SEJAK tahun 1965 saya sudah ikut-ikutan memperhatikan dan memperbandingkan kemampuan akademik lulusan berbagai SMA dan kemudian SMU dari seluruh wilayah Indonesia. Kalau ada orang mengatakan bahwa ia siswa dari SMA tertentu, maka saya ingat bahwa SMA itu sudah menghasilkan sekian PhD, sekian mahasiswa yang sekarang sedang belajar di MIT atau di CalTech. Atau juga sekian orang finalis lomba penelitian ilmiah remaja, dan akhir-akhir ini juga sekian orang ariggota regu olimpiade matematika Indonesia.
Sewaktu praseleksi peserta latihan calon peserta olimpiade matematika Indonesia, dari setiap provinsi dipilih 20 orang siswa kelas II dan 20 orang siswa kelas III SMA yang kemampuan matematikanya adalah yang terbaik di provinsinya. Mereka kemudian diuji secara tertulis menggunakan perangkat uji yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun dari tahun ke tahun sebagai hasil seleksi nasional menggunakan perangkat uji tunggal ini, yang muncul pada umumnya ialah siswa SMA tertentu saja dari provinsi-provinsi tertentu pula. Sampai-sampai saya pernah mengatakan bahwa peta bumi kemampuan matematika peringkat SMA di Indonesia hanya terdiri atas empat daerah tingkat I di Pulau Jawa dan beberapa lagi di Sumatra, Bali-Nusa Tenggara, serta ujung utara Sulawesi.
Pola ini bertahan dari tahun ke tahun sejak saya mulai mengamati pada dasawarsa tujuh puluhan. Lucunya selama itu pula kita sudah berapa kali mengganti kurikulum dan silabus, serta sudah berkali-kali pula memperbaiki sistem pembelajaran.
Yang berubah dari kegiatan-kegiatan ini hanyalah istilah-istilah pendidikan yang semakin lama semakin sulit dipahami dan bertambah panjang sehingga perlu dibuatkan akronimnya. Pengaruhnya terhadap profil keberhasilan pendidikan di sekolah tidak ada, karena sekolah yang tidak unggul tetap saja tidak unggul dan yang unggul tetap saja unggul.
Yang menyedihkan lagi ialah bahwa sekolah-sekolah tidak unggul itu yang ketakunggulannya diukur oleh Kanwil dari letaknya dalam peringkat pencapaian skor NEM Total yang ada di bawah rata-rata, kepala sekolahnya diberi peringatan agar pada tahun yang akan datang meningkatkan peringkat sekolahnya.
Hal ini benar-benar pekerjaan yang tidak masuk akal karena andaikata peringkat sekolah-sekolah ini naik di atas rata-rata, pasti akan ada sekolah lain yang peringkatnya tahun depan turun di bawah rata-rata. Dari segi penyediaan kegiatan bagi Kanwil, hal ini memang bagus, karena pada tahun yang akan datang giliran sekolah-sekolah yang turun peringkatnya itulah untuk diberi peringatan. Semua upaya membuat silabus dan kurikulum baru, serta mengembangkan sistem pembelajaran dan penilaian yang baru dimaksudkan agar siswa lebih menguasai pelajaran yang diberikan kepada mereka.
Namun segala upaya ini tampaknya hanya berhasil di sekolah unggul yang sejak dulu juga selalu berhasil menghasilkan lulusan-lulusan terbaik ditinjau dari persentasi yang berhasil memasuki dan kemudian lulus dari perguruan tinggi unggulan. Jadi ada apa di sekolah unggulan yang tetap saja unggul itu?
Kenyataan ini membuat saya teringat kembali akan peringkat yang dikeluarkan oleh Profesor Geoffrey Howson, pensiunan guru besar Kajian Kurikulum Matematika di Universitas Southampton sewaktu membuka International Congress of Mathematics Education yang ketujuh (ICME-7) di Quebec pada tahun 1992 selaku Sekretaris International Commission on Mathema-tical Instruction (ICMI).
Peringatan ini pernah ditulisnya dalam makalahnya Maths Problem: Can More Pupils Reach Higher Standards? (Centre for Policy Studies, Policy Study No. 102). Di dalam makalah ini ia menulis:
“Good teaching depends principally upon good teachers – not good syllabuses, materials of assessment procedures, although all these can assist, and may sometimes compensate in small part, for a weak teacher force.”
(“Pengajaran yang baik pada prinsipnya terutama bergantung kepada guru-guru yang baik-bukan silabus yang baik, bahan pelajaran atau prosedur penilaian, walaupun semuanya ini dapat menolong, dan kadang-kadang dapat sedikit mengimbangi terhadap barisan guru yang lemah.”)
Sampai saat ini di Indonesia yang dianggap guru yang baik ialah dia yang setia terhadap isi silabus, dapat menyediakan alat peraga yang baik, serta menguasai prosedur penilaian yang dianggap baik. Namun menurut Howson, guru yang baik ialah dia yang tahu apa yang akan diajarkannya karena ia menguasai apa yang akan diajarkannya.
Dengan perkataan lain, kalau kita ingin mencari guru berenang yang baik dan mengiklankan keinginan kita itu, maka bunyi iklan itu haruslah sebagai berikut, Dicari: Guru Berenang Yang Pandai Berenang! Sudah berpuluh tahun pekerjaan kita adalah mengotak-atik, kurikulum, silabus, buku ajar, dan cara mengajar. Agaknya menyongsong hari ulang tahun kemerdekaan kita yang kelimapuluh ini, kita harus mulai bergerak membuat semua guru berenang di Indonesia mampu berenang.***
Oleh: Andi Hakim Nasoetion
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 JULI 1995