Pemerintah diminta untuk membuka kajian lingkungan dan sosial terkait proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Pengalaman-pengalaman masa lalu menunjukkan proyek serupa mangkrak.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO—Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu rencananya bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan.
Pemerintah perlu mematangkan dan menyampaikan ke publik terkait kajian proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Ini untuk menjawab keraguan dan kekhawatiran sejumlah pihak bahwa proyek ini berada di lahan gambut yang akan mengulang proyek-proyek serupa di masa lalu yang menimbulkan permasalahan hingga kini, terutama kebakaran hutan dan lahan serta pelepasan emisi yang sangat besar dari kerusakan gambut serta masalah sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keterbukaan akan pelaksanaan proyek yang disebut food estate atau lumbung pangan ini pun dibutuhkan untuk mencegah berbagai risiko permasalahan sosial. Status kepemilikan dan pengelolaan lokasi lumbung pangan yang direncanakan seluas 165.000 ha di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas akan menjadi proyek strategies nasional.
Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information And Action Network (FIAN) Indonesia Laksmi Savitri menyayangkan kajian proyek ini dinilai kurang transparan, belum banyak dibuka ke publik, dan kurang melibatkan masyarakat sipil. “Pemerintah tidak pernah merespons keluhan masyarakat maupun para ahli bahwa yang dilakukan ini mengulang kegagalan proyek sebelumnya,” kata dia Jumat. (10/7/2020).
Kegagalan masa lalu yang disebutnya itu berdasarkan studinya akan proyek lumbung pangan Ketapang dan Merauke. Meski kedua proyek sebelumnya ini relatif memiliki dasar hukum kuat melalui peraturan daerah, pelaksanaannya tidak sukses.
Lantaran juga tidak direncanakan dengan matang dan partisipatif, keduanya berhenti di jalan. Bahkan, berdasarkan kajian FIAN, hanya ratusan hektar lahan saja di lokasi lumbung pangan tersebut yang ditanami padi sedangkan puluhan ribu hektar lahan lainnya mangkrak dan tidak terurus.
“Proyek cetak sawah di Kalbar tidak memberikan hasil maksimal karena kandungan pirit di lahan yang dibuka itu naik. Dari puluhan ribu hektar yang dibuka hanya sedikit yang bisa ditanam dan dalam jangka waktu tiga tahun belum mencapai angka produktivitas yang diharapkan,” katanya.
SEKRETARIAT PRESIDEN—Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menuju lokasi lumbung pangan baru di Kabupaten Kapuas dan Pulau Pisang, Kalimantan Tengah dengan menggunakan Helikopter Super Puma TNI AU, Kamis (9/7/2020).
Apalagi proyek lumbung pangan di Kalteng terbaru ini, yang menurut Laksmi tidak jelas dasar aturannya. Juga dari sisi perencanaan minim partisipatif dan keterbukaan pada publik.
“Proyek cetak sawah di Kalbar tidak memberikan hasil maksimal karena kandungan pirit di lahan yang dibuka itu naik. Dari puluhan ribu hektar yang dibuka hanya sedikit yang bisa ditanam dan dalam jangka waktu tiga tahun belum mencapai angka produktivitas yang diharapkan,” katanya.
Selain itu, Laksmi mengungkapkan, proyek lumbung pangan sebelumnya juga banyak mengalami protes dari petani setempat karena sewa dan bagi hasil tidak berjalan optimal. Tanah-tanah yang dijadikan lumbung pangan sudah beralih tangan ke pejabat setempat sehingga yang mendapat bagi hasil bukan petani.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono pun mengatakan tak ada kejelasan konsep pengolahan program lumbung pangan. Menurutnya, hingga kini detil peta lokasi sebenarnya belum pernah dibuka ke publik.
“Program untuk kedaulatan pangan ini tidak pernah membicarakan kedaulatan petani atas lahannya karena niat pemerintah untuk mendatangkan investor,” jelas Novian.
Secara umum lokasi lumbung pangan terbaru di Kalteng berada di lahan bekas Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG). Sebagian besar areal yang digarap sejak tahun 1995-1998 ini kini mangkrak dan menjadi langganan sumber kabut asap saat kebakaran hutan dan lahan.
“Sepanjang hidup saya tinggal disini dan setiap tahun saya masih menyaksikan warisan beracun dari kegagalan PLG,” ungkap Arie Rompas, Ketua Tim Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang juga satu dari tujuh penggugat yang memenangkan gugatan warga (citizen lawsuit) atas Presiden Joko Widodo terkait kebakaran tahun 2015.
Tanah mineral
Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Azwar Maas menyatakan lahan yang digunakan untuk food estate berjenis tanah mineral. Informasi ini diketahuinya dari tinjauan langsung ke lokasi proyek lumbung pangan di Kalteng beberapa waktu lalu dengan pemerintah.
“Masyarakat di sana sudah tahu tanah itu bukan gambut tetapi mineral dan ada petanya. Jadi tidak ada bukaan lahan baru. Mungkin status kepemilikannya itu yang sekarang berbeda,” ujarnya.
Tanah mineral berasal dari sedimen hasil erosi yang dibawa oleh sungai. Di lokasi proyek lumbung pangan, tanaman di lahan tersebut tampak kecoklatan dan kering. Ini menunjukkan tanah tersebut merupakan rawa mineral mengandung potensi racun yang disebut dengan bahan sulfidik atau pirit.
Namun, tanah tersebut sudah lama direklamasi sehingga sebagian pirit telah hilang. Tanah yang masih memiliki banyak pirit berada di radius lima kilometer dari sungai. Guna menghilangkan unsur pirit ini, perlu memperbaiki tata air dan melakukan ameliorasi atau penyuburan tanah.
“Kedua upaya ini harus sejalan karena lahan yang berada di radius 10 kilometer dari sungai itu airnya tidak keluar sehingga unsur racunnya juga tidak bisa ikut keluar. Itulah sebabnya sekarang ada rehabilitasi tata saluran yang memungkinkan pencucian racun dalam air,” katanya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo melalui siaran persnya juga menegaskan bahwa proyek lumbung pangan tidak membuka lahan baru, melainkan memanfaatkan dan mengoptimalkan lahan PLG. Lahan tersebut meliputi rawa pasang surut dan lebak yang mengandung dominan tanah mineral dibanding gambut.
“Ini dikerjakan bertahap. Setelah irigasi tersedia, kami akan melakukan pembudidayaan untuk mempersiapkan prasarana, petaninya, bibit-benih, pupuk, dan obat-obatan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Pelibatan TNI
Kemarin, Kamis (9/7/2020), Presiden Joko Widodo mengunjungi Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas dan Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah untuk melihat persiapan lokasi lumbung pangan nasional. Presiden didampingi Menteri Petahanan Prabowo Subianto, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, dan kepala daerah terkait.
Presiden menyatakan program lumbung pangan tersebut sudah dua minggu berjalan terutama untuk urusan irigasi. Tahun ini akan dilakukan pengerjaan di 30.160 hektar. Dalam dua tahun ke depan, pemerintah akan mengembangkan lagi sedikitnya 148.000 hektar. (Kompas, 10/7/2020)
Selain itu, Presiden juga menyebut program lumbung pangan ini akan dikelola sebuah badan khusus dibawah koordinasi Kementerian Pertahanan karena menyangkut cadangan logistik nasional. Badan khusus tersebut akan menetapkan pola pengerjaan hingga pembiayaan dari program lumbung pangan ini.
Terkait hal ini, Laksmi menduga dilibatkannya Kementerian Pertahanan karena jajaran TNI cukup produktif menghasilkan luasan cetak sawah dari Batalyon Zeni Konstruksi. Namun, cadangan pangan strategis itu bukan persoalan mencetak sawah tetapi menghasilkan beras.
“Hal ini membuat kemampuan TNI dalam program lumbung pangan cukup diragukan dan dipertanyakan. Dimana-mana yang bisa mencetak sawah sampai bisa menghasilkan beras itu hanya petani,” ucapnya.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 11 Juli 2020