. Selebihnya, perkembangan otak terjadi setelah lahir hingga masa anak-anak ”Seharusnya, perempuan mengonsumsi asupan kaya gizi pada masa kehamilan,” kata Siti. (A07)
Sumber: Kompas, 19April 2014