Tantangan Kelola Riset dan Inovasi

- Editor

Jumat, 7 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Inovasi selalu multipihak dan bertahapan jamak. Ia tak pernah akan bisa dipaksa, tetapi prosesnya bisa ditata. Tugas negara menyelaraskan riset dan inovasi dengan tujuan pembangunan bangsa.

Pandemi membuka mata, riset dan inovasi harus dikelola lebih baik jika negeri ini mau tetap jaya, maju, dan tegak berdiri.

Saat tim Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, yang bekerja sama dengan PT Bio Farma dan Balitbang Kementerian Kesehatan, dalam melakukan uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac ke Istana Negara dan diminta Presiden Jokowi agar siap dalam tiga bulan, tim menjawab tegas: tidak bisa (Kompas, 22/7/2020).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebelumnya, saat PT LEN Industri mulai memproduksi emergency ventilator untuk pasien Covid-19 menggunakan komponen lokal dan desain dari BPPT dan ITB, pemerintah sudah telanjur impor ratusan unit (Kompas, 19/4/2020).

Permintaan Presiden, atau kebijakan impor ventilator, tentu tak sepenuhnya salah. Apalagi karena terkait nyawa, dan akhirnya nanti juga ekonomi kita.

Namun, di belakang ini semua, ini perkara tata kelola riset dan inovasi yang tak kunjung ketemu perbaikannya. Inovasi bisa diupayakan, tetapi tak pernah bisa dipaksakan. Apalagi dijadwalkan.

Jadi, jika ada yang menargetkan kapan harus selesai inovasi, pasti ngawur, latah, atau memang tak tahu apa itu inovasi, atau hanya asal bapak senang, karena menata kelola inovasi dan menciptakan iklim kondusif agar inovasi terjadi tidak sama dengan menargetkan inovasi.

Mendorong inovasi
Lahirnya UU No 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas Iptek) dan munculnya struktur Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang disatukan dengan Kementerian Riset dan Teknologi sebenarnya harapan baru. Ini memberikan bukan hanya landasan regulasi, melainkan juga kelembagaan tata kelola riset dan inovasi.

Harapan ini mesti diwujudkan. Bagaimana caranya? Setidaknya ada dua. Pertama, keberpihakan pada riset dan inovasi. Masalah terbesar selama ini, riset dan inovasi tak pernah jadi prioritas.

Karpet merah digelar hanya untuk investasi karena ia dianggap kunci mengejar kemajuan ekonomi. Padahal, riset dan inovasi juga penting sebagai kunci kemajuan masa depan. Itu kenapa kebijakan yang kedengaran ”biasa”, seperti impor, misalnya, mesti dilihat lagi.

Kebijakan riset dan inovasi yang belum sinkron dengan kebijakan sektor lain harus dievaluasi dalam ”terang” UU No 11/2019 ini. Bagaimana kebijakan riset dan inovasi dikembangkan? Bagaimana jenjang karier dan kemampuan peneliti ditingkatkan? Bagaimana pembiayaan riset diusahakan? Bagaimana swasta dilibatkan?

Di sini, norma triple helix— bahkan n-helix—berguna untuk memastikan sinergi pemerintah, institusi riset, dunia usaha, dan pemangku kepentingan lain. Ini kunci karena inovasi butuh keselarasan antarsemua sektor, bukan hanya pemerintah. Industri, pendidikan tinggi, masyarakat sipil, dan juga komunitas berperan dalam inovasi pengetahuan, produk, ataupun jasa; baik untuk kepentingan swasta, pemerintah, maupun masyarakat luas.

Kedua, memastikan berjalannya ekosistem pengetahuan dan inovasi. Indonesia Unggul 2045 adalah Indonesia yang ekonominya berbasis pengetahuan. Bukan karena dagang komoditas atau mengandalkan relokasi industri alas kaki lagi.

Namun, tak mungkin kita punya ekonomi berbasis pengetahuan kalau negeri ini tak punya ekosistem pengetahuan dan inovasi yang berjalan baik. Ia jadi prasyarat bagi Indonesia maju.

Komersialisasi dan hilirisasi hasil riset yang didorong untuk mendongkrak daya saing bangsa hanya bisa diwujudkan jika ekosistem inovasi berfungsi optimal: insentif disiapkan untuk memperkuat riset dasar; riset terapan didorong hingga terjadi invensi; fasilitas disediakan untuk menjembatani ”jurang kematian” (valley of death) dari invensi ke inovasi.

Tanpa ekosistem ini, tak ada orkestrasi mendorong kemajuan bangsa lewat riset dan inovasi. Yang ada hanya upaya serabutan (arbitrary) tanpa rencana, apalagi strategi. Akibatnya, riset tak menjawab kebutuhan; kebutuhan dipenuhi lewat kebiasaan impor dan beli, yang kedap evaluasi. Akhirnya, inovasi sekarat, lalu mati.

Sementara itu, ekosistem pengetahuan dibangun agar pengetahuan diintegrasikan secara sadar, sengaja, dan terencana (deliberate) dalam kehidupan lewat kebijakan publik. Bukan hanya soal digunakannya bukti (evidence) dalam pembuatan kebijakan, melainkan agar dampak tak-termaksud (unintended consequence) yang pasti ada dalam setiap kebijakan pembangunan sungguh dipertimbangkan.

Terdampaknya komunitas lokal, rusaknya lingkungan, tergerusnya tradisi dan budaya karena kebijakan pembangunan, misalnya, tidak hanya harus dipikirkan, tapi juga direncanakan antisipasi dan mitigasinya.

Kehadiran negara
Dua hal kunci itu, keberpihakan dan penyiapan ekosistem, jadi fokus hadirnya negara di sektor riset dan inovasi lewat Kemenristek/BRIN di periode kedua Presiden Jokowi ini.

Peran negara lewat BRIN adalah memastikan perbaikan tata kelola kelembagaan riset negara agar lebih mandiri, terfokus, kolaboratif, dengan kinerja riset dan inovasi yang lebih terintegrasi dan terukur dampaknya. Juga diperlukan reformasi birokrasi di semua lembaga riset pemerintah agar proses kerja menjadi lebih sederhana dan peneliti tak ditakuti oleh perizinan ataupun pelaporan keuangan yang terlampau rumit.

BRIN juga mesti memastikan fasilitas riset ditingkatkan jumlahnya, tersebar merata, dan bisa diakses secara terbuka. Integrasi inovasi akan jauh lebih mudah jika proses riset tak ”berat sebelah” hanya pada ilmu teknik (saintek), melainkan juga ilmu sosial-humaniora.

Karena itu, proses bisnis riset harus transparan. Dalam semangat membangun negeri menuju ekonomi berbasis pengetahuan, negara harus membangun dan memastikan berfungsinya ekosistem pengetahuan dan inovasi.

Ada setidaknya lima aspek yang harus dikembangkan. Pertama, kerangka regulasi yang tepat. UU No 11/2019 harus segera disiapkan regulasi turunannya untuk memastikan integrasi ekosistem riset dan inovasi. Kedua, skema insentif atau pendanaan yang menunjang integrasi ilmu dibutuhkan.

Selain skema LPDP dan DIPI yang sudah ada, perlu dipikirkan skema insentif lain agar semua aktor dapat bergerak secara mandiri dan berkesinambungan. Ketiga, kelembagaan institusi pendukung untuk riset dan inovasi dirancang secara cermat agar tak terjadi tumpang tindih dalam membagi peran antar-aktor.

Keempat, mekanisme tata kelola dan akuntabilitas untuk memastikan riset dan inovasi tidak terkekang aturan yang menghambat gerak penelitian. Terakhir, pengembangan SDM yang tak bias latar belakang keilmuan untuk membangun inovasi inklusif yang tidak mengandalkan satu atau dua disiplin ilmu saja.

Inovasi tak pernah linier. Ia selalu multipihak dan bertahapan jamak. Ia tak pernah akan bisa dipaksa, tetapi prosesnya bisa ditata. Tugas negara menyelaraskan riset dan inovasi dengan tujuan pembangunan bangsa.

(Yanuar Nugroho Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance (CIPG); Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (AIMI))

Sumber: Kompas, 7 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB