PEMAKAIAN pengawet nonpangan, seperti formalin dan boraks, masih sering dijumpai pada makanan, terutama daging, ikan, dan produk hasil olahan, seperti bakso. Zat-zat itu berbahaya bagi kesehatan manusia. Sebenarnya banyak pengawet alternatif yang aman bagi kesehatan.
Tiga mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Solo meneliti gelatin dari cakar ayam terkait kemampuan mengawetkan bahan pangan.
Ketiga mahasiswa, Ganjar Fadillah, Rahmat Hidayat, dan Pramudita Putri, memilih cakar ayam sebagai sumber gelatin karena dinilai murah dan halal. Penelitian ini mendapat dana dari Program Kreativitas Mahasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Cakar ayam tersedia melimpah karena ada jutaan ayam dipotong setiap hari. Selain itu, cakar ayam belum banyak dimanfaatkan untuk produk bernilai ekonomis tinggi,” kata Ganjar, awal Februari, di Solo.
Hasil penelitian E Purnomo (1992) menyebutkan, cakar ayam mengandung protein lebih dari 80 persen. Dalam kulit kaki ayam terkandung 22,98 persen protein. Protein ini mengandung kolagen yang dapat diolah jadi gelatin. Selama ini, gelatin dimanfaatkan, antara lain, sebagai bahan kosmetik, produk farmasi, bahan baku makanan, seperti es krim dan permen karet, pengental, serta material medis.
Para mahasiswa itu mengekstraksi gelatin dari kolagen melalui metode hidrolisis asam dan basa. Hidrolisis basa dengan kapur sirih membuat cakar membusuk. Hasil lebih baik diperoleh dari hidrolisis asam menggunakan asam klorida (HCl).
Proses menghasilkan gelatin melalui empat tahap, yakni pembersihan cakar dari lemak dan kotoran (degreasing) lewat pencucian. Kemudian, cakar direndam dengan HCl 3-5 persen selama 2 x 24 jam agar lunak. Hasilnya disaring sehingga diperoleh gelatin lunak yang kemudian dinetralkan dengan air agar mencapai pH 7.
Gelatin lantas ditambah air dan dipanaskan hingga tujuh jam sehingga diperoleh tekstur yang lebih kental. Jika ingin mengubah menjadi bentuk serbuk agar lebih awet, gelatin kental dioven pada suhu 50 derajat celsius selama 24 jam.
”Kami memilih teknologi sederhana agar dapat dimanfaatkan oleh usaha kecil dan menengah serta diaplikasikan di pasar tradisional,” kata Rahmat.
Jadi pengawet
Jika hendak digunakan, serbuk gelatin dicampur air dengan perbandingan 1:1 agar menjadi gel. Gel ini digunakan untuk membungkus daging. Para mahasiswa itu mengaplikasikannya pada daging sapi yang memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan ayam dan ikan.
Ada dua perlakuan pada penelitian itu. Pertama, daging yang terbungkus gelatin disimpan dalam suhu ruang. Yang lain, daging sapi terbungkus gel disimpan dalam suhu es (4 derajat celsius).
Setelah tujuh hari, daging sapi yang dibungkus gel gelatin dan disimpan pada suhu es hampir tidak mengalami perubahan, baik warna, bau, maupun tekstur. Adapun pada daging yang disimpan pada suhu ruang, gelatin meleleh sehingga tidak mampu melindungi. Kondisi daging mulai berbau, berair, dan berwarna kehitaman. Kondisi daging yang tidak dibungkus gelatin dan dibiarkan di udara terbuka lebih parah, terlihat hitam, bau, dan mulai berlubang.
”Gelatin pembungkus dapat mengurangi kontaminasi bakteri serta paparan sinar ultraviolet yang bisa menyebabkan warna daging berubah. Selain itu, sebagai penahan oksidasi lemak agar tidak mudah berbau,” kata Ganjar.
Aplikasi di pasar tradisional yang tidak ada lemari pendingin, menurut Ganjar, dapat memanfaatkan ice gel beku untuk mempertahankan suhu gelatin yang membungkus daging. Ice gel dapat digunakan berulang kali sehingga lebih hemat ketimbang menggunakan es batu. Gelatin pembungkus dapat diolah sebagai bahan pangan jika dikehendaki.
Dari hasil uji mikrobiologi pada daging di udara terbuka ditemukan delapan koloni bakteri per unit, sedangkan pada daging yang dibungkus gelatin di suhu es hanya ditemukan dua koloni bakteri per unit.
Tidak ada data koloni bakteri pada daging dibungkus gelatin di suhu ruang karena para mahasiswa ingin menggunakan ice box atau ice gel. Namun, mereka melakukan uji daya hambat bakteri. Daging segar disalut gelatin dipapar Staphylococcus sp. Hasilnya, bakteri itu tidak tumbuh di area yang ada gelatin.
Daya oksidasi lemak pada daging yang tidak diberi gelatin 0,6 persen, sedangkan pada daging dilapis gelatin dalam suhu ruang 0,41 persen. Sementara pada daging yang dibungkus gelatin di suhu es hanya 0,4 persen. Oksidasi menentukan seberapa cepat daging akan berbau tengik.
”Gelatin mampu menekan bakteri, tetapi belum bisa menghambat bakteri. Kami ingin menyempurnakan penelitian agar gelatin mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan pemberian senyawa tertentu,” ujar Ganjar.
Oleh: Sri Rejeki
Sumber: Kompas, 26 Februari 2014