Pembatasan sosial akibat pandemi penyakit infeksi virus korona 19 memunculkan berbagai macam kosakata baru. Beberapa kosakata yang sering dijumpai adalah webinar dan zoominar.
Salah satu kegiatan yang menjamur di masa pandemi piviko-19 (penyakit infeksi virus korona 19) adalah alih wahana pertemuan dari yang bersifat di luar jaringan menjadi di dalam jaringan. Bentuk dan macamnya beraneka: mulai rapat sampai pengajian, dari yang formal sampai yang kasual. Sebagaimana watak bahasa yang selalu berkembang, kita menemukan—kalau ini disebut sebagai sebuah perkembangan—kosakata baru yang dengan lekas sangat populer dan hilir mudik begitu saja di telinga kita. Di antara kosakata itu, kita mengenal ”webinar”.
Tentu saja Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paling kiwari belum mencatat makna kata webinar ini. Merriam Webster Dictionary mengartikan kata ini dengan a live online educational presentation during which participating viewers can submit questions and comments. Takrif ini mengandung tiga kata kunci: presentasi, pendidikan, dan tanya jawab. Artinya, bagi definisi ini, ”webinar” adalah sebuah kegiatan pendidikan yang menitikberatkan pada adanya presentasi langsung dan interaksi dua arah antara pembicara dan audiens.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oxford Learners Dictionary memberikan takrif yang lebih luas dan umum terhadap kata ini: a presentation or seminar, a meeting for discussion or training that is conducted over the internet. Yakni, segala bentuk pertemuan untuk mendiskusikan sebuah topik yang diselenggarakan melalui media internet menurut takrif ini disebut dengan ”webinar”.
Di Indonesia, kita naga-naganya mencomot kata ”webinar” dengan takrif kedua yang bersifat lebih longgar di atas. Segala bentuk perhelatan dan pertemuan yang tujuannya adalah untuk mendiskusikan suatu topik dan diselenggarakan dengan menggunakan media yang berbasis internet kita menyebutnya sebagai ”webinar”.
Tanyaannya, dari mana muasal kata ”webinar” ini? Apakah ia ada sangkut pautnya dengan kata ”seminar”? Belum ada sumber yang pasti. Namun, yang jelas, lema ”seminar” menurut beberapa sumber berasal dari bahasa Latin, seminarum yang memiliki arti tanah tempat menanam benih. Ada juga yang mengatakan bahwa seminarum memiliki arti pembibitan.
Sebuah pendapat mengatakan bahwa sangat mungkin kata ”webinar” merupakan ”epigon” kata ”seminar”. Logika yang dibangun oleh pendapat ini adalah bahwa alih wahana dari media luring menjadi media daring dengan esensi dan tujuan pertemuan yang sama (sama-sama untuk berdiskusi) menjadi indikasi dan dalil yang kuat untuk menyatakan bahwa ”webinar” dan ”seminar” itu ”epigon”.
Lepas dari sahih atau tidaknya, pada kenyataannya neologisme semacam ini menjadi sebuah keniscayaan bagi perkembangan sebuah bahasa. Ditambah lagi fakta adanya globalisasi dan imperialisasi bahasa yang tidak bisa kita tampik keberadaannya. Hal ini bisa kita lihat pada kasus pemakaian nama-nama umum yang dalam bahasa asalnya merupakan sebuah merek produk teknologi, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, dan Zoom.
Untuk kata yang disebutkan belakangan disebut, malah kita hari ini mengenal kosakata baru: ”zoominar”. Kata ini digunakan untuk melabeli aktivitas pertemuan dan diskusi yang dilaksanakan dengan menggunakan sebuah produk aplikasi bermerek Zoom. Tentu saja jika dilihat dari bentuknya, kata ini masih memiliki pertalian kekerabatan yang erat dengan ”seminar” dan ”webinar”.
Bukan hanya di Indonesia, Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) juga menggunakan kata ini. Dalam sebuah forum yang dihelat pada 18 Juni lalu, FAO memberi label forumnya dengan Zoominar VI I on The Role of Private Sector In the Use of Innovation and Technology to Support Smallholders Face Covid-19 Disruptive Impact.
Bahasa memang berkembang sedemikian laju. Bahkan, di sebuah zoominar yang saya ikuti, seorang pembicara dengan nada berkelakar menyapa para audiens dengan sapaan ”zoomirin” dan ”zoomirat”. Kedua kata ini tentu saja oleh sang pembicara dipadankan dengan ”hadirin” dan ”hadirat”. Zoomirin untuk menyapa peserta zoominar yang berjenis kelamin laki-laki, sementara zoomirat untuk menyapa audiens perempuan.
Kendatipun kelakar, upaya reka bahasa semacam ini patut mendapat perhatian lebih. Bisa jadi ini dipandang sebagai sebuah kreativitas atau sebaliknya sebagaimana dikatakan Salomo Simanungkalit (”Normal Baru”, Kompas, 31/5/2020), fenomena ini membuktikan bahwa kita megap diserbu istilah kuminggris. Pada posisi seperti ini, bolehlah kita meminjam kalimat Sophia Latjuba, ”biarlah waktu yang akan menjawab”.
Oleh Fariz Alnizar, Pengajar Linguistik di Unusia
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 18 Agustus 2020