Mengetahui anaknya menerima beasiswa kuliah, keluarga Juliana sangat senang. Bepak dan Induk berjuang mengumpulkan uang dari mencari jernang dan menganyam rumbia demi menyiapkan segala sarana pendukung.
Dukungan bepak (ayah) dan induk (ibu) bagaikan sumbu yang menyulut semangat Juliana. Di tengah kuatnya adat membatasi anak perempuan bersekolah, sang bepak berjuang melepaskan belenggu itu. Harapan akan masa depan yang lebih baik bagi komunitas adat Orang Rimba kini disandarkan para sang putri.
DOKUMENTASI PUNDI SUMATERA—-Juliana (19), guru komunitas Orang Rimba di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kala memperoleh tawaran beasiswa dari salah satu universitas di Kota Jambi, Juliana sempat gelisah. Ia sangat ingin melanjutkan sekolah hingga setinggi-tingginya. Namun, ia khawatir akan reaksi bepak (ayah)-nya, Samsu (53), jika mengetahui keinginannya itu.
Selama ini, adat setempat memaklumi remaja-remaja perempuan menikah di usia muda. Anak-anak perempuan dalam komunitas Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, tersebut juga mendapatkan proteksi ekstra dari komunitasnya.
Saat Juliana mengemukakan keinginan untuk kuliah, di luar dugaan, sang bepak memberi restu. Bahkan, lebih dari itu, bepak mewanti-wanti Juliana jangan sampai putus sekolah. Termasuk agar jangan menikah dulu sebelum lulus.
”Pesan Bepak, utamakan dulu kuliah, setelah lulus baru pikirkan yang lainnya,” kenang mahasiswa yang kini mengambil Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi ini, Selasa (2/2/2021).
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN—-Suasana belajar anak-anak rimba dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, 2014.
Mengetahui anaknya menerima beasiswa kuliah, keluarga itu pun berjuang menutupi segala biaya. Uang masuk kuliah serta sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) memang sepenuhnya dibebaskan kampus. Akan tetapi, segala sarana pendukung masih harus diupayakan mandiri, di antaranya membelikan buku-buku dan telepon seluler.
Selama berlangsungnya perkuliahan jarak jauh (daring) di masa pandemi Covid-19, telepon seluler menjadi kebutuhan vital untuk mendukung perkuliahan. ”Induk (ibu) dan Bepak mengumpulkan uangnya dari mencari jernang di hutan dan menganyam rumbia,” ujarnya.
Juliana bersyukur masa awal perkuliahan dapat dilaluinya, termasuk masa pengenalan kampus dan kuliah umum. Semuanya berjalan daring.
Dari tempat tinggalnya di salah satu pucuk bukit wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, sinyal internet kerap hilang dan timbul. Sebelum mengikuti kuliah, ia pun berburu sinyal kuat.
Salah satu lokasi favoritnya adalah balai pertemuan karena sinyal internet dapat tertangkap di sana.
Perempuan pertama
Juliana merupakan perempuan pertama dalam komunitas adat Orang Rimba di Jambi yang berhasil menempuh pendidikan formal hingga jenjang kuliah.
Pendidikan tinggi boleh dikata masih langka di komunitas adat tersebut. Dari 3.600-an warga yang menempati ekosistem Bukit Duabelas dan sekitarnya, baru 300 anak yang mengenyam pendidikan formal dan informal dalam rentang 15 tahun terakhir.
Sebagian besar tak tuntas alias putus sekolah di tingkat dasar ataupun menengah. Dari seluruhnya, baru tiga orang yang akhirnya berhasil menimba ilmu di jenjang kuliah. Satu di antaranya putus kuliah. Tersisa Juliana dan seorang pemuda bernama Seri kini sedang berjuang meniti studinya.
Ia ingat betul, saat berusia tujuh tahun, ada seorang sukarelawan dari lembaga swadaya Pundi Sumatera datang dan menetap bersama kelompok itu. Sang sukarelawan kerap membantunya untuk belajar membaca dan menulis.
Saat ditawari oleh sukarelawan untuk mendaftar di sekolah formal, sang bepak sempat menolaknya. Sebab, anak perempuan dipandang harus dilindungi sehingga jangan sampai pergi jauh dari tempat tinggal kelompok itu. Jika bersekolah, setiap anak harus keluar cukup jauh dari tempat tinggal kelompoknya.
Melihat Juliana yang antusias belajar, sukarelawan tadi terus mendukung. Ia pun memberi gambaran akan pentingnya sekolah. Seiring mulai meleburnya interaksi sosial dengan masyarakat luar rimba, Orang Rimba perlu berdaya agar tak mudah ditipu orang.
Bepak akhirnya terbuka dengan pendapat tersebut. Tiga dari delapan anaknya diberikan peluang untuk bersekolah formal, yakni anak pertama, Atop; anak kelima, Edison; dan anak keenam, Juliana.
Atop putus sekolah setelah kelas II sekolah dasar. Edison juga memutuskan tak melanjutkan sekolah karena ingin menikah. Sang bepak tak mampu melarang. Harapan satu-satunya kini dilabuhkan kepada Juliana. Sang putri pun menyikapinya dengan positif. Cita-citanya untuk menjadi guru bagai terbentang di hadapannya.
Di tengah modernitas dan kian meleburnya kehidupan sosial, pemberdayaan bagi komunitas adat Orang Rimba mulai disentuh pemerintah dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Sebagian programnya untuk membuka akses pendidikan, kesehatan, dan sumber ekonomi pada komunitas itu. Namun, umumnya program-program tak berkelanjutan. Efek lain, menciptakan ketergantungan pada datangnya bantuan dari luar.
Di tengah segala persoalan itu, Juliana tetap bersemangat untuk turut membangun pendidikan dalam komunitas. Salah satu yang setia dilakoninya hingga kini adalah menjadi guru bagi sesamanya di rimba, agar anak-anak di sana dapat juga melek baca, tulis, dan berhitung. Terlebih makin berdaya dan bijak menjaga rimba yang menjadi sumber penghidupan mereka.
Beasiswa kuliah yang diberikan Universitas Muhamadiyah Jambi adalah bentuk dukungan dunia pendidikan bagi komunitas pedalaman. Saat ini, dukungan serupa terbilang masih sangat langka.
Dewi Yunita Widiarti, Direktur Program Pundi Sumatera, yang mendampingi komunitas tersebut, menyampaikan apresiasinya. Yang masih menjadi tantangan adalah mendampingi para pemuda rimba untuk bertekun dengan kesempatan yang telah didapatkan.
Tantangan lain adalah membantu tercukupinya kebutuhan hidup mereka jika kuliah luring kembali dibuka. Itu berarti Juliana akan lama meninggalkan keluarganya untuk menetap cukup lama di kota.
Kehidupannya yang baru nanti pastilah membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit untuk menyewa kamar indekos hingga kebutuhan sehari-hari. Ia berharap jalan terbuka lebar di depan.
Oleh IRMA TAMBUNAN
Editor: AUFRIDA WISMI WARASTRI
Sumber: Kompas, 13 April 2021