AKTIVITAS Anak Krakatau yang giat akhir-akhir ini membuat banyak orang cemas. Kenapa? Tentu Anda masih ingat peristiwa meletusnya Gunung Krakatau 109 tahun silam. Pada saat itu, tanggal 27 Agustus 1883, pukul 10.20 pagi hari, letusan dahsyat menggetar dari Selat Sunda. Debu Vulkanik yang merupakan piroklasik dan reruntuhan tua (old debris), menghiasi angkasa setinggi lebih kurang 80 km. Letusannya sendiri menurut perkiraan para ahli lebih dahsyat 21.428 kali dari letusan bom atom yang pernah diledakkan di Los Alomos dengan kekuatan 0,019 megaton. Letusan itu terdengar hingga ke Australia Tengah yang jaraknya 3.300 km dari titik ledakan, bahkan di Pulau Rodrigvez di Samudera Hindia yang berjarak 4.500 km.
Akibat letusan besar ini, tiga perempat bagian pulau Krakatau seluas 11 mil persegi runtuh masuk ke laut. Runtuhan yang disertai gempa tektonik mengakibatkan gelombang laut (tsunami) yang tak kalah dahsyat. Air laut pasang setinggi 30 meter, menerjang pantai yang merupakan desa-desa penduduk dan mengganggu pelayaran. Dilaporkan, akibat gelombang pasang itu, sebuah kapal patroli Berouw ditemukan terbalik sekitar 2,3 km dari daratan. Bahkan, langit di atas Pulau Jawa dan Sumatera gelap selama 3 hari akibat debu-debu yang menutupi sepanjang siang dan malam. Dan tak kurang dari 36.000 jiwa melayang!
Tapi, meskipun begitu, Anda tidak perlu merasa panik. Jangan buru-buru membayangkan peristiwa yang terjadi lebih dari seabad yang lalu itu akan terulang dalam ‘waktu istirahat’ Gunung Krakatau yang amat singkat. Perlu waktu berabad-abad lagi bagi gunung ini untuk sampai pada tahap seperti itu. Material yang dikeluarkannya saat ini, setinggi 800 m ke udara, hanya akan memperluas permukaan daratan Anak Krakatau. Jadi belum sampai pada tahap peruntuhan (destruktif). Satu hal lagi, bahwa aktivitas yang ditunjukkannya akhir-akhir ini, bukanlah ‘kelakuan’ yang aneh lagi bagi Anak Krakatau. Sejak tahun 1927, ‘si kecil’ ini sudah rajin ‘batuk-batuk’. Berdasarkan perhitungan rata-rata selama lebih dari 60 tahun ini, Anak Krakatau meletus satu sampai dua kali dalam setahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
TERBENTUKNYA ANAK KRAKATAU
Kalau memperhatikan Gambar 1, Anda dapat melihat bagaimana sejarah terbentuknya gunung ini. Hipotesis yang diberikan Escher tersebut menyatakan bahwa Gunung Krakatau (purba) dulunya merupakan kerucut sangat besar yang terdiri atas batuan andesitan (A). Kerucut ini menurut Adjat (1981) runtuh ketika meletus sekitar abad ketiga akibat proses pengkalderaan, sehingga tinggal sisanya berupa Verlaten Eiland, Lang Eiland, dan Rakata (B). Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya kerucut kecil Gunung Rakata dengan struktur batuan basalt (C). Kemudian, pertumbuhan ini berkembang terus sehingga terbentuk pula dua kerucut gunung api (Danan dan Perbuatan) di tengah-tengah cekungan yang membentuk pulau, yang pada akhirnya menyatu dengan Rakata. Gabungan gunung-gunung ini disebut juga dengan Krakatau (D). Keadaan (E) merupakan keadaan Krakatau setelah terja-dinya peristiwa yang sangat terkenal pada tahun 1883. Gunung Perbuatan, Danan, dan sebagian Rakata musnah oleh runtuhan, meninggalkan cekungan kaldera yang beraturan, bergaris tengah maksimum 7 km dan kedalaman sekitar 250 m.
Seiring dengan peristiwa peletusan tahun 1883 tersebut, yang menyebabkan reruntuhan sangat besar, juga menyebabkan terbentuknya gunung api baru, yaitu Anak Krakatau, tepat di tengah kaldera yang terbentuk tahun 1883 dan disusun oleh abu hasil letusan sejak,tahun 1927 (F). Untuk memperjelas bagaimana bentuk morfologi maupun geologi gunung ini sebelum dan sesudah terjadi peletusan lihat juga Gambar 2, yang merupakan perkiraan dari Holmes (1965). Gunung ‘baru’ yang terbentuk ini lambat laun tumbuh menjadi gunung ‘dewasa’ . Menurut perhitungan, Anak Krakatau ini bertambah tingginya 4- 4,25 m setiap tahun. Data tahun 1992 dari Direktorat Vulkanologi menyebutkan gunung ini telah mencapai tinggi 199 m dpl (di atas permukaan laut).
Lalu, barangkali ada yang bertanya, bagaimana bisa terjadi pertumbuhan yang demikian cepat itu? Kenapa bisa bertambah tinggi setiap tahun?
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sejak tahun 1927, guitung api baru ini ‘rajin’ sekali ‘batuk-batuk’. Selama lebih dari 60 tahun, abu (rempah) hasil letusan dikeluarkan. Setiap tahun dira-ta-ratakan tcrjadi satu hingga dua kali letusan. Tak mengherankan kalau kemudian gunung ini terlihat bertambah tinggi akibat timbunan material yang dikeluarkannya sendiri. Tak menutup kemungkinan pula, dengan aktivitas seperti ini suatu saat akan menyebabkan kaldera luas itu –yang sekarang ditutupi air laut– akan terisi oleh lava yang pada akhimya memungkinkan terbentuknya kembali Krakatau seperti dulu. Tapi, perlu diingat bahwa hal itu memakan waktu yang sangat lama, sekitar 3 abad. Material yang dimuntahkan saat ini merupakan usaha membangun dirinya atau memperluas permukaan daratan gunung api tersebut.
Pada sisi lain, yang menyangkut keaktivan pertumbuhan gunung api ini, para pakar meyakini bahwa sangat erat hubungannya dengan letak Krakatau yang persis berada pada lokasi pertemuan 2 lempeng batuan, yakni lempeng batuan India-Australia dan lempeng Mikro Sumatera. Seperti kita tahu bahwa lempeng Indo-Australia bergerak ke Utara membentur lempeng Eurasia, sedangkan lempeng Eurasia sendiri bergerak ke arah Tenggara. Gerakan Eurasia ini dilawan oleh gerakan lempeng Pasifik mengarahkan ke arah Barat Laut. Perbatasan kedua lernpeng Eurasia dan Indo-Australia berada di Samudera Hindia yang terbentang di Selatan Pulau Jawa dan Barat Sumatera. Lempeng Indo-Australia ini menukik ke bawah Sumatera-Jawa, sampai kedalaman 600 km di Jawa dan 200 km di Sumatera.
Akibat interaksi lempeng India-Australia dengan lempeng Mikro Sumatera serta dipengaruhi 2 lempeng lainnya, menyebabkan lempeng Mikro Sumatera bergerak ke arah Barat Laut. Tarikan lempeng Mikro Sumatera mengakibatkan penipisan kerak bumi dan naiknya material panas (Kompas, 22-11-’92).
Di samping itu, perlu kiranya dijelaskan lagi, aktivitas atau periode letusan sebuah gunung api dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : 1. Besarnya dapur magma 2. Kedalaman dapur magma 3. Proses pembentukan kembali gas dan magmatisasi.
Dalam kaitannya dengan Krakatau, dari data pengamatan seismologi me-nunjukkan adanya 2 zona atenuasi ge-lombang di bawah Krakatau yang di-duga sebagai dapur magma. Magma itu terletak di kedalaman 22 km dan cukup luas.
MENGANTISIPASI BENCANA
Dari informasi-informasi di atas, kita sudah dapat mengerti bahwa Krakatau sekarang masih pada tahap ‘pembangunan’ dirinya, untuk mencapai tahap merusak (tipe perret/plinian) masih menunggu waktu sangat lama. Meskipun demikian bukan berar-ti kita tak perlu mengantisipasi perkembangan gunung api ini. Terutama bila kita lihat daerah-daerah di sekitar Selat Sunda demikian cepat berkembang, menjadi daerah sentra ekonomi yang sangat mendukung pembangunan. Pesatnya perkembangan seperti ini tentu alamiah dan tidak dapat begitu saja dicegah, demikian juga dengan perkembangan anak Krakatau yang sewaktu-waktu akan menunjukkan ‘amarahnya’.
Dengan bantuan peralatan pantau canggih, seperti satelit observasi Landsat, SPOT maupun satelit relay seperti ARGOS dan alat lainnya, para ahli dapat segera mendapatkan informasi baru tentang perkembangan gunung ini. Begitu pun dengan aktivitas peneliti lapangan tak terkira bantuannya, serta para ahli bidang ilmu lain yang turut mendukung seperti ahli perencana bangunan, regional planning, dan lain-lain diperlukan untuk segera dapat mencarikan alternatif pencegahan atau usaha penyelamatan sebelum bencana muncul. Tentu saja, pengalaman lalu, yakni banyaknya korban jiwa maupun harta yang diakibatkan oleh suatu bencana letusan gunung api bisa kita hindari. Biarlah peristiwa Krakatau (1883) yang menelan korban sebanyak 36.000 jiwa, atau Tambora (1815) 92.000 jiwa, Merapi (1930) 1.300 jiwa, Kelud (1919) 5.000 jiwa atau Gunung Agung (1963) 1.100 jiwa menjadi kenangan yang tidak akan terulang kembali.
Oleh: Jones Sirait, Mahasiswa Jurusan Geografi – Ul
Sumber: Majalah AKU TAHU/ JANUARI 1993