Pelajaran sejarah Indonesia memang sangat menentukan dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Dari sejarah Indonesia, siswa belajar tentang nilai-nilai kebangsaan, cinta Tanah Air, juga nasionalisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA—Guru SD Muhammadiyah 12 Surabaya Lin Hidayati menjelaskan mengenai sejarah Presiden Soekarno kepada siswa kelas VI secara daring di Museum HOS Tjokroaminoto, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (14/8/2020). Tempat tersebut pada masa lalu merupakan tempat kos sejumlah tokoh bangsa salah satunya Presiden Soekarno.
Belakangan beredar draft Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam draft tertanggal 25 Agustus 2020 tersebut, antara lain tertuang rencana perubahan posisi dan porsi pelajaran sejarah dalam struktur kurikulum di jenjang sekolah menengah atas.
Posisi mata pelajaran sejarah di sekolah menengah atas (SMA)/madrasah aliyah (MA) bergeser, dari kelompok wajib menjadi kelompok pilihan. Jika pada Kurikulum 2013 (K13) ada 15 mata pelajaran, termasuk Sejarah Indonesia dan dua mata pelajaran lintas minat, dalam kurikulum yang disederhanakan terdapat 11 mata pelajaran
Sebelas mata pelajaran tersebut meliputi salah satu dari kelompok agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Seni dan Prakarya, Pendidikan Jasmani, Informatika, dan Program Pengembangan Karakter sebagai mata pelajaran dasar, serta kelompok IPA dan IPS sebagai mata pelajaran pilihan. Sejarah masuk dalam kelompok IPS.
Adapun mata pelajaran Sejarah Indonesia di sekolah menengah kejuruan (SMK)/madrasah aliyah kejuruan (MAK) yang selama ini masih diajarkan di kelas X, dalam struktur kurikulum yang disederhanakan tidak ada. Dari tiga alternatif struktur kurikulum yang disederhanakan untuk SMA/MAK dalam draft tersebut, tak satupun yang mencantumkan pelajaran Sejarah Indonesia.
Belum ada penjelasan alasan perubahan tersebut, demikian juga alasan penyederhanaan kurikulum. Maman Fathurrahman, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud hanya mengatakan ada kebutuhan kurikulum nasional yang adaptif. Sebagaimana ketika Kemendikbud mengeluarkan kurikulum darurat di masa pandemi Covid-19, menunjukkan bahwa perlu keragaman kurikulum, bukan keseragaman.
Rencana penyederhanaan kurikulum, kata Maman, dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian. Dalam rencana penerapannya di tahun 2021 pun, akan dilaksanakan secara terbatas, di sekolah penggerak, bukan di seluruh sekolah.
“Dalam konteks pelajaran sejarah, nanti ada pembahasan lebih lanjut. Sejarah merupakan komponen penting bagi Indonesia sebagai bangsa yang besar sehingga akan senantiasa menjadi bagian kurikulum pendidikan,” kata Maman ketika dihubungi Kompas pada Jumat, (18/9/2020).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno dalam keterangan tertulis yang dirilis Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kemendikbud Jumat malam, mengatakan, pembahasan rencana penyederhanaan kurikulum masih dalam tahap awal, yaitu kajian akademis. Kemendikbud menjamin pelajaran sejarah akan tetap ada di dalam kurikulum pendidikan.
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (ASGI) berharap mata pelajaran sejarah tidak sekadar dijamin ada dalam struktur kurikulum, tetapi ditempatkan dan dikembalikan ke dalam kelompok mata pelajaran dasar yang wajib diajarkan di semua kelas di SMA/MA/SMK/MAK. Pendidikan sejarah penting untuk mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan lebih dari itu merupakan bagian utama dalam pendidikan karakter.
Kemunduran
Dalam K13 yang merupakan kurikulum berbasis kompetensi dan karakter, sejarah ditempatkan sebagai mata pelajaran pendidikan karakter. Awalnya, mata pelajaran Sejarah Indonesia sebagai pendidikan nilai menjadi mata pelajaran wajib di semua jenjang di SMA/MA/SMK/MAK. Adapun mata pelajaran Sejarah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan (sains) yang termasuk kelompok peminatan ilmu-ilmu sosial dan menjadi pelajaran lintas minat.
Namun, revisi kurikulum pada 2016 mengurangi porsi mata pelajaran Sejarah Indonesia di SMK/MAK dari dua kali jam pelajaran selama enam semester, menjadi dua kali jam pelajaran selama empat semester. Kemudian, revisi pada 2017 mengurangi lagi mata pelajaran sejarah Indonesia di SMK/MAK menjadi tiga jam pelajaran selama dua semester, hanya di kelas X.
“Draft kurikulum baru (penyederhanaan kurikulum) bisa dibilang kemunduran dalam konteks pendidikan nilai kebangsaan,” kata Hendra Kurniawan, dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ketika dihubungi Kompas pada Sabtu (19/9).
Penanaman nilai-nilai kebangsaan melalui mata pelajaran Sejarah Indonesia merupakan proses berkelanjutan kepada semua siswa di semua jenjang pendidikan. Demikian pula di SMK, tuntutan dunia usaha dan industri tidak lantas hanya cukup membekali siswa dengan keterampilan teknis (hard skills), tetapi juga perlu keterampilan non teknis (soft skills) termasuk pendidikan nilai-nilai kebangsaan melalui mata pelajaran Sejarah Indonesia.
Pelajaran sejarah merupakan instrumen strategis untuk membentuk identitas dan karakter siswa. “Kalau di SMK, misalnya jurusan kuliner, bagaimana membangun karakter kuliner Indonesia kalau tidak mengerti sejarah,” kata Prof Sri Margana, pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) yang juga Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Minggu (20/9).
Pelajaran sejarah sangat menentukan dalam proses pendidikan secara keseluruhan. Perannya penting dalam memberikan arah dan inspirasi bagi penyelesaian masalah kebangsaan, memberikan rujukan nyata dan teladan bagi generasi muda, meningkatkan apresiasi terhadap karya para pendahulu, juga memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai perjalanan bangsa.
Berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, fungsi mata pelajaran sejarah bukan sebagai dasar ilmu, tetapi sebagai dasar moral terhadap apapun dalam mencintai Tanah Air. Karena itu, pelajaran sejarah harus berdiri sendiri dan menjadi mata pelajaran wajib di semua siswa di semua jenjang dengan kualitas yang sama, bukan mata pelajaran pilihan ataupun diintegrasikan ke dalam kelompok IPS.
Sebagaimana sikap Pengurus Pusat MSI yang ditandatangani Ketua Umum MSI Hilmar Farid, Sabtu, penyederhanaan kurikulum hendaknya dilakukan dengan orientasi peningkatan mutu pelajaran dan disertai peningkatan kompetensi guru. Dan belajar dari perjalanan kurikulum pendidikan, perubahan kurikulum harus dikawal.
“Jangan sampai (apa yang tertuang dalam draft tersebut) menjadi kebijakan final,” kata Presiden ASGI Sumardiansyah Perdana Kusuma yang juga anggota tim penyusun capaian pembelajaran sejarah untuk pembahasan penyederhanaan kurikulum tersebut, Sabtu (19/9).
Sejumlah organisasi lain seperti Pembina Pengurus Pusat Perkumpulan Program Studi Program Studi Sejarah se-Indonesia pun bersiap memberikan pertimbangan tentang pentingnya pelajaran Sejarah Indonesia untuk semua siswa di semua jenjang. Sri Margana pun diundang Kemendikbud untuk mendiskusikan masalah ini minggu depan.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 21 September 2020