Sebanyak 77 persen dari 78 sampel cat di Indonesia yang diteliti mengandung timbal di atas ambang batas, yakni 90 part per million. Penelitian kandungan timbal yang didukung Uni Eropa itu dilakukan di Laboratorium Certottica, Italia.
”Banyak produk yang tidak menyertakan keterangan kandungan timbal,” kata Toxic Program Officer BaliFokus Sonia Buftheim dalam diskusi publik ”Melindungi Anak dari Bahaya Timbal dalam Cat” yang digelar Yayasan KAKAK, Gita Pertiwi, dan BaliFokus, di Solo, Jawa Tengah, Kamis (3/4).
Penelitian BaliFokus bersama LSM di enam negara mengungkapkan, temuan kandungan timbal melebihi ambang batas pada cat enamel untuk kayu dan logam yang beredar di pasaran. Cat enamel berpengencer mineral atau turunannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari sisi kerentanan, tubuh anak menyerap paparan timbal dari lingkungan sekitar 50 persen lebih banyak dari orang dewasa. Padahal, daya tahannya lebih rendah. Paparan timbal masuk melalui makanan, air, udara, dan mainan bercat.
Ketua Yayasan KAKAK Shoim Sahriyati mengatakan, keluarga dan masyarakat harus waspada terhadap risiko paparan timbal terhadap anak. Sebab, banyak mainan anak dan perangkat lain yang digunakan anak, seperti di PAUD, taman kanak-kanak, atau tempat penitipan anak menggunakan cat yang sangat mungkin mengandung timbal.
”Debu dan luruhan dari cat yang digunakan pada alat permainan edukatif dari kayu dan logam, kerangka jendela, pintu, kursi, meja, dan perabot lain di bangunan berumur lebih dari tiga tahun berpotensi mengandung timbal tinggi,” kata Shoim.
Sementara itu, dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi, Solo, Harsini, SpP menjelaskan, akibat paparan timbal pada anak bermacam-macam, mulai pusing-pusing, anemia, gagal ginjal, hingga penurunan kecerdasan otak anak hingga 2,5 poin.
Kepala Seksi Perlindungan Konsumen Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Solo Eka Hari Kartana mengatakan, sebenarnya ada berbagai peraturan mencegah peredaran produk mengandung logam berat, termasuk timbal. Namun, terkendala minimnya penerapan sanksi dan hukum. (EKI)
Sumber: Kompas, 5 April 2014