Malik Fadjar dan ”Guru yang Ilmuwan”

- Editor

Jumat, 11 September 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Malik adalah penggagas awal konsep “guru yang ilmuwan” dalam upaya pembenahan pendidikan guru di Tanah Air pada 1990-an. Saat itu, wacana nasional yang sedang berkembang adalah kebutuhan akan sosok “ilmuwan yang guru”.

Prof Malik Fadjar berpulang di usia 81 tahun pada 7 September 2020. Padanya tersemat sejumlah predikat sesuai jabatan publik selama hidupnya. Di antaranya rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983-2000), Menteri Agama (1998-1999), Menteri Pendidikan Nasional (2001- 2004), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2014-2019), pengurus pusat Muhammadiyah, aktivis Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Namun, tak banyak orang tahu Prof Malik adalah salah satu penggagas konsep “guru yang ilmuwan” di sistem pendidikan guru di Indonesia.

Malik sendiri dalam berbagai kesempatan selalu memperkenalkan dirinya sebagai guru, bahkan ketika ia sedang berbicara dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara saat itu. Konsep “guru yang ilmuwan” menekankan inti profesionalisme guru pada kompetensi pedagogi dan kapasitas keguruan. Seorang guru pertama-tama adalah guru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahwa ia harus mengajarkan bidang ilmu tertentu adalah bagian dari cakupan kompetensi guru. Ini tak berarti penguasaan bidang ilmu tertentu secara substantif tak penting bagi guru. Tetapi kemampuan guru berinovasi dan berkreasi dalam cara mengajar agar murid bisa mempelajari sendiri substansi bidang ilmu yang perlu dipelajari, adalah hal utama dalam profil kompetensi yang harus dimiliki guru.

Konsep “guru yang ilmuwan” menegaskan bahwa kemampuan seorang guru menemukan kreasi dan cara-cara baru dalam menyampaikan suatu materi keilmuan kepada murid, perlu dapat porsi besar dalam proses pendidikan guru. Alasannya, cara guru mengajar akan lebih mudah diingat murid dalam jangka panjang daripada substansi materi yang diajarkan.

Hal ini telah dibuktikan dalam riset pendidikan di berbagai negara. Selain itu, proses pembelajaran harus dapat mengarahkan murid untuk berinisiatif menemukan jawaban atas pertanyaan dan keingintahuannya. “Guru yang ilmuwan” mengarah pada profil kompetensi guru yang mampu memfasilitasi proses pembelajaran dengan inovasi dan kreativitas cara mengajarnya.

Malik adalah penggagas awal konsep “guru yang ilmuwan” dalam upaya pembenahan pendidikan guru di Tanah Air pada 1990-an. Saat itu, wacana nasional yang sedang berkembang adalah kebutuhan akan sosok “ilmuwan yang guru”. Penguasaan guru atas bidang ilmu yang diajarkan dikritik lemah. Gelombang perubahan IKIP jadi universitas diharapkan melahirkan sosok “ilmuwan yang guru”.

Artinya, guru yang mau dihasilkan pertama-tama adalah guru dengan penguasaan bidang ilmu setara lulusan sebuah program ilmu murni dari universitas, yang kemudian belajar ilmu keguruan untuk mengajar. Dengan konsep ini, profil kompetensi guru yang mau dibentuk berubah drastis.

Seorang guru pertama-tama adalah ilmuwan, yang kemudian mempelajari ilmu keguruan. Penguasaan keterampilan mengajar guru merupakan kompetensi tambahan atas kompetensi intinya sebagai ilmuwan.

Untuk mewujudkan rancangan “ilmuwan yang guru”, perubahan IKIP jadi universitas disusul dengan kebijakan pemerintah menyelenggarakan pelatihan pra-jabatan guru (Pendidikan Profesi Guru/PPG) dan pelatihan dalam jabatan (sertifikasi guru). Semua itu tertuang di UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang sebagian isinya merupakan pengembangan inti pemikiran dari Prof Malik Fadjar.

Namun program dan perangkat hukum untuk meningkatkan mutu guru itu masih belum efektif sebab kehilangan rohnya yang kunci. Yakni, guru tak dididik dan dipersiapkan sebagai guru sebagaimana dimaksudkan Malik, melainkan sebagai ilmuwan yang kemudian diberi kursus jadi guru melalui PPG dan sertifikasi.

Kita tahu, sampai sekarang (sekitar 20 tahun sejak kebijakan peningkatan profesionalitas guru diterapkan), program sertifikasi, PPG maupun proses pendidikan di universitas eks IKIP, belum menghasilkan guru-guru dengan profil ilmuwan. Doni Koesoema (“Mentransformasi Guru”, Kompas, 8/9), menyebutkan, program PPG dan sertifikasi tak meningkatkan mutu guru, tetapi justru meningkatkan hiruk-pikuk administrasi dan kisah lain, seperti kisruh tunjangan profesi.

Gelombang transformasi IKIP menjadi universitas, program PPG dan sertifikasi guru sejak awal ditujukan untuk hasilkan profil ilmuwan yang guru. Namun hingga kini, tujuan ini tak tercapai. Model khusus pendidikan guru yang menekankan profil guru yang ilmuwan, telah dihapus. Akibatnya, pendidikan guru saat ini tak memiliki arah strategis yang jelas baik dari segi proses maupun tujuan besar peningkatan mutu pendidikan.

Problem rendahnya mutu pendidikan saat ini, masih tetap disangkakan penyebabnya pada rendahnya mutu profesional guru sebagaimana ketika kebijakan perubahan IKIP menjadi universitas digulirkan 1990-an. Menariknya, solusi atas situasi klasik ini mau ditambal-sulam oleh Mendikbud Nadiem Makarim dengan jurus tangkas “program organisasi penggerak” dan “program guru penggerak”, yang mahal dari segi biaya dan kontroversial dari segi politik, tetapi minus pemahaman filsafati tentang permasalahan pendidikan guru.

Generasi transisi
Malik adalah bagian generasi transisi dalam kebijakan pendidikan di negeri ini. Lahir di Yogyakarta, 22 Februari 1939, ia tak terlalu sempat menikmati model pendidikan liberal arts gaya Eropa di masa kolonial akibat pergantian rezim politik yang berturut-turut ketika ia kanak-kanak (zaman Hindia Belanda, zaman Jepang dan zaman revolusi Indonesia). Namun, ia mengenyam pendidikan dasar dan menengah di 1950-an dari guru-guru yang memiliki kompetensi pedagogi dan keguruan yang kuat hasil didikan tahun 1930-an.

Di mata Malik, guru-guru ini menunjukkan profil kompetensi inti mereka sebagai guru yang tugas utamanya membantu murid-murid belajar. Profil guru melekat pada pemahaman Malik tentang profil guru yang sesuai kondisi murid-murid, sebagaimana ia maksudkan dengan konsep “guru yang ilmuwan”.

Pengalamannya mengajar di Sumbawa Besar, NTB, akhir 1950-an memperkuat pemahamannya tentang betapa penting penguasaan guru tentang cara mengajar yang inovatif. Tujuannya supaya ketika guru harus menghadapi kondisi infrastruktur pendidikan yang minim, ia tetap dapat berinovasi mengembangkan cara dalam membantu murid belajar dari lingkungan sekitar.

Berada dalam satu cohort generasi dengan Malik Fadjar adalah sejumlah tokoh pendidikan di Tanah Air. Di antaranya Mochtar Buchori, YB Mangunwijaya, Daoed Joesoef, HAR Tilaar, Soedijarto, dan Raka Djoni. Para pemikir dan praktisi pendidikan ini memiliki fokus minat beragam, tetapi mereka terhubung oleh sebuah inti gagasan yang sama. Yaitu bahwa pembenahan fundamental pendidikan nasional hanya dapat dilakukan dengan menyiapkan guru yang betul-betul menjadi guru, bukan guru yang kebetulan menjadi guru.

Agus Suwignyo, Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Sumber: Kompas, 11 September 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 14 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB