Pemeriksaan spesimen berbasis molekuler (PCR) secara masif menjadi kunci dalam mengatasi pandemi penyakit Covid-19. Namun, pemeriksaan spesimen di Indonesia masih amat minim.
Tes berbasis molekuler (PCR) merupakan kunci mengatasi pandemi Covid-19. Namun, hingga empat bulan sejak melaporkan kasus pertama, Indonesia masih bermasalah dalam tes sehingga upaya penanganannya pun tersendat.
Seruan untuk memperbanyak dan memperluas jangkauan tes Covid-19 serta pelaporannya di Indonesia ini disampaikan Koalisi Warga untuk Keterbukaan Data Covid-19, Jumat (12/6/2020).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Irma Hidayana, salah satu pendiri Laporcovid19.org, yang turut dalam koalisi, mengatakan, tanpa tes yang memadai, kita tidak akan mengetahui pola dan skala sebaran penyakit tersebut di masyarakat. Kurangnya tes juga membuat kita tidak mengetahui tingkat kedaruratan wabah yang sebenarnya.
”Oleh karena itu, jumlah orang yang dites dan seberapa banyak kasus positif yang ditemukan seharusnya menjadi rujukan penting untuk mengetahui situasi krisis Covid-19 yang sedang kita hadapi, bagaimana menanggulanginya, dan apa yang masyarakat harus lakukan,” sebutnya.
Berdasarkan data Our World in Data, hingga saat ini, jumlah tes Covid-19 di Indonesia merupakan salah satu yang terendah di dunia. Jumlah tes di Indonesia per 1.000 orang masih lebih rendah dari negara-negara berkembang lain, seperti Filipina, Thailand, Malaysia, India, dan Bangladesh.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar jumlah tes diperbanyak dari sebelumnya 10.000 sampel yang dites per hari menjadi 20.000 tes per hari (Kompas, Kamis, 11/6/2020). Sementara WHO merekomendasikan pelonggaran pembatasan sosial harus memenuhi syarat jumlah tes PCR setidaknya 1 orang per 1.000 penduduk setiap minggu.
”Merujuk pada anjuran ini, seharusnya Indonesia melakukan tes minimal 40.000 orang per hari. Bahkan dengan besarnya populasi dan luasnya penyebaran virus saat ini, Indonesia seharusnya sudah periksa 100.000 per hari,” kata Elina Ciptadi, pendiri Kawalcovid19.id, anggota Koalisi.
Selain jumlah tes yang terbatas, Koalisi juga menyoroti pengumuman hasil tes yang terlambat dan dianggap tak transparan. Penambahan kasus baru yang diumumkan Pemerintah Pusat tiap harinya dinilai tidak mencerminkan kondisi pada hari itu atau bahkan hari sebelumnya.
”Publik tidak pernah tahu kapan penambahan kasus itu sebenarnya terjadi. Keterlambatan pemeriksaan laboratorium serta keterlambatan diumumkan ini bertentangan dengan prinsip statistik kesehatan publik sehingga menyulitkan dilakukannya analisis epidemiologi yang akurat,” kata Irma.
Koalisi Warga untuk Keterbukaan Data Covid-19 juga mengkritik dihilangkannya data jumlah tes PCR per orang dari laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diumumkan pada Kamis, 11 Juni 2020, sore. Selanjutnya, data yang disebutkan hanya jumlah spesimen yang diambil.
—-Laporan jumlah tes di Gugus Tugas pada Kamis (12/6/2020) tidak dilengkapi jumlah orang yang diperiksa. Padahal, data ini penting untuk mengetahui jangkauan tes yang dilakukan.
Hal ini dinilai sebagai kemunduran di tengah tuntutan publik terhadap akurasi dan transparansi data. ”Data tes PCR per orang sangat krusial karena tanpa mencantumkan data ini sulit bagi kita untuk menilai apakah suatu daerah sudah aman atau masih terdampak Covid-19. Jangan sampai kita terjebak pada narasi dan praktik ’tidak ada tes, tidak ada kasus’,” sebut Irma.
Berdasarkan penelusuran Kompas, data mengenai jumlah orang yang dites tersebut kemudian ditampilkan di laman Kementerian Kesehatan pada Kamis (11/6/2020) malam, tanpa pemberitahuan penyebabnya.
Kawalcovid.id yang mempertanyakan hal itu kepada Direktur Penanggulangan Strategi Penanganan Bencana BNPB Agus Wibowo dijawab bahwa data jumlah orang dites hari ini (Kamis, 11/6/2020) belum tersedia karena Kemenkes RI yang memiliki datanya tidak mengumumkannya.
Konfirmasi yang dilakukan Kompas kepada Agus Wibowo juga mendapatkan jawaban serupa. Data tersebut dimiliki Kementerian Kesehatan.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, data pemeriksaan spesimen tidak ditampilkan karena ada gangguan pada sistem pendataan. Kepala Subdirektorat Penyakit Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan Endang Budi Hastuti mengatakan, perbaikan data masih dilakukan sehingga laporan terkait jumlah orang yang diperiksa terkait Covid-19 belum bisa disebutkan. Hal ini terjadi karena sistem pelaporan mengalami masalah.
”Proses verifikasi masih terus dilakukan. Data di website juga akan dinolkan dulu saat ini karena tadi mengalami gangguan,” ujarnya ketika dihubungi, di Jakarta, Kamis (11/6/2020). Pada pukul 22.00, data telah diperbarui. Adapun jumlah penambahan kasus yang diperiksa per 11 Juni 2020 sebanyak 7.193 kasus dari hari sebelumnya.
Membuka data
Dengan kondisi ini, koalisi menuntut pemerintah terus membuka data jumlah orang yang diperiksa spesimennya per hari. Mereka juga meminta agar data jumlah orang yang dites per hari ditampilkan di tiap provinsi dan kabupaten/kota untuk mengetahui kecukupan fasilitas kesehatan dan upaya identifikasi kasus di daerah masing-masing. Data yang ditampilkan itu harus dilengkapi dengan informasi kapan penambahan kasus itu terjadi.
Sesuai prinsip data terbuka, data Covid-19 yang dikumpulkan dengan menggunakan dana publik harusnya terbuka untuk publik demi kepentingan seluruh warga. ”Kami mengingatkan pemerintah, khususnya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, bahwa informasi kesehatan publik telah diatur dalam konstitusi,” kata Irma.
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Nomor 14 Tahun 2008, menyebutkan, informasi kesehatan adalah informasi publik. Pasal 169 Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan, ”Pemerintah memberi kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat”.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 12 Juni 2020