Di tengah pandemi Covid-19, upaya pelestarian wayang tetap terus berjalan. Ruang virtual menjadi pilihan satu-satunya mulai dari pameran hingga pertunjukan.
KOMPAS/JB SURATNO—Lukisan wayang keluarga Pandawa (kanan) Punto Dewo, Werkudoro, Janoko, Nakulo, Sadewo.
Melalui layanan Google Arts and Culture, masyarakat kini bisa mengakses lebih dari 4.000 buah koleksi wayang dari Museum Wayang Nasional. Masyarakat cukup menggunakan gawai masing-masing untuk membuka layanan Google Arts and Culture.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Upaya itu adalah hasil kerja sama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Google Institute. Tujuan utamanya adalah melestarikan wayang. Tujuan lainnya, mengajak keluarga, pencinta wayang, dan siapa pun agar tetap aktif dan produktif di rumah.
Laman ataupun aplikasi layanan Google Arts and Culture pun siap menampilkan 12 pameran interaktif dari berbagai jenis hingga busana yang dikenakan wayang sesuai kekhasan masing-masing daerah. Masyarakat yang mengakses ditawarkan fitur tiga tur street view yang dilengkapi dengan panduan audio dan video tutorial cara membuat wayang.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid, dalam pernyataan resmi pada Rabu (13/5/2020) di Jakarta, mengatakan, wayang merupakan salah satu warisan mahakarya dunia yang tidak ternilai dalam seni bertutur atau Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Wayang bukan hanya produk kesenian, melainkan juga media refleksi atas kisah masyarakat. Berangkat dari realitas itu, wayang harus dilestarikan dan dirayakan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengemukakan, koleksi wayang unggulan Museum Wayang Nasional kini bisa diakses, baik oleh warga di seluruh Indonesia maupun negara lain. Hal itu akan susah terwujud jika tanpa adanya bantuan teknologi digital.
”Dengan bantuan teknologi pula, belajar tentang warisan budaya menjadi semakin menarik dan menyenangkan,” ujar Anies.
Manajer Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Google Indonesia Ryan Rahardjo menyampaikan, Google Arts and Culture telah menjadi mitra inovasi bagi lembaga kebudayaan di dunia sejak 2011. Google Arts and Culture menyediakan akses ke lokasi seni milik lebih dari 2.000 museum di dunia. Google mengembangkan teknologi yang memudahkan pelestarian dan memungkinkan kurator membuat pameran.
Sementara di Indonesia, Google secara aktif bekerja menambahkan konten dari museum ataupun tempat bersejarah nasional di Indonesia ke Google Arts and Culture sejak 2017.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA—Sambatan Virtual Pemain Wayang Orang di Semarang
Pertunjukan daring
Di Semarang, pembatasan sosial memengaruhi kelangsungan pentas Wayang Orang Ngesti Pandowo selama hampir dua bulan. Pembatasan sosial didukung oleh Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 440/ 0005942 perihal Penundaan atau Membatasi Kegiatan yang Menghadirkan Orang Banyak pada Tempat Umum dan Surat Edaran Wali Kota Semarang No B/ 1395/ 440/ III/ 2020 tentang Kewaspadaan terhadap Penularan Coronavirus Disease (Covid-19) di Kota Semarang. Penasihat Yayasan Wayang Orang Ngesti Pandowo, Ridwan Sanjaya, mengatakan, tidak ada lagi kegiatan pentas rutin. Sekitar 96 anggota kehilangan mata pencarian.
Kendati demikian, para anggota tetap optimistis dan berusaha tetap eksis menghibur masyarakat luas dengan membuat konten pertunjukan di Youtube. Produksi video dilakukan secara terpisah di sejumlah lokasi. Ide cerita berasal dari internal dan sutradara.
Menurut rencana, video pertunjukan wayang orang akan tayang setiap Senin, Rabu, dan Jumat pukul 16.00. Saat ini sudah ada lima video yang siap ditayangkan. Siapa pun yang menonton bisa membantu berdonasi melalui beberapa uang elektronik, seperti GoPay dan OVO.
”Kami paham, kondisi sekarang (pandemi Covid-19) tidak bisa dipaksakan untuk pentas di ruang fisik. Kami berdamai dengan kondisi dengan tetap tampil di ruang virtual. Bagi kami sekarang, hal terpenting adalah tetap semangat produksi video pertunjukkan meskipun pendapatannya belum tampak di mata,” kata Ridwan.
Menurut dia, di beberapa negara, wisatawan mancanegara sudah mulai mau menghargai pertunjukan sejenis dengan biaya lebih mahal. Oleh karena itu, pementasan wayang di ruang virtual pun jangan sampai dikemas ala kadarnya. Seniman dan pelaku kebudayaan lainnya harus mengemas mulai dari produksi, distribusi, dan mekanisme pembayaran secara profesional. Penguasaan teknologi menjadi keharusan.
Menurut Ridwan, bermigrasi ke teknologi digital memang amat membantu kegiatan pelestarian wayang. Di luar itu, yang tak kalah penting adalah memonetisasi teknologi digital sehingga seniman tetap bisa berkarya dan menggantungkan hidup.
”Untuk konteks pertunjukan wayang di ruang virtual, tantangannya adalah memindahkan kebiasaan beli tiket di dunia nyata atau menggantinya ke bentuk donasi yang tidak terikat waktu pentas,” katanya.
Oleh MEDIANA
Sumber: Kompas, 13 Mei 2020