Kita tidak boleh menyerah dalam menghadapi wabah. Tidak mengaitkan virus korona dengan azab itu bagian yang paling optimistis dalam menata kembali peradaban yang menghargai ilmu pengetahuan sebagaimana mestinya.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Petugas PT KAI menyosialisasikan cara membersihkan tangan kepada calon penumpang di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Senin (9/3/2020). PT Kereta Api Indonesia (Persero) menggencarkan kegiatan sosialisasi penyebaran virus corona. PT KAI juga membagikan masker medis dan memberikan layanan pemeriksaan kesehatan kepada calon penumpang.
Seorang ustaz menyebut virus korona sebagai tentara Allah. Tepatkah?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengacu pada tafsir Muhammad Abduh (1849-1905), pemikir Islam di Mesir, yang mengartikan burung ababil secara metaforis sebagai penyakit campak yang menular.
Sesuai dengan kandungan QS Al-Fil (Gajah): 1-5, ribuan burung ababil melempari tentara gajah Abrahah al-Ashram, seorang raja Himyar yang menguasai Jazirah Arab pada abad ke-6 Masehi, dengan bebatuan yang panas membara. Mereka luluh lantak sebagaimana dedaunan dilahap ulat tanpa sisa. Misi menghancurkan Kabah terhalang.
Ia, berdasarkan penafsiran metaforis Abduh yang rasional itu, ingin mengaitkan dengan virus korona. Meski ia mengatakan itu sebagai salah satu kemungkinan tafsir, ia dengan jelas mengiaskan burung ababil itu dengan virus korona dan mengaitkan Pemerintah China dengan Abrahah yang ingin menghancurkan Kabah.
Serampangan
Namun, analogi itu tidak tepat dan serampangan. Menafsirkan virus korona sebagai azab itu sungguh gegabah mengingat penularannya dalam skala global saat ini begitu cepat, tanpa mengenal warna kulit dan agama. Umat Islam pun ikut kena. Bahkan, di Indonesia sudah terdeteksi enam kasus terinfeksi. Kita tak bisa menghindar.
Wabah, yang aslinya dari bahasa Arab, yakni waba’, tidak bisa dihindari hanya karena kita beragama tertentu. Dalam Hadis Sahih Muslim Nomor 4115, Sabda Nabi Muhammad kepada Umar ibn Khattab yang mendengar wabah penyakit di wilayah Syam (kini Suriah dan sekitarnya), ”Tatkala engkau mendengar wabah melanda suatu negeri, janganlah engkau mendatanginya; dan manakala wabah itu menyebar di tanah airmu, janganlah engkau keluar dengan maksud melarikan diri darinya.”
Pesan ini sangat umum dan universal. Namun, mobilitas manusia di masa ini tidak seperti pada zaman Nabi. Kita tak bisa semena-mena melarang lalu lintas orang.
Jika mengaitkan Iran sebagai negeri di luar China yang paling terdampak virus dengan jumlah kematian terbanyak kedua sebagai azab untuk penganut Islam Syiah—sehingga Ayatollah Javad-Amoli dan Ayatollah Alavi-Gorgani di Kota Suci Qom pun terinfeksi—maka ini sudah masuk dalam kepandiran yang sama.
Lalu, bagaimana dengan negeri Muslim lain yang juga kena? Bahrain, Kuwait, Malaysia, Aljazair, dan kini Indonesia. Kita terkena azab juga?
KOMPAS/PRIYOMBODO–Guru memeriksa suhu tubuh siswa sebelum memasuki ruang kelas di SD Islam Al-Bayan, Kota Tangerang, Banten, Senin (9/3/2020). Pemerintah menerbitkan lima protokol terkait penanganan Covid-19. Protokol area institusi pendidikan merupakan salah satu protokol selain protokol kesehatan. Kegiatan masyarakat masih berjalan normal termasuk kegiatan belajar di sekolah-sekolah.
Mengartikan penyakit dan wabah sebagai azab tak lebih dari ketidakmampuan umat beragama dalam mengatasi fenomena alam dengan cara berpikir yang jernih, rasional, dan membebaskan. Alih-alih mencerdaskan, pandangan ini membuat ajaran agama sangat lemah, pesimistis, dan penuh dengan ketakutan.
Berislam, khususnya, punya kehendak yang kuat untuk penuh optimisme, bukan selalu memandang suatu penyakit sebagai siksaan di dunia, suatu pandangan umum yang banyak menjangkiti pikiran umat beragama saat ini.
Kita perlu menengok sekilas bagaimana abad pertengahan merekam sikap umat beragama soal wabah. Sebelum era kolonialisme di kawasan Mediterania, umat Islam dan Kristen di Afrika Utara dan Al-Andalus punya pandangan dan sikap berbeda atas wabah penyakit yang berjangkit saat itu.
Dalam mengurai perbedaan kedua umat beragama, Justin Stearns dalam Infectious Ideas (2011) dengan jelas dan terperinci melihat dua pandangan komunitas beragama dalam menjaga kesehatan fisik dan rohani masing-masing dalam menghadapi wabah penyakit.
Memahami wabah
Satu hal yang patut digarisbawahi, meskipun dengan reduksi penjelasan yang rumit, kalangan Muslim terpelajar zaman dulu, contohnya Lisan al-Din ibn al-Khatib dan Ibn Khatima, secara kreatif dan rasional berusaha untuk memahami wabah penyakit, seperti wabah pes Black Death dan lepra, melalui keseimbangan antara kausalitas Tuhan, argumen legal-teologis, dan warisan tradisi kesehatan Galenik zaman Yunani untuk mengatasinya.
Wabah bukan sesuatu yang perlu ditakuti sebagai bagian dari azab untuk hal yang bidah dan kafir, tetapi ditanggapi dengan ilmu pengetahuan, jauh sebelum ilmu tentang mikroba ditemukan zaman modern.
Pandangan yang menyatakan wabah penyakit sebagai metafora bagi hal yang menyimpang, heretik, dan dosa banyak digunakan dalam tradisi intelektual Kristen di Semenanjung Iberia pramodern sejak era Uskup Isidore di Sevilla abad ketujuh hingga era Vicente Ferrer dari Ordo Dominikan pada abad ke-15.
KOMPAS/ALIF ICHWAN–Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla (kanan) hadir dalam kegiatan penyemprotan disinfektan di Masjid Nurul Hidayah, Jakarta, Minggu (8/3/2020).
Sejak zaman kolonial hingga saat ini, dengan posisi Eropa dan negeri maju lain melampaui prestasi peradaban umat Islam, sikap kreatif dan rasional dalam memandang wabah pun kini seolah berbalik. Umat Islam kehilangan kejernihan untuk kembali pada ilmu pengetahuan bagaimana caranya yang tepat untuk menyelesaikan penyakit dan virus menular.
Umat beragama disarankan, tentu saja, untuk kembali pada panduan Ilahi dengan berdoa sesungguh hati agar dijauhkan dari bencana dan penularan wabah.
Namun, kini kita mesti melihat kesigapan dan penanganan yang lebih rapi, rasional, dan sesuai prosedur kesehatan publik seperti dicontohkan di beberapa negara, terutama Singapura yang terdekat.
Tidak mengaitkan virus korona dengan azab itu bagian yang paling optimistis dalam menata kembali peradaban yang menghargai ilmu pengetahuan sebagaimana mestinya.
Imperium Usmani hingga masa modern awal, sekitar abad ke-17, maju dan berkembang dengan ragam pengalaman akan berbagai bencana dan wabah penyakit yang menjangkiti, tidak jatuh terpuruk karena pasrah akan ”azab” yang datang silih berganti.
Sejarawan ilmu pengetahuan sudah banyak membahas hal ini dengan bagusnya. Kita relatif secuil mengetahui riwayat nenek moyang kita dengan ragam kerajaan yang memesona dalam menghadapi berbagai wabah. Kita tak boleh menyerah.
Kesadaran teologis Muslim Indonesia yang mengikuti oksionalisme Asy’ari—bahwa campur tangan Allah ada dalam segala peristiwa mental dan tubuh ragawi—tidak menghapuskan peran potensial manusia dalam berusaha. Potensi manusia itu bisa dua hal, aktif dan pasif.
KOMPAS/NINA SUSILO–Wakil Presiden Ma’ruf Amin meminta para dai berkontribusi dalam mengajak masyarakat mengantisipasi wabah Covid-19. Hal ini disampaikan Wapres saat meresmikan Rakornas Ikatan Dai Indonesia di Istana Wapres, Jakarta, Senin (9/3/2020).
Tatkala didayagunakan secara aktif, ia bisa berperan besar pada perkembangan pengetahuan dan peradaban manusia, tentu bi-idznillah, dengan seizin-Nya. Kita mengerti hukum alam sebagai sunnatullah.
Kita hanya bisa berusaha untuk mencegah penularan dengan sebaik mungkin, tak pandang bulu apakah kita beriman atau tidak.
(Zacky Khairul Umam, Wakil Kepala Abdurrahman Wahid Center for Peace and Humanities, Universitas Indonesia)
Sumber: Kompas, 10 Maret 2020