Semudah menekan tombol, seperti itulah penyebaran hoaks di masyarakat melalui melalui media sosial. Ada beberapa sebab hoaks cepat menyebar, ternyata salah satunya didasari motivasi sosial, yaitu ingin berbagi informasi
Ajakan dan imbauan ”saring sebelum sharing” sudah tidak kurang-kurang selalu didengungkan untuk mencegah penyebaran hoaks atau berita bohong. Namun, tetap saja hoaks dengan cepat menyebar dan membanjiri masyarakat, lebih-lebih pada saat ada peristiwa atau bencana besar seperti saat ini.
Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia. Bahkan, saat ini, kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, hoaks lebih cepat dan lebih mudah menyebar daripada virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Dia menyebut kondisi ini sebagai infodemik, yaitu informasi terkait pandemi Covid-19 yang tidak benar. Secara global, saat ini ada lebih dari 1 juta hoaks terkait Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada banyak faktor mengapa hoaks cepat menyebar, terutama adalah rendahnya tingkat literasi di masyarakat. Ditambah lagi adanya fenomena FOMO (fear of missing out) yang mendorong seseorang secepat mungkin menyebarkan informasi untuk menunjukkan bahwa dia juga tahu.
Ini seperti terjadi pada SB (19), tersangka dugaan penyebaran hoaks di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kepada polisi, laki-laki yang sehari-hari menjadi buruh ini mengaku langsung mengunggah informasi yang dia peroleh dari temannya ke akun Facebook-nya karena ingin dilihat lebih dulu tahu.
Selain itu, di dunia berbasis internet saat ini, media sosial telah menjadi sumber segala jenis informasi. Penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen masyarakat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial (Kompas, 10/2/2020).
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika pun menunjukkan, hoaks menyebar melalui media sosial. Hingga awal April ini paling tidak terdapat 1.300 hoaks, sebagian terbesar terkait Covid-19, menyebar melalui Facebook (831 hoaks), Twitter, Whatsapp, dan media sosial lainnya.
Ingin berbagi
Motif lain, selain karena disengaja untuk alasan politis seperti saat pemilihan umum, penyebaran hoaks sering kali didorong keinginan berbagi informasi. Celakanya, informasi yang diterima tidak benar, ditambah lagi tidak dicek terlebih dahulu kebenarannya, atau bisa juga karena panik.
Ini seperti terjadi pada seorang ibu rumah tangga di Jakarta yang menjadi tersangka kasus dugaan penyebaran hoaks terkait Covid-19. Ketika dia melihat seorang laki-laki tua batuk-batuk di sebuah gubuk di dekat rumahnya, pada awal Maret, selain menelepon ke call center Covid-19, dia juga menyebarkan hal itu melalui akun media sosialnya bahwa di daerahnya ada orang terduga Covid-19.
Setelah petugas datang dan memeriksa, diketahui bahwa ternyata laki-laki tersebut negatif Covid-19. Namun, informasi tersebut telanjur menyebar. Ibu rumah tangga tersebut diduga menyebarkan hoaks dan ditetapkan sebagai tersangka.
”Padahal, niatnya itu memberi tahu orang lain agar waspada,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin, 14 April lalu. LBH Pers memberikan bantuan hukum terhadap ibu rumah tangga tersebut.
Berdasarkan penelitian para ilmuwan di Universitas Osaka, memang sering kali ada motivasi sosial di balik penyebaran hoaks. Hasil penelitian penyebaran hoaks melalui Twitter di Jepang ini diterbitkan di Japanese Psychological Research pada Desember 2019.
Penelitian mereka menunjukkan, pengguna Twitter dengan koneksi yang lebih sedikit cenderung menyebarkan informasi secara serta-merta karena kurangnya pengalaman atau kesadaran. Namun, pengguna yang mempunyai hubungan timbal balik yang lebih tinggi (di Twitter), lebih didorong secara emosional ketika menyebarkan informasi tentang kondisi ”darurat”, yaitu berniat berbagi dengan publik.
”Penelitian kami menunjukkan adanya mekanisme difusi informasi di media sosial yang tidak dapat dijelaskan oleh model teoretis konvensional. Kami menunjukkan bahwa persepsi risiko memiliki dampak signifikan pada retweetability tweets (kemungkinan kicauan akan diteruskan),” kata Prof Asako Miura dari Universitas Osaka seperti dikutip Science Daily pada 11 Maret 2020.
Informasi akurat
Dengan mengidentifikasi karakteristik jaringan pengguna di Twitter, penelitian ini berpotensi menawarkan solusi untuk mencegah penyebaran berita palsu. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan penyebaran informasi yang akurat.
”Penelitian kami menyediakan kesempatan bagi orang-orang untuk memikirkan kembali bagaimana informasi palsu disebarkan dan untuk memberikan informasi yang akurat melalui media sosial,” kata Miura.
—Microsoft melalui akun Twitter resminya, @Microsoft, menyampaikan pernyataan bersama perusahaan teknologi dan media sosial untuk bekerja sama melawan penyebaran hoaks terkait Covid-19.
Sejauh mana penyebaran informasi akurat melalui media sosial akan efektif membendung hoaks, belum ada kajian soal itu. Namun, yang jelas, berdasar kajian Nieman Journalism Lab, hoaks yang membanjiri platform media sosial berisiko menyatukan berita yang benar dan berita palsu di benak masyarakat.
Salah satu upaya, seperti yang dilakukan WHO melalui tim mythbusters, adalah bekerja sama dengan perusahaan pencarian dan media sosial, seperti Facebook, Google, Pinterest, Twitter, TikTok, dan Youtube, untuk melawan penyebaran hoaks, termasuk informasi keliru (disinformasi). Facebook dan Twitter, misalnya, akhirnya mencabut (take down) pernyataan seorang kepala negara yang menyatakan obat tertentu bisa untuk melawan Covid-19.
Hoaks dan informasi salah bisa menghambat respons kesehatan masyarakat yang efektif untuk mengatasi pandemi Covid-19 serta menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Pemerintah pun harus memberikan informasi penting dan akurat terkait Covid-19.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 21 April 2020