Tenaga medis dan rumah sakit kewalahan dalam menangani pasien Covid-19 yang disebabkan virus korona yang terus bertambah. Karena itu, bertambahnya jumlah kasus penyakit itu harus ditekan dengan pemeriksaan secara masif.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Petugas pemakaman menguruk dengan tanah peti jenazah pasien Covid-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Minggu (29/3/2020). Pemprov DKI Jakarta menyiapkan dua tempat pemakaman umum untuk memakamkan pasien Covid-19 yang meninggal, yakni di TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur dan TPU Tegal Alur di Jakarta Barat.
Indonesia mesti mengatasi ketertinggalan dalam pemeriksaan secara masif dan pelacakan mereka yang pernah berinteraksi dengan pasien Covid-19. Hal itu menjadi fondasi penting dalam mengatasi pandemi penyakit yang disebabkan virus korona baru, SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apalagi, kapasitas tenaga medis dan layanan rumah sakit semakin tertekan dengan meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia. Layanan kesehatan di Jawa dan Bali ini diperkirakan tak lagi mampu menangani pasien virus korona pada akhir April 2020 jika tidak ada tindakan segera untuk menekan penambahan kasus baru.
Setelah pembatasan sosial berskala besar diberlakukan, kini saatnya pemerintah melaksanakan pemeriksaan Covid-19 secara masif. ”Indonesia harus mengatasi ketertinggalan melakukan pemeriksaan Covid-19 secara masif dan melacak kasus guna menekan penambahan kasus baru,” kata Dicky Budiman, epidemiolog Indonesia, kandidat doktoral dari Centre fo Environmental and Population Health, Griffith University, Australia, Rabu (1/4/2020), di Jakarta.
Pemeriksaan, melacak kasus, mengobati, dan mengisolasi ini menjadi kunci untuk mengatasi pandemi ini, apa pun strategi yang dipilih pemerintah. ”Mau memilih karantina wilayah atau tidak, keempat prinsip ini harus dijalankan. Tanpa pemeriksaan dan pelacakan kasus, kita buta terhadap musuh yang harus dilawan,” ujarnya.
Dicky telah memodelkan tren penambahan kasus virus korona dan angka kematian di Indonesia dan membandingkannya dengan kapasitas layanan dan tenaga medis. ”Dengan penanganan saat ini, hitungan saya kapasitas layanan rumah sakit di Jakarta tak sanggup lagi menampung tambahan pasien pada pertengahan April, sedangkan untuk Jawa dan Bali pada akhir April,” tuturnya.
Lonjakan jumlah pasien di daerah menyebabkan beberapa rumah sakit bukan rujukan terpaksa menampung pasien virus korona. Ini, misalnya, terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Soreang, Jawa Barat, yang kini menampung 2 pasien dalam pengawasan (PDP) dan RS Kopo di Jabar merawat 3 PDP.
Kendala tes
Sekalipun sudah ada penambahan laboratorium di sejumlah daerah, tetapi penambahan pemeriksaan korona masih sangat kecil. Masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi hingga kini kesulitan untuk mendapatkan pemeriksaan.
Data yang dirilis Kementerian Kesehatan dan dilaporkan di KawalCovid19 menunjukkan, hingga 29 Maret 2020 dilakukan pemeriksaan 6.534 spesimen dan 1.285 positif. Pada 30 Maret ada 1.414 kasus positif dari 6.663 pemeriksaan. Pada 31 Maret lalu ada 1.528 kasus positif dari 6.777 pemeriksaan. Ini berarti sehari hanya ada pemeriksaan 114 spesimen.
Total pemeriksaan di Indonesia ini sangat kecil, hanya 20-an per sejuta penduduk. Sebagai perbandingan, Korea Selatan memeriksa 371.300 orang atau 7.500 orang per sejuta penduduk dan Singapura telah memeriksa 39.000 orang atau 6.800 per sejuta penduduk.
”Tanpa pemeriksaan yang masif, kita tidak bisa mengetahui siapa yang harus ditelusuri, dan berikutnya tidak bisa menangani pasien yang butuh perawatan serta mengisolasinya agar tidak menulari orang lain. Jadi ini memang vital,” kata Dicky.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Rumah Sakit Daerah Yohannes, salah satu rumah sakit rujukan menangani kasus virus korona. Rumah sakit ini juga melayani pasien umum. Pasien virus korona harus bisa dipastikan tidak menyebarkan virus kepada pasien lain atau pengunjung serta perawat dan dokter di rumah sakit itu.
Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo Supolo mengatakan, saat ini mengoperasikan laboratorium BSL 2 dan BSL 3 di lembaganya. Para staf juga telah bekerja secara bergantian dan hanya libur pada hari Minggu. ”Kami kewalahan karena yang harus dites sangat banyak. Saya kira, laboratorium lain juga mengalami hal sama,” ungkapnya.
Untuk mempercepat deteksi virus korona baru penyebab Covid-19, Herawati mengusulkan otomatisasi PCR dilakukan sebagaimana dipakai untuk penapisan tuberkulosis atau TBC. Alat ini bisa menganalisis satu spesimen sekitar 45 menit. Alat analisis otomatis ini cocok untuk dioperasikan di daerah karena tidak membutuhkan tenaga analisis yang banyak.
Herawati menambahkan, alat ini lebih baik dibandingkan test cepat (rapid test) berbasis antibodi yang memiliki akurasi sangat rendah. ”Kalau rapid test sebenarnya tidak direkomendasikan, bahkan di China juga tidak digunakan. Informasi yang saya dapatkan, Spanyol sudah mengembalikan rapid test karena bisa menimbulkan negatif atau positif palsu,” ujarnya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 2 April 2020