PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) secara terbuka menabuh genderang perang terhadap pelaku usaha jaringan internet kabel rumah (fiber to the home/FTTH), dengan melakukan rebranding layanan internetnya dan layanan TV berbasis internet (internet protocol TV) menjadi “Stroomnet.”
Disadari atau tidak, Stroomnet berkompetisi langsung (head-to-head) dengan “IndiHome”, produk berkarakteristik sama persis dengan Stroomnet, yang dirilis PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) serta produk lain milik perusahaan swasta penyedia layanan intenet (internet service provider/ISP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gebrakan PLN ini dilakukan melalui anak usahanya, yaitu Indonesia Comnets Plus (ICON+), yang didirikan pada tahun 2000 dan mengantongi izin penyediaan internet dan telepon untuk publik sejak tahun 2005.
ICON+ sebenarnya telah menawarkan layanan komersial sejak 2008, menggunakan teknologi internet melalui kabel listrik (broadband-over-powerline), tetapi gagal di pasar karena tidak mendapat perhatian dari publik. Menurut analisis kami, ada tiga poin yang menjadi penyebab kegagalan layanan ICON+ kala itu.
Pertama, pelanggan tidak memahami teknologi, sementara harga modem relatif lebih mahal. Saat itu Telkom menggunakan teknologi ASDL, memanfaatkan jaringan telepon (kabel tembaga), sementara ICON+ memilih menggunakan jaringan listrik.
Kedua, penetrasi internet di Indonesia saat itu masih rendah dan internet belum menjadi kebutuhan utama (masih menjadi kebutuhan komplementer). Ketiga, daya beli yang masih terbatas dengan pendapatan perkapita Rp 17,9 juta (2007). Bandingkan dengan posisi sekarang yang telah mencapai Rp 56 juta (2018).
Kini, perusahaan penguasa jaringan listrik tersebut mencoba lagi peruntungan di bisnis ini seiring efisiensi di pasar internet, sementara permintaan masyarakat kian tinggi sebagai kebutuhan utama. Tak heran, PLN berani menawarkan paket Stroomnet senilai Rp 89.000 untuk layanan data 5 Mbps per bulan , setara 1,9% dari pendapatan tahunan (Rp 56 juta).
Awas, Indihome Bisa Tergeser
Gebrakan ICON+ ini berpotensi menggeser IndiHome. Alasannya, PLN memiliki 71,1 juta pelanggan (per 2018), yang berpotensi menjadi pelanggan internet, atau nyaris sepuluh kali lipat dari pelanggan telepon Telkom yang hanya 7,9 juta orang (per semester I/2019).
Apalagi, ongkos layanan Stroomnet lebih menarik dari IndiHome dan ISP FTTH swasta lainnya. Hal ini dimungkinkan karena sebagai penguasa jaringan listrik Nusantara PLN memiliki jaringan terintegrasi di seluruh Indonesia sehingga bisa menciptakan efisiensi dalam layanannya.
—-Stroomnet Ancam TLKM, Akan Kerjasama Atau Perang Saudara? —Foto: Icon+, Kresna Research
Dengan kekuatan jaringan tersebut, PLN dapat membangun tulang punggung (backbone) dengan memanfaatkan jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi), serta menggunakan tiang listrik yang ada untuk membangun jaringan ke rumah (last mile).
PLN hanya perlu memasang fiber optik di jaringannya dengan proses yang lebih mudah dari pembangunan jaringan selular karena tidak membutuhkan frekuensi (tidak ada biaya izin frekuensi) dan tidak membutuhkan jaringan radio aktif (4G atau 5G), sehingga lebih murah dan cepat.
Faktor yang menentukan kecepatan jaringan internet kabel ini adalah kualitas kabel yang digunakan (kabel tercepat pada tahun 2014 adalah 255 Tbps, setara dengan 255 juta Mbps), serta kapasitas koneksi ke jaringan internasional (server utama di luar negeri).
Ketika pemain layanan FTTH lainnya menghadapi izin pemasangan jaringan kabel fiber optic (FO) yang rumit, dan terkendala kebutuhan modal untuk ekspansi jaringan, PLN sudah melewati fase pembangunan jaringan ini dan didukung kekuatan dana sang induk usaha.
Jika sewaktu-waktu dibutuhkan, PLN dapat turun langsung untuk memberi pendanaan, misalnya dengan menanggung seluruh biaya pengadaan kabel fiber optik, sehingga ICON+ hanya perlu menyewa ke induk usahanya tersebut.
Ruang Kolaborasi Masih Terbuka
Meskipun Stroomnet dengan jaringan listrik PLN merupakan ancaman utama bagi bisnis model IndiHome, investor pemilik saham TLKM tidak perlu panik karena masih ada ruang bagi keduanya untuk berkolaborasi.
Dalam analisis kami, kapasitas finansial ICON+ masih terbatas karena pada 2018, penjualannya hanya Rp 2,2 triliun dengan laba bersih Rp 442 miliar (margin bersih 20,4%). Sementara itu, modal ekuitas hanya Rp 2,1 triliun.
Terbatasnya modal ini menjadi kendala bagi ICON+ mengerjakan seluruh potensi pasar. Di sinilah mitra menjadi penting dan Telkom berpeluang menjadi kandidat kuat bagi ICON+. Sebagai BUMN telekomunikasi, Telkom memiliki apa yang sangat dibutuhkan ICON+ yakni jaringan internet internasional.
Dengan posisi finansial yang lapang, Telkom pun siap mengucurkan dana bagi pengembangan ICON+. Ada baiknya Telkom berinvestasi di ICON+ ketimbang membeli menara milik PT Indosat Ooredoo Tbk (ISAT) karena posisi bisnis ICON+ lebih strategis dalam jangka panjang.
Kami optimistis bahwa BUMN masih bersinergi dan bukannya saling libas dalam kompetisi ekstrem. Keyakinan ini muncul melihat tren kerjasama antar BUMN yang dilakukan melalui pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN.
Hal ini dapat dilihat dari pertempuran di pasar pembayaran elektronik, di mana BUMN keuangan mengumpulkan modalnya di bawah ‘Link Aja’ untuk berkompetisi langsung dengan pemain swasta seperti GoPay, OVO, dan Dana.
Meski peluang terbentuknya ‘Holding Telekomunikasi’ masih kecil, langkah ICON+ ini menjadi pintu bagi pemerintah melakukan reorganisasi dan pengaturan strategi baru di industri Telekomunikasi, termasuk pembentukan ‘Holding Telekomunikasi’.
Kita tentu berharap memiliki industri telekomunikasi yang efisien dan efektif, sejalan dengan ambisi industri 4.0 yang dipatok pemerintah, di mana internet cepat merupakan tulang punggung dari industrialisasi era milenial tersebut.
Kerjasama ICON+ dan Telkom akan membawa Indonesia ke level lebih tinggi: akses internet murah dan menyeluruh, sebagai bagian dari keadilan sosial di era digital.*** (etr/ags)
*Etta Rusdiana Putra merupakan Senior Market Analyst di Kresna Sekuritas. Mengenyam pendidikan dan mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Etta telah belasan tahun berkecimpung di dunia pasar modal sebagai analis, baik itu fundamental maupun teknikal. Kecintaannya terhadap dunia pasar modal dibuktikan dengan keberhasilan dalam mendapatkan gelar CFTe, sebuah gelar bergengsi di kalangan analis teknikal
Sumber: CNBC Indonesia, 03 September 2019