SEBUAH bangsa akan berdaulat penuh jika menguasai matra darat, laut, udara, serta matra antariksa. Pemikiran ini mendasari para pendiri bangsa mendirikan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, 27 November 1963.
Indonesia yang memiliki wilayah geografis 13 persen keliling bumi sepatutnya menguasai empat matra itu. Ruang bumi, selain perlu diamankan untuk menegakkan kedaulatan bangsa, juga perlu dimanfaatkan untuk menyejahterakan penduduk, terutama melalui sektor transportasi dan telekomunikasi.
Matra udara memungkinkan transportasi udara berkecepatan hingga 0,8 kilometer per detik. Pada matra antariksa yang hampa udara, kecepatan pesawat bisa 7,8 km per detik. Penerbangan dari Sabang ke Merauke bisa ditempuh hanya 15 menit.
Pengembangan pesawat terbang yang mampu melesat di dua matra itu tengah dilakukan negara maju. Matra antariksa telah lama dimanfaatkan untuk penempatan satelit komunikasi, navigasi, penginderaan jauh, maupun pengintaian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dinamika riset
Dalam perjalanan selama setengah abad, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang melakukan program penelitian dan pengembangan wahana di dua matra itu berkali-kali harus menukik karena kepentingan politik.
Adi Sadewo Salatun, Kepala Lapan periode 2006-2011, mengungkapkan, kegagalan program riset kerap terjadi dalam penguasaan teknologi pesawat terbang, peroketan, dan persatelitan, sejak awal Lapan.
Penguasaan teknologi roket yang dirintis tahun 1964 melalui pembuatan roket ionosfer Kappa 8 (suborbital 200 km) hanya berjalan setahun karena gejolak politik. Setelah beberapa kali kandas menggalang kerja sama dengan pihak asing, Lapan memutuskan membangun kemandirian peroketan tahun 1978, hingga menghasilkan berbagai jenis propelan bahan bakar roket, antara lain hidroxyl terminated poly buthadiene. Selain itu, dikembangkan berbagai konfigurasi propelan untuk meningkatkan daya dorong roket.
Tahun 1988, Lapan mencanangkan pengembangan roket kendali RKX, tetapi mandek. Program roket dijalankan lagi tahun 2006 dan kini masih lanjut.
Dalam kunjungan kerja Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana di Pusat Teknologi Wahana Dirgantara Lapan di Rumpin, Bogor, Senin (25/11), Kepala Lapan Bambang S Tejasukmana mengatakan, lembaga riset ini mampu membuat roket pertahanan dengan jangkauan 32 km untuk sistem pertahanan pulau.
Adapun roket berjangkauan 70 km dan 110 km untuk pertahanan selat dan laut tengah disiapkan uji statik dan uji terbangnya. Untuk membuat roket pertahanan berjangkauan 300 km sesuai ketentuan internasional, Lapan memerlukan waktu hingga tahun 2024.
Penguasaan teknologi penerbangan di Lapan dimulai sejak masa kepemimpinan Nurtanio selaku Kepala Lapan I. Perancangan pesawat menghasilkan prototipe XT 400 pada 1976. Namun, program dihentikan karena perubahan kebijakan pemerintah. Kegiatan riset penerbangan dibekukan dan dialihkan ke BPPT yang menghasilkan CN-235 dan N-250.
Setelah dibahas dengan DPR sejak 2010, Pusat Penerbangan Lapan terbentuk lagi pada 2013. Tahun ini Lapan memulai babak baru mendesain dan merancang bangun pesawat terbang.
Penandatanganan kerja sama Lapan dengan PT Dirgantara Indonesia dalam menggarap pesawat N 219 dilaksanakan Senin, antara Andi Alisyahbana, Direktur Teknologi PTDI, dan Gunawan S Prabowo, Kepala Pusat Teknologi Penerbangan Lapan.(Yuni Ikawati)
Sumber: Kompas, 27 November 2013