Zoom, Privasi dan Keamanan Hanya untuk yang Membayar

- Editor

Kamis, 11 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dalam waktu dekat, Zoom akan meluncurkan sistem keamanan ”end-to-end encryption” yang melindungi privasi penggunanya. Namun, fitur ini direncanakan hanya akan diberikan kepada pengguna berbayar.

PIPPA FOWLES / 10 DOWNING STREET / AFP—Foto yang dirilis oleh staf PM Inggris pada 31 Maret 2020 ini menunjukkan sebuah telekonferensi video antara PM Inggris Boris Johnson dan kabinetnya. Zoom digunakan untuk berbagai kepentingan, dari rapat kabinet hingga silaturahmi digital di masa pandemi Covid-19.

Aplikasi telekonferensi video populer Zoom hanya akan memberikan fitur keamanan enkripsi end-to-end pada telekonferensi video yang digelarnya untuk pengguna berbayar. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan pengguna fitur gratis lebih rentan disadap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Enkripsi end-to-end atau dari-ujung-ke-ujung artinya jalur pengiriman data dari pengirim dan penerima terenkripsi; hanya pengirim dan penerima pesan yang dapat membaca pesan yang dikirimkan.

Dengan penerapan fitur ini, data yang keluar ataupun masuk tidak bisa di-snoop atau disadap ketika pesan tersebut meluncur di jaringan oleh penyedia layanan internet (internet service provider), pemerintah, ataupun penyedia aplikasi itu sendiri.

”Kami tidak memberikan fitur ini kepada pengguna gratisan karena kami juga ingin bekerja sama dengan FBI, dengan otoritas penegak hukum lainnya, apabila kelak ada pihak yang menggunakan Zoom untuk kepentingan yang negatif,” kata CEO Zoom Eric Yuan pada Kamis (4/6/2020).

KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI—CEO dan pendiri Zoom, Eric Yuan (kanan atas), berbicara dalam sesi konferensi yang rutin digelar Zoom pada Rabu (3/6/2020). Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan rencana jangka pendek Zoom pada isu keamanan, termasuk wacana penerapan enkripsi end-to-end pada pengguna berbayar.

Yuan mengatakan, pihaknya berencana untuk hanya memberikan end-to-end encryption kepada pengguna berbayar, di mana mereka bisa diketahui identitasnya.

Keputusan ini pun mendapat kecaman dari pegiat privasi. Deputi Direktur Fight For The Future Evan Greer menyebutkan, ini adalah preseden yang buruk dalam isu perlindungan privasi sebagai hak asasi manusia.

”Apabila membuat enkripsi sebagai fitur berbayar, maka (Zoom) menciptakan preseden bahwa keamanan dan privasi hanya bisa dimiliki oleh mereka yang berduit,” kata Greer kepada Wired. Fight For The Future adalah organisasi advokasi hak digital yang berbasis di Amerika Serikat.

Konsultan keamanan Zoom, Alex Stamos, memastikan bahwa Zoom tidak proaktif memonitor isi telekonferensi. Stamos juga memastikan pihaknya tidak merekam telekonferensi para pengguna secara diam-diam.

Terkait pilihan untuk tidak memberikan enkripsi end-to-end kepada pengguna gratisan, Stamos menuturkan, pihaknya menilai memang ada kecenderungan para pelanggar hukum menggunakan akun gratis.

”Apakah kebijakan ini akan mengeliminasi seluruh penyalahgunaan? Tentu tidak. Namun, karena umumnya ancaman datang dari pengguna yang menggunakan identitas palsu, maka ini akan mengurangi potensi penyalahgunaan,” ujar Stamos melalui akun Twitter-nya, @alexstamos. Stamos adalah bekas Chief Security Officer dari Yahoo (2014-2015) dan Facebook (2015-2018).

Di sisi lain, kerja sama antara perusahaan penyedia aplikasi telekomunikasi dan penegak hukum pernah terjadi di Indonesia. Pada Agustus 2017, perusahaan pesan instan Telegram memutuskan untuk bekerja sama dan menyediakan jalur khusus kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menangani konten negatif radikalisme dan terorisme.

Apabila ditemukan konten yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme, Kementerian Kominfo akan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan juga Polri.

Kerja sama ini dilakukan menyusul blokir internet yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap aplikasi tersebut pada Juli 2017. ”Kominfo sudah diberi jalur khusus soal konten negatif radikalisme dan terorisme, jadi masyarakat bisa kembali memanfaatkan Telegram,” kata Menteri Kominfo saat itu, Rudiantara.

Oleh SATRIO PANGARSO WISANGGENI

Editor: KHAERUDIN KHAERUDIN

Sumber: Kompas, 6 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 5 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB