Baik bikinan sendiri maupun yang impor. Ikhtiar umat manusia itu dimaksudkan agar kita segera mendapatkan penangkal dari ancaman infeksi ganas korona. Karena hak hidup setiap orang adalah penting.
Kita mencermati banyak negara bersicepat membuat vaksin Covid-19 yang kini kian mengganas.
Banyak komentar, kritik, dan pujian muncul terkait ikhtiar ini. Di media sosial riuh dengan pendapat yang berdasarkan pengetahuan. Namun, banyak juga asal puji atau kritik tanpa mau tahu secara mendalam isu ini. Mari kita coba dengan kepala dingin memahami ”lomba” membuat vaksin demi mengatasi pandemi yang kini setiap hari menginfeksi hampir 300.000 orang ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Presiden Rusia Vladimir Putin baru saja mengumumkan negaranya jadi yang pertama berhasil memproduksi vaksin 11 Agustus lalu. Vaksin ini akan segera digunakan untuk vaksinasi massal pada Oktober mendatang. Putin mengatakan vaksin itu aman, dan putrinya sendiri menjadi salah satu sukarelawan uji klinis.
Vaksin ini diberi nama Sputnik V, meneruskan nama Sputnik I, satelit Rusia yang pada 1957 jadi wahana luar angkasa pertama di dunia, mengalahkan AS. Rusia mengklaim sudah ada 20 negara yang memesan lebih dari 1 miliar vaksin Sputnik V.
Rusia juga menawarkan vaksin ini ke AS, tetapi ditolak. Namun, ada beberapa ahli imunologi yang mengkritik, Rusia terlalu tergesa untuk menggunakan vaksin itu secara massal dan dikhawatirkan tidak cukup aman dan efektif.
Yang terbaru, bersamaan dengan peringatan Proklamasi RI 17 Agustus, China mematenkan vaksin adenovirus rekombinan yang diberi nama Ad5-nCov. Inilah vaksin hasil pengembangan perusahaan CanSino bersama tim militer China.
Sebelumnya, Wuhan Institute of Biological Product mengembangkan calon vaksin dari inactivated SARS CoV-2, dan dikabarkan menjadi andalan WHO.
Pengembang vaksin lain yang juga dari China, Sinovac, juga sudah melangkah jauh. Sebanyak 2.400 dosis calon vaksin buatan Sinovac sudah masuk ke Indonesia. BUMN Bio Farma dan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran menggelar uji klinis pada 1.620 sukarelawan dan ditinjau Presiden Jokowi (11/8/2020).
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sebagai pemberi izin dan pengontrol uji klinis memprediksi, Februari 2021 vaksin ini sudah siap edar. Alasan memilih Sinovac sebagai mitra karena platform dan metode pembuatan vaksinnya sama dengan kompetensi yang dimiliki Bio Farma. Metodenya adalah inaktivasi, yaitu menggunakan virus yang tak aktif atau dilemahkan.
Namun, kerja sama ini menuai pro-kontra dari warganet dan ramai di media sosial. Komentar warganet, antara lain, mengapa rakyat kita dijadikan kelinci percobaan untuk vaksin buatan China yang proses produksinya tampak terburu-buru. Mengapa tidak menunggu vaksin buatan dalam negeri sendiri saja. Mengapa bangsa ini hanya menyiapkan diri jadi pasar vaksin karya asing. Dan kritik-kritik serupa yang lain.
Dalam era post truth, ketika media sosial sangat berpengaruh mengubah arah opini publik, sangat dominan kritik pada vaksin buatan asing itu bukanlah berasal dari hasil analisis ahli, tetapi lebih banyak berupa sentimen negatif dan komentar asal menolak atau asal mendukung.
Harap diingat, vaksin adalah produk medis dengan basis riset yang mendalam dan presisi. Pro kontra tanpa pemahaman yang cukup akan membuat warga malah semakin bingung. Diperlukan pemahaman dari sisi akademis sehingga masyarakat tidak sekadar terjebak pada pro kontra.
Kerumitan riset vaksin
Vaksin adalah bahan antigen yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan tubuh terhadap penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus. Maka, vaksin adalah senjata penangkal untuk menghadapi infeksi virus. Berdasarkan pengalaman empiris, riset vaksin membutuhkan waktu yang sangat lama, tidak bisa dibuat dadakan.
Kita tengok riwayat pembuatan vaksin yang sudah sukses. Riset untuk menemukan vaksin varicella (cacar air) dan FluMist (vaksin flu yang disemprotkan ke hidung) sama-sama perlu waktu 28 tahun. Vaksin papillomavirus (menyerang kulit, antara lain menyebabkan kutil) dan rotavirus (penyebab diare bayi dan balita) perlu 15 tahun. Vaksin pediatric combination (kombinasi vaksin untuk anak-anak) perlu 11 tahun.
Rata-rata pembuatan vaksin perlu waktu di atas 10 tahun untuk riset. Banyak sekali variabel yang harus diteliti dengan cermat, tapi yang utama adalah keamanan dan efektivitas. Ampuh untuk menghasilkan kekebalan pada penyakit tertentu dan tak berbahaya bagi pengguna, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Bisa saja ada vaksin yang ampuh menangkal infeksi virus X dan penggunanya tampak aman saja. Tapi, setelah beberapa tahun kemudian ternyata baru muncul efek membahayakan, seperti salah satunya kondisi ADE (antibody dependent enhancement), sebagaimana yang dulu pernah terjadi dalam konteks infeksi virus dengue, zika, dan lain-lain justru bukan protektif, tetapi kondisi sebaliknya memperburuk infeksi. Ini namanya efektif, tapi tidak aman.
Efektivitas atau keampuhan virus bisa tampak segera, tetapi dalam hal keamanannya bisa jadi harus dibuktikan dalam jangka waktu lama. Calon vaksin memerlukan uji coba dalam waktu yang lama untuk membuktikan keamanannya.
Tahapan uji coba ini tak fleksibel, sangat terstandardisasi, diatur sangat ketat untuk tujuan keamanan dan kemanjuran maksimum. Itulah gambaran singkat bahwa proses riset vaksin perlu waktu lama, tak bisa dadakan.
Sampai 10 Agustus 2020, ada 165 calon vaksin sedang diriset dan 30 calon vaksin sedang diuji pada manusia. Rinciannya antara lain 135 calon vaksin dalam fase praklinis, 19 calon vaksin diuji klinis tahap I, 11 calon vaksin diuji klinis tahap II, 8 calon vaksin uji klinis tahap III, dan 1 calon vaksin sudah sampai tahap persetujuan dan digunakan secara terbatas (CanSino Biologics, Beijing).
Secara normal, calon vaksin harus melewati tiga tahap utama: praklinis, uji klinis (tahap I, II, dan III), dan tahapan persetujuan atau sertifikasi.
Pertama, tahap praklinis: calon vaksin diberikan pada hewan, misalnya tikus atau monyet. Tujuannya untuk melihat, apakah muncul respons imun.
Tahap praklinis berlangsung antara 1,5 dan 2,5 tahun dan prosesnya sangat selektif. Tak lebih dari 20 persen calon vaksin yang diuji dapat lolos menuju tes pada manusia. Yang lain gagal karena produk tidak berfungsi atau tidak mendapatkan dukungan pembiayaan.
Pada tahap praklinis dilakukan pengujian pada sel manusia secara in vitro (di lab) dan pada hewan hidup (in vivo). Jika muncul efek anti-infeksi pada pengujian in vitro dan sel yang mati tak berlebihan, maka dilanjutkan ke uji hewan hidup.
Tikus jadi favorit untuk uji in vivo karena memiliki 85 persen kemiripan genetis dengan manusia, harganya relatif murah, dan tak memunculkan masalah etika. Tapi ada problem. Manusia memiliki reseptor ACE2, yang mengikat virus korona sehingga menempel lekat di saluran pernapasan, menyebabkan gangguan pernapasan hebat hingga gagal bernapas.
Sementara tikus tak memiliki reseptor ACE2 sehingga virusnya bisa hilang dengan cepat. Nah, di sini tikus perlu dimodifikasi secara genetis agar memiliki reseptor ACE2 seperti manusia.
Kedua, tahap uji klinis: calon vaksin diberikan pada manusia sukarelawan, dengan tiga tahap. Fase I, calon vaksin diberikan pada sejumlah kecil manusia untuk menguji keamanan dan dosis tepat untuk membentuk kekebalan. Fase II, calon vaksin diberikan pada ratusan manusia, yang dibagi menjadi beberapa kelompok dengan karakteristik berbeda, untuk melihat apakah terdapat perbedaan dampak akibat vaksin.
Fase III, vaksin diberikan pada ribuan orang. Tujuannya untuk melihat seberapa banyak individu yang terinfeksi virus dan dibandingkan dengan individu yang tak diberi vaksin atau placebo (disuntik, tapi sebenarnya kosong tanpa muatan vaksin).
Juni lalu, Badan Pengawas Obat dan makanan Amerika Serikat (FDA) menyatakan, vaksin SARS-CoV-2 disyaratkan sedikitnya bisa memproteksi 50 persen dari orang yang divaksin. FDA adalah semacam ”BPOM” AS yang sangat berkuasa menyalakan lampu merah atau hijau untuk makanan dan obat sebelum diedarkan.
Soal efektivitas, vaksin-vaksin yang sudah ada lebih tinggi daripada 50 persen. Efektivitas vaksin varicella bisa 80-90 persen. Vaksin FluMist sekitar 70 persen. Meningitis 60-70 persen. Papillomavirus sekitar 70 persen. Rotavirus sekitar 75 persen. Vaksin pediatric combination malah bisa di atas 90 persen.
Ketiga, tahap persetujuan. Pada tahap ini tiap negara melakukan tinjauan pada calon vaksin dan memutuskan apakah calon vaksin itu dapat disetujui atau tidak. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah resmi menjadi vaksin yang boleh beredar dan harus dipantau untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.
Dengan panjangnya tahapan itu, dalam kondisi normal, jika riset awal vaksin Covid-19 dimulai akhir 2019 sesaat setelah Pemerintah China pertama kali mengumumkan kasus positif, maka baru pada akhir 2032 vaksin bisa diproduksi massal (kalau risetnya butuh 13 tahun). Yang disebut kondisi normal adalah satu fase baru bisa dimulai jika fase sebelumnya sudah selesai, atau berurutan.
Namun, serangan Covid-19 ini telah meluluhlantakkan tatanan dunia dalam waktu sangat cepat. Ekonomi dunia hancur, jutaan orang terinfeksi, ratusan ribu meninggal, dan sampai kini belum mereda. Jika mengikuti prosedur riset normal yang memerlukan waktu sampai sekitar 13 tahun, tentu akan jatuh korban dalam jumlah yang luar biasa banyaknya.
Meringkas tahapan vaksin
Situasi serba darurat inilah yang mendorong sejumlah negara untuk lomba ngebut menghasilkan vaksin Covid-19, dengan memangkas waktu semaksimal mungkin. Targetnya, riset vaksin bisa selesai dalam waktu 18 bulan. Normalnya 13 tahun, dikebut dalam waktu 18 bulan, bagaikan mission impossible.
Upaya meringkas tahapan pembuatan vaksin ini butuh kolaborasi besar yang melibatkan para ahli yang bekerja di lembaga riset, pihak pelaksana uji klinis, produsen farmasi, dan otoritas pemberi sertifikasi. Perlu strategi khusus untuk mempercepat proses produksi vaksin.
Pertama, mempercepat riset akademik. Riset tak dimulai dari nol. Bekal utamanya adalah pengalaman saat meriset virus keluarga korona terdahulu, yaitu SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome, 2002) dan MERS (Middle East Respiratory Syndrome, 2012). Dengan cara ini, riset bisa dipangkas waktunya 1-2 tahun.
Cara ini terus dilanjutkan langsung dengan uji klinis sepenuhnya, tanpa terlalu lama mempelajari Covid-19 dulu, tetapi cukup berbekal dengan temuan dan pengetahuan yang sudah ada. Proses ini bisa memangkas waktu 1,5 tahun.
Kedua, mempercepat tahapan uji klinis. Caranya, dengan memulai satu tahapan meskipun tahapan sebelumnya belum selesai. Cara ini akan memangkas waktu tiga tahun. Kemudian fase-fase uji klinis digabungkan dan memulai fase ketiga lebih awal (memangkas 1-2 tahun). Sesi akhir tahapan uji klinis ini ditutup dengan memberikan vaksin kepada para petugas medis dan garda depan penanganan pandemi (memangkas waktu satu tahun).
Ketiga, mempercepat tahapan produksi. Caranya, dengan membangun pabrik atau menyiapkan fasilitas produksi lebih awal, sebelum uji klinis selesai (memangkas waktu tiga tahun). Kemudian menggunakan teknologi terbaru yang berbasis pada mRNA (memangkas waktu 1,5 tahun). Terakhir, mempercepat proses perizinan dari normal satu tahun menjadi enam bulan (mempercepat 0,5 tahun).
Pada situasi normal butuh waktu 13 tahun. Namun, dengan strategi mempercepat di tiap tahapan ini, bisa dipangkas 12 tahun jadi hanya satu tahun! Jika berhasil, ini kerja yang luar biasa. Maka diperkirakan paling cepat Februari 2021 vaksin Covid-19 sudah bisa diproduksi.
Para ilmuwan telah meriset vaksin virus korona selama wabah SARS (2002) dan MERS (2012), tetapi mayoritas tak terwujud karena berbagai hal. Pandemi Covid-19 sekarang ini sangat ganas, jauh lebih mematikan, dan penyebarannya jauh lebih luas dibandingkan SARS dan MERS.
Beberapa peneliti memperkirakan pandemi Covid-19 lama-lama bisa jadi penyakit endemik dan penyakit musiman seperti halnya flu. Ini menjelaskan mengapa banyak ahli dan perusahaan farmasi mengembangkan vaksin yang efektif melawan SARS- CoV-2, termasuk dengan mempercepat semua fase yang lazimnya dilewati karena dihadapkan pada situasi darurat.
Semoga kita semua lebih bijak dalam menyikapi datangnya vaksin. Baik bikinan sendiri maupun yang impor. Ikhtiar umat manusia itu dimaksudkan agar kita segera mendapatkan penangkal dari ancaman infeksi ganas korona. Karena hak hidup setiap orang adalah penting (everyone lives matter).
Djoko Santoso, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2020