Ledakan reaktor nuklir Chernobyl pada 26 April 1986 menjadi pelajaran dan pengingat bahwa sekecil apa pun kelalaian manusia dalam pengoperasian reaktor nuklir akan berdampak besar bagi lingkungan dan hidup manusia.
AFP/GENYA SAVILOV—-Pengunjung berjalan melewati gedung-gedung kosong di kota hantu Pripyat, Ukraina, Sabtu (24/4/2021). Peringatan 35 tahun bencana nuklir terburuk di dunia akan diperingati di bekas negara Soviet pada 26 April 2021.
Ledakan reaktor nuklir di kota Chernobyl, Ukraina, pada 26 April 1986 menjadi salah satu kecelakaan nuklir yang selalu diingat banyak orang karena dampaknya lebih besar dan berbahaya dari bom atom Hiroshima. Ambisi kedaulatan energi dari pemerintahan saat itu yang tak diiringi dengan persiapan matang menjadi pelajaran yang tak pernah usang hingga kini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Chernobyl merupakan proyek ambisius Uni Soviet di bidang nuklir. Reaktor nomor satu PLTN Chernobyl pertama kali dibangun pada 1977 di wilayah yang saat itu masih menjadi bagian dari Uni Soviet. Hanya berselang enam tahun atau pada 1983, empat reaktor telah selesai dibangun dan penambahan dua reaktor lagi direncanakan pada tahun-tahun berikutnya.
Namun, alih-alih mencapai kedaulatan energi, proyek Chernobyl justru menjadi bencana yang memicu keruntuhan negara tersebut. Dalam berbagai pemberitaan, pada 26 April 1986 dini hari, terjadi ledakan pada reaktor nomor empat saat tengah dilakukan pengujian sistem pendingin air darurat. Selang beberapa menit, ledakan membesar hingga berujung pada pelepasan partikel radioaktif 400 kali lebih banyak dibandingkan nuklir pada bom atom Hiroshima.
Kontaminasi diperkirakan menyebar hingga radius wilayah mencapai lebih dari 100.000 kilometer persegi dari Uni Soviet hingga Eropa Barat. Sebuah laporan tahun 2005 dari Forum Chernobyl Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan 50 orang tewas dalam beberapa bulan setelah kecelakaan itu dan 9.000 orang lainnya yang terpapar radiasi juga meninggal akibat kanker. Sementara pada 1995, Pemerintah Ukraina menyatakan 125.000 orang telah meninggal akibat efek radiasi Chernobyl.
Saat ledakan terjadi, otoritas Uni Soviet memperburuk insiden tersebut dengan tidak memberitahukan kepada publik terkait apa yang telah terjadi. Sekitar 2 juta penduduk di Pripyat yang merupakan kota terdekat dari ledakan baru dievakuasi keesokan harinya. Mereka bahkan menyatakan situasi terkendali dan memberi tahu penduduk bahwa evakuasi hanya bersifat sementara.
AFP/GENYA SAVILOV—-Seorang pengunjung mengambil foto sebuah bangunan terbengkalai di kota hantu Pripyat, Ukraina dekat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl, Senin (26/4/2021) dini hari waktu setempat.
Semua fakta tersebut menegaskan bahwa kecelakaan Chernobyl tidak hanya memicu ketakutan akan bahaya tenaga nuklir, tetapi juga mengungkap kurangnya keterbukaan Pemerintah Soviet kepada rakyatnya dan komunitas internasional. Dunia baru mengetahui insiden nuklir tersebut setelah radiasi yang meningkat terdeteksi di Swedia.
Selain menghancurkan sumber energi primer, Soviet juga menghabiskan biaya ratusan miliar dollar AS untuk membersihkan wilayah dari kontaminasi. Bahkan, pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, menyatakan ledakan reaktor nuklir Chernobyl merupakan salah satu penyebab utama keruntuhan negaranya lima tahun kemudian.
Setelah 35 tahun berselang, insiden Chernobyl tetap relevan diperbincangkan terutama dalam upaya tiap negara memanfaatkan nuklir untuk pembangkit listrik ataupun bidang lain. Hal ini tidak terlepas dari serangkaian insiden nuklir yang masih tetap terjadi pasca-Chernobyl, baik oleh bencana alam maupun kelalaian manusia.
Kebocoran reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pada 2011 menjadi salah satu yang terparah karena menyebarkan radiasi tinggi ke lingkungan dan membuat lebih dari 150.000 jiwa mengungsi.
Dalam webinar bertajuk ”Menolak Lupa: 35 Tahun Bencana Chernobyl Tak Kunjung Usai”, Senin (26/4/2021), Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Hindun Mulaika, menyebut, sampai saat ini radiasi dari ledakan Chernobyl masih mengancam lingkungan. Kebakaran juga masih sering terjadi saat musim kemarau pada zona pembatasan Chernobyl atau area paling terkontaminasi radioaktif di dunia.
Menurut Hindun, saat kebakaran besar terjadi, level radioaktif yang terlepas ke udara akan terbawa asap kebakaran dan akhirnya terhirup masyarakat. Sejumlah penelitian juga menyatakan, kebakaran yang terjadi pada 2015 telah melepaskan radioaktif cesium-137, strontium-90, plutonium-238, dan americium-241 ke udara dengan tingkat yang lebih tinggi.
”Ini fakta yang tidak bisa kita abaikan. Jadi jangan berpikir Chernobyl adalah bencana yang telah usai karena terjadi 35 tahun lalu. Sebab, lokasi tersebut tidak bisa dihuni lagi oleh manusia dan sampai saat ini masyarakat di sana masih menghirup asap kebakaran hutan dengan level radioaktif tinggi,” ujarnya.
PLTN di Indonesia
Meski dampak yang ditimbulkan sangat berbahaya jika terjadi kecelakaan, tidak sedikit negara di dunia, termasuk Indonesia, yang tetap mendorong dibangunnya PLTN untuk mengurangi penggunaan gas, minyak bumi, dan batubara. Pembangunan PLTN memang masih pro dan kontra. Namun, sejumlah wilayah, seperti Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung, telah beberapa kali dilakukan studi kelayakan.
Guru Besar Teknik Elektro Universitas Indonesia Rinaldy Dalimi mengatakan, saat ini Indonesia memiliki beberapa reaktor penelitian nuklir. Namun, tidak ada satu pun reaktor yang menghasilkan energi listrik. Penggunaan nuklir saat ini juga lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Selain pertimbangan biaya, PLTN dinilai tidak cocok dibangun di Indonesia yang berada di cincin api sehingga rawan bencana gempa bumi. Di sisi lain, keselamatan kerja di Indonesia tergolong masih rendah yang berpotensi memicu terjadinya kesalahan atau kecelakaan pengoperasian reaktor nuklir.
”Indonesia mempunyai potensi energi yang lebih murah dan aman serta cukup untuk memasok kebutuhan energi nasional selama ratusan tahun. Dengan kenyataan kejadian kecelakaan nuklir terakhir di Fukushima, kesimpulan kita seharusnya yaitu nuklir bukan energi bersih,” ungkapnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Daniel Ibrahim mengakui, saat mengikuti beberapa kali rapat di legislatif, mayoritas anggota Komisi VII DPR mendukung pembangunan PLTN. Akan tetapi, selama Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional tidak berubah, pembangunan PLTN di Indonesia tetap menjadi opsi terakhir dalam mencapai ketahanan energi.
”Perancis yang saat ini 75 persen energinya berasal dari nuklir juga berkomitmen untuk menurunkan sepertiga dan diganti dengan energi terbarukan. Jadi, sebenarnya nuklir tidak berkembang di Eropa. Nuklir hanya berkembang di Korea, China, dan beberapa negara di Timur Tengah,” ucapnya.
Pakar lingkungan hidup Sonny Keraf menekankan, setiap keputusan publik yang diambil akan selalu berdampak terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, penting memahami etika utilitarianisme yakni keputusan yang diambil harus memiliki manfaat besar bagi sebanyak mungkin orang dan kerugian terkecil.
”Sebagai catatan penting, manfaat atau kerugian itu tidak hanya bersifat material atau finansial. Tetapi yang harus dihitung dan dipertimbangkan adalah non-material yang menyangkut nyawa manusia, kesehatan, keamanan, ketenangan hidup, dan ketakutan,” tuturnya.
Kecelakaan nuklir Chernobyl menjadi pelajaran dan pengingat bahwa sekecil apapun kelalaian manusia dalam pengoperasian reaktor nuklir akan berdampak besar bagi lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Jika pada akhirnya pembangunan PLTN di Indonesia terealisasi, studi kelayakan hingga aspek keselamatan kerja jangan pernah terabaikan agar Indonesia tidak menorehkan catatan kelam insiden nuklir yang menyebabkan banyak kerugian.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 27 April 2021